Ibu terlihat menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku.
“Sejak lahir, kondisi Pelangi memang tidak baik. Jantung dan paru-parunya bermasalah. ibu yakin kau cukup pintar untuk menganalisis apa penyebabnya. Perlakuanmu padanya selama 8 tahun ini, memperburuk keadaannya.”
Kata-kata ibu menusuk jantungku seolah ada ribuan jarum tak kasat mata yang menancap di sana. Rasanya sungguh sakit. Tak bisa kukendalikan, air mataku jatuh membasahi kedua pipiku.
*****
Dengan langkah yang teramat pelan, kakiku berjalan menuju sebuah kamar, tempat gadis itu dirawat. Begitu pintu kubuka, tampak olehku seorang gadis yang berbaring lemah dengan bermacam-macam alat media di tubuh ringkihnya.
Ini adalah kali pertama, aku berada dengan jarak yang begitu dekat dengannya. Dari jarak sedekat ini, aku dapat mengamatinya dengan baik. Bisa kulihat, hidung, bibir, bahkan dagunya benar-benar mirip, hanya matanya saja yang berbeda denganku.
Meski diliputi keraguan, kucoba meraih tangannya yang terbebas dari selang infus. Kugenggam erat tangannya, dapat kurasakan tangannya begitu dingin.
“Maaf, maafkan aku” ucapku dengan lirih.
“Aku bukan ibu yang baik bahkan aku tidak berani menyebut diri dengan sebagai ibu. Aku ibu terburuk di dunia. Maaf….” aku makin terisak.
“Ini semua salahku, kalau aku tidak mencoba menggugurkanmu dengan berbagai obat, aku yakin kau tidak akan berakhir seperti ini.”
Dalam hati, aku berdoa dengan tulus agar ia bertahan. Meski aku belum sepenuhnya menerima kehadirannya, aku tentu tak ingin ia pergi begitu saja sebelum aku mencoba berdamai dengannya.