Tapi mereka salah tentangku. Mereka tidak pernah merasakan stress hingga rasanya ingin mati saja. Mereka juga tidak pernah tahu, bila trauma itu kembali datang hanya karena aku melihat tatapan matanya, tatapan mata milik gadis itu. Mereka tidak tahu seberapa besar tersiksanya diriku.
Tatapan matanya mengingatkanku akan banyaknya kebencian di hatiku. Aku benci mengingat dari mana asalnya gadis itu. Aku benci mengingat pernikahanku yang batal karena kehadiran gadis itu. Aku benci mengingat detik-detik ketika pria yang kucintai meninggalkanku, lagi-lagi karena kehadiran gadis itu.
Bukannya aku tidak pernah benar-benar berjuang melawan rasa benci, tidak mencoba berusaha menerima kenyataan, dan sedikit bersahabat dengan keadaan. Aku sudah melakukannya, tapi aku tak bisa. Aku tak sanggup melupakan rasa benci itu.
*****
Suatu pagi, kudapati kedua orangtuaku berjalan dengan panik. Mereka tampak terburu-buru seolah dikejar-kejar oleh waktu. Kulihat juga gadis itu tak sadarkan diri di gendongan ayahku. Entah, ada angin apa, seketika itu juga perasaan khawatir melingkupi perasaanku.
Selama 8 tahun aku mengenal gadis itu, baru kali ini aku merasa tertarik untuk mengetahui keadaannya. Secara diam-diam, aku mengikuti mereka, yang kemungkinan besar menuju rumah sakit. Dalam hati, aku bertanya-tanya apa yang terjadi dengan gadis itu.
*****
Setibanya di rumah sakit, aku disambut dengan wajah kaget dari kedua orangtuaku. Mungkin mereka tidak menyangka kalau aku sepeduli ini pada gadis itu hingga harus repot-repot mengikuti mereka ke rumah sakit.
Setelah menunggu lama dalam kebingungan, tiba-tiba ibuku berjalan perlahan menghampiriku dan mendudukkan diri di sampingku. Bisa kulihat dengan jelas ada kelelahan di wajah ayu ibuku.
“Ren, bisakah kamu mengakhiri semuanya, Nak? Ibu tau ini sulit bagimu, tapi mencobalah sedikit saja. Ibu mohon…” ucapnya dengan lirih.
“Kenapa?” hanya kata itu yang dapat keluar dari bibirku.