"Barangsiapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan kaum muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang yg dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR Al Hakim).
Meski hadis di atas tergolong dhaif, tapi pesannya tepat dan maknanya benar. Bahwa yang layak dijadikan pemimpin harus memiliki kualitas dan kapabilitas. Senada dengan itu Umar bin Khattab RA berkata,
"Siapa yang mengangkat seseorang untuk sebuah pekerjaan (jabatan) hanya atas dasar rasa suka dan kedekatan, tanpa ada alasan yg lain selain itu, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasulnya, dan orang-orang mukmin" (HR Ibnu Abi Ad-Dunya).
KEDUA, memilih pemimpin dari kalangan orang-orang kafir atau non-Muslim. Allah Subhaana Wa Ta'ala mengingatkan:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin." (QS An Nisa: 144).
Mengapa dilarang menjadikan orang kafir menjadi pemimpin? Secara umum telah dijelaskan Allah SWT, bahwa orang kafir itu antara satu dengan yang lainnya saling melindungi (QS Al Maidah: 51), menjadikan agama Islam sebagai bahan ejekan (QS Al Maidah: 57), tidak pernah senang kepada Rasulullah SAW (QS Al Baqarah: 120). Dan, apabila orang kafir dijadikan pemimpin merupakan hujjah bagi Allah untuk menghukum (mengazab) kaum muslimin (QS An Nisa: 144).
KETIGA, memilih pemimpin yang didukung oleh orang-orang kafir, munafik, dan fasik (pelaku dosa besar). Islam tidak saja memerintahkan kepada kita untuk memilih pemimpin mukmin, tapi juga memerintahkan kepada kita memperhatikan siapa orang-orang disekitarnya. Karena hal itu akan berpengaruh kepada kepemimpinannya dan kebijakan yang akan dibuatnya.
Maka, jangankan memilih pemimpin yang akan berpengaruh kepada kehidupan orang banyak, dalam hal mencari pasangan hidup dan teman saja yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan orang lain, Islam sangat memberi perhatian, khususnya dalam persoalan akidah.
Salah satu nasihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah:
"Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya." (HR Abu Daud).
Jika memilih teman saja dianjurkan untuk selektif, tentu anjuran itu juga bisa dipakai untuk memerhatikan siapa yang menjadi teman dekat, pendukung, dan orang-orang dibelakang calon pemimpin yang akan dipilih.