Mohon tunggu...
ely aliya
ely aliya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Airlangga

Saya hobi membaca dan lari

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Alarm Tuberkulosis pada Anak di Indonesia, Saatnya Bertindak

4 Desember 2024   21:16 Diperbarui: 4 Desember 2024   21:46 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Situasi Kasus Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah kesehatan global yang paling signifikan. Berdasarkan WHO Global Tuberculosis Report 2023, terdapat 10,6 juta orang di dunia yang jatuh sakit karena TB dan sebanyak 1,3 juta orang meninggal karena TB.

Indonesia, sebagai salah satu dari 8 negara yang menyumbang lebih dari setengah kasus TB di dunia, berkontribusi sebanyak 8,5% dari total kasus TB global. Hal ini membuat Indonesia menempati posisi kedua setelah India dengan 1.060.000 kasus baru dan 134.000 kematian setiap tahunnya atau setara dengan 15 kematian setiap jam. Angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.

Lebih memprihatinkan lagi, TB tidak hanya menyerang orang dewasa. Akan tetapi, yang menjadi sorotan saat ini adalah peningkatan angka kasus TB pada anak. Menurut data Kemenkes, pada tahun 2021, terdapat 42.187 anak di bawah 15 tahun yang terpapar TB. Namun, pada tahun 2022 meningkat menjadi 100.726 kasus.

Lebih mengkhawatirkan lagi, cakupan pengobatan TB pada anak sangat bervariasi antarprovinsi, mulai dari 30,2% di Provinsi Bali hingga lebih dari 401,5% di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam deteksi dan pengobatan TB di berbagai wilayah Indonesia.

Mengapa Anak Rentan terhadap TB?

Anak-anak, terutama yang masih berusia di bawah lima tahun, memiliki sistem kekebalan tubuh yang belum matang. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap perkembangan infeksi Mycobacterium tuberculosis. Anak-anak yang berkontak erat dengan penderita TB aktif di rumah juga memiliki risiko tinggi terinfeksi.

Ironisnya, cakupan pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) untuk kontak serumah dengan pasien TB sangat rendah, yaitu hanya 1,3% dari target nasional pada 2022. Rendahnya angka ini menunjukkan betapa minimnya intervensi preventif yang dilakukan terhadap kelompok rentan, termasuk anak-anak.

Tantangan dan Realita Pelayanan Kesehatan

Sayangnya, gejala TB pada anak sering kali tidak spesifik dan sulit dikenali. Gejalanya seperti demam ringan, lemah, lesu, atau berat badan yang tidak naik. Batuk merupakan gejala utama pada orang dewasa yang menderita TB. Namun, pada anak batuk bukan gejala utamanya.

Selain itu, anak sulit untuk mengeluarkan dahak. Seandainya mereka mengeluarkan dahak, hasil pemeriksaan bakteriologis (BTA) pada anak sering kali negatif karena jumlah bakteri yang lebih sedikit. Sehingga, diagnosis pada anak tergolong lebih kompleks dibandingkan orang dewasa. Diagnosis TB anak tidak bisa hanya berdasarkan foto rontgen dada. Dibutuhkan kombinasi dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang relevan

Kesulitan ini diperparah dengan metode diagnosis yang kurang memadai. Alat kesehatan yang child-friendly untuk diagnosis TB anak juga masih kurang. Ini merupakan salah satu hal yang membuat beban kasus TB anak terkadang tidak dapat diketahui.

Pelayanan kesehatan untuk TB anak di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Sebagian besar fasilitas kesehatan primer tidak dilengkapi dengan alat diagnostik canggih, seperti tes molekuler atau kultur bakteri. Akibatnya, diagnosis sering terlambat atau tidak akurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun