Mohon tunggu...
Elyakim Lalang
Elyakim Lalang Mohon Tunggu... Guru - Guru Fisika

Saya adalah seorang yang sedang belajar memahami makna kehidupan, menemukan inspirasi dalam kesunyian, dan menjelajahi emosi manusia melalui perspektif unik yang memadukan cinta, ilmu, dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mimpi yang Tak Tersentuh: Jika Saja Bisa Dibeli

31 Januari 2025   03:00 Diperbarui: 30 Januari 2025   21:08 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam kembali datang, dengan kesunyian yang begitu akrab. Jam berdetak pelan, menghitung detik demi detik dalam kesunyian. Di luar, angin berbisik lembut, seolah mengajak semua orang untuk tenggelam dalam tidur nyenyak. Semua orang, kecuali aku.

Di sinilah aku, terjaga di tengah malam. Mata terbuka lebar, padahal tubuh sudah lelah, pikiran sudah jenuh. Ada sesuatu yang aneh, seolah tidur adalah kemewahan yang tak bisa kugapai. Bukan karena mimpi buruk, bukan juga karena kekhawatiran berlebihan. Hanya saja, begitu malam tiba, kantuk menghilang. Seperti ada jarak yang tak kasat mata antara diriku dan dunia mimpi, yang semakin lama semakin sulit dijangkau.

Berbaring di ranjang, mencoba menemukan posisi yang tepat, namun kenyamanan itu tidak pernah datang. Setiap usaha untuk memejamkan mata justru terasa sia-sia. Pikiran mulai berputar, memikirkan hal-hal kecil yang tak seharusnya muncul di jam-jam seperti ini. Pernahkah kamu mengalami momen di mana pikiranmu menari liar, mengungkit kenangan masa lalu atau kekhawatiran akan masa depan? Di saat yang seharusnya kau butuhkan hanya tidur, pikiran seolah menolak untuk diam.

Aku mencoba segala cara. Mendengarkan musik pengantar tidur, hingga menghitung domba yang tak pernah habis. Namun, semakin keras aku mencoba, semakin jauh tidur itu menjauh. Aku seperti berdiri di depan pintu dunia mimpi, mengetuknya berulang kali, tapi pintu itu tak pernah terbuka.

Ironisnya, saat siang hari tiba, kantuk itu datang tanpa diundang. Mata terasa berat, tubuh menuntut istirahat yang tidak kudapatkan malam sebelumnya. Tapi hari berjalan, tak ada pilihan selain bertahan. Malam berikutnya, hal yang sama terulang, seolah tak ada akhir dari lingkaran ini.

Ada kalanya, dalam keputusasaan, aku membayangkan, bagaimana jika mimpi bisa dibeli? Seandainya tidur adalah barang dagangan, berapa pun harganya, aku akan rela membayar. Karena tak ada yang lebih mahal dari kedamaian yang hanya bisa ditemukan dalam tidur. 

Jika mimpi itu bisa dibeli, akan kubayar dengan harga berapapun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun