Ummat Islam sekarang rentan utuk saling serang dan bully. Berbagai percakapan di media twitter dan juga video youtube saling melempar tuduhan radikal terhadap pendukung ormas dengan ormas lainnya. Bentrok antara Banser NU dengan massa Forum Umat Islam (FUI) di Solo adalah fakta bagaimana mudahnya sesama umat islam saling bentrok atau adu jotos.
Radikalisme yang menjadi isu sentral kebijakan Menteri Agama, menjadi sebab alasan saling serang sesama ummat Islam. Aksi saling tuduh dan juga labeling sesama ummat yang berafiliasi dalam berbagai ormas. Termasuk tebang pilih dalam penegakan hukum antara penghina Wapres dengan penghina Rasulullah Saw.
Disamping itu, kebijakan Menteri Agama mengartikulasikan radikalime dengan menyasar cadar, celana cingkrang tidaklah tepat sasaran. Hal ini menyudukan umat Islam yang ingin  mengamalan sunnah berpakaian yang mereka yakini kebenarannya. Sebab beragama bukan sekedar sekelumit ucapan, namun juga menunjukkan identitas, simbol berbagai ruang kehidupan.
Sebenarnya, banyak hal yang lebih substansi diselesaikan oleh kementerian agama. Maraknya pelaku LGBT yang seakan mendapatkan tempat untuk tumbuh dan berkembang adalah sebuah tindakan memelihara radikalisme. Dan secara fakta telah merusak fitrah manusia untuk menikah secara sah dan halal antara laki laki dengan perempuan.
Bersambung dengan kebijakan pembiaran LGBT. Kebijakan untuk memberikan pelatihan pra nikah menjadi boomerang bagi ingin menikah secara baik dan benar. Seakan akan persepsi publik menyatakan bahwa menikah itu sulit, dan melakukan hubungan badan tanpa ikatan agama itu mudah dan tidak mendapatkan hukuman secara hukum negara.
Belum lagi Peraturan Menteri Agama yang mencoba untuk mengatur Majlis Taklim dengan memberikan bantuan pembinaan. Kemestian untuk mendafrakan pengurus, ustad pembimbing dan juga silabus kajian. Hal ini tentu menjadi langkah mundur Kementerian Agama bidang Pembinaan Agama Islam untuk menciptakan suasa kondusif dengan tidak mencurigai aktivitas kajian demi kajian.
Hal ini berhubungan dengan pernyataan bahwa beberapa Masjid yang berada di lingkungan pemerintahan telah terpapar radikalisme. Pernyataan ini tidak memiliki kriteria radikalisme baik pada tataran difinisi, indikator-indikator dan bukti otentik. Tidak ada persidangan yang menyatakan terbukti bersalah. Hanya lemparan isu dan wacana yang menjadi bahan saling tuding dan aju jotos pada ummat Islam.
Apakah ini sebuah sensasi untuk mendapatkan apresiasi? Tentu tidak, isu radikalisme yang hadir dan menjadi perhatian penuh dari Menteri Agama jelas menjadikan ummat Islam sebagai tersangka.
Sebab ummat Islam adalah ummat terbesar di Republik Indonesia secara jumlah. Kerukunan sesama ummat Islam telah lama terbentuk, perbedaan pada ranting dalam kajian fiqih telah lama selesai. Dan beberapa perbedaan mazhab juga telah lama menjadi khazanah keilmuan yang tidak menghadirkan kegaduhan dan adu jotos sesama ummat Islam.
Radikalisme seyogyanya menjadikan Menteri Agama lebih memperhatikan ketidakadilan dan ketidakhadiran negara dalam sektor keadilan bagi penghina Rasulullaah Saw. Bukan menjadikan instrumen dari isu radikalisme untuk menambah amunisi saling mengkafirkan, menistakan dan saling labeling sesama ummat Islam.
Berhentilah untuk menjadikan ummat Islam saling adu jotos karena perbedaan tafsir dan defenisi radikalime. Sebab Islam Agama Rahmatal lil'alamiin hidup dalam lisan dan perbuatan, termasuk dalam tubuh  Menteri agama sendiri.