Mohon tunggu...
Elvy Tan
Elvy Tan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pencinta kata. Medan, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Bekal dan Jajanan Sekolah

7 Oktober 2013   21:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:51 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap pagi di depan SD swasta dekat kantor saya, seorang lelaki paruh baya selalu mangkal di depan gerbang ditemani gerobaknya. Sambil menunggu jam istirahat, dia terlihat sibuk memanasi wadah gorengannya yang agak karatan kemudian mengolesi satu-persatu cekungan kecil di wadahnya dengan minyak. Lelaki itu cuma menjual telur goring. Itu saja. Tapi dagangannya jadi favorit anak-anak di sekolah itu. Kenapa? Ya karena praktis, enak, dan murah.

Suatu kali saya sengaja berbaur di tengah anak-anak untuk melihat lebih dekat proses pengolahannya. Dengan sebutir telur yang dikocok, ditambah sedikit garam dan daun bawang, si penjual bisa menghasilkan sekitar tujuh telur goreng mini sekali masak dan per satuannya dijual seharga 500 Rupiah. Sungguh suatu bisnis yang menguntungkan, bukan? Dari pengamatan itu juga, saya menemukan ketidaklayakan dari segi kebersihan peralatan masaknya. Telur yang digunakan juga belum tentu terjamin kesegarannya. Tapi tetap saja murid-murid SD begitu bersemangat mengincar dagangannya.

Jajanan di sekolah selalu mengingatkan saya pada kenangan masa kecil. Tidak seperti teman-teman yang lain, saya beruntung punya ibu yang setiap pagi menyiapkan sarapan dan bekal untuk keluarganya. Sejak SD, kotak bekal yang terkadang isinya roti sandwich, mie, atau nasi, selalu berhasil menghangatkan tas dan perut saya dari dinginnya AC di kelas.

Tentu saja selain lebih sehat, bekal dari rumah juga bikin hemat. Tapi meski begitu, tetap saja saya sering tergoda dengan jajanan di kantin sekolah. Ada saja penganan lezat yang dijual di sana. Kemasan, bentuk, dan warnanya yang beragam seolah menghipnotis agar kami – makhluk-makhluk kecil yang penat dan lapar – merogoh kocek kami yang tak seberapa untuk mendapatkannya. Karena “tertipu” rasa dan tampilannya yang menarik, kami pun tak lagi “mau tahu” tentang seberapa banyak kandungan MSG atau pengawet di dalamnya. Yang penting sikat!! Itulah kenapa selama ini kantin sekolah selalu ramai diserbu setiap lonceng istirahat berbunyi.

Tradisi membawa bekal sempat hilang saat saya menapaki jenjang SMA. Saat itu, saking luasnya sekolah kami memiliki dua kantin besar di lantai dasar yang menjual makanan berat semisal nasi sayur, soto, ayam goreng, dan mie sop, serta tiga kantin kecil dekat kelas yang menjual roti dan makanan ringan. Dengan kemudahan ini tentu saja saya cenderung memilih jajanan sekolah yang kelihatan lebih menarik. Apalagi kala itu, selalu ada persepsi bahwa anak yang membawa bekal itu “berbeda” dari yang lain, seolah dianggap “kurang gaul” karena tidak ikut ngumpul di kantin dan tak sanggup membeli makanan yang memang cukup mahal untuk kalangan siswa. Jadi kalau dipikir kembali, saat itu saya telah “berdosa” karena sering menelantarkan bekal buatan ibu demi kenikmatan sementara.

Meski isu tentang kandungan Boraks atau Formalin dalam jajanan kaki lima hingga jajanan sekolah cukup marak beberapa tahun lalu dan kini telah berangsur-angsur mereda, tetap saja kita belum bebas dari zat-zat kimia berbahaya dalam makanan yang kita peroleh dari luar. Baiklah, anggap saja si penjual cukup baik dengan tidak menambah substansi kimia berbahaya di dalam dagangannya, tapi apakah kita bisa menjamin kualitas makanan dari segi kebersihan dan kesegarannya? Tak jarang kita mendengar berita tentang keracunan makanan pada anak-anak akibat kontaminasi bakteri dalam jajanan di sekolah. Tentu saja tak ada yang menginginkan hal seperti ini terjadi pada mereka.

Selain peningkatan kontrol kualitas makanan yang dijual di kantin sekolah, edukasi tentang kesehatan juga harus diberikan kepada setiap murid sejak dini agar mereka bisa lebih waspada terhadap “godaan” di sekitar mereka. Akan lebih baik lagi apabila sekolah mengajak para murid untuk membawa bekal dari rumah. Saya sering melihat buku-buku resep dan artikel internet tentang kreasi bekal untuk anak. Jadi apa salahnya bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal yang menarik dan bergizi demi kesehatan mereka? Selain itu, membiasakan anak terlibat dalam pengolahan makanan di rumah tidak hanya akan membuatnya mengenal dan menghargai makanan, tapi juga akan meningkatkan keharmonisan dalam keluarga. Ayo,mulai besok bawa bekal dari rumah!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun