Oleh : Elvrida Lady Angel Purba
Malam hari yang gelap aku berdiri di teras rumahku sambil meratapi nasibku. Aku yang selalu mendapatkan tindakan yang tidak menyenangkan di sekolah membuatku malas bersekolah. Hampir setiap malam aku selalu menangis karena mengigat perkataan temanku yang tidak menyenangkan. Namun orang tuaku selalu menyatakan untuk bersikap tidak perduli dan bersabar.
Aku adalah gadis yang berkulit gelap di besarkan dengan latar belakang dari keluarga yang sangat kental dengan suku batak. Namun, tinggal di kota yang besar yang hampir penduduknya tidak ada yang bersuku batak. Itulah sebabnya, aku selalu di kucilkan dan tidak memiliki teman. Aku bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Â kelas VII di Palu. Selama aku bersekolah aku hanya memiliki satu sahabat yaitu Rani. Kami memiliki kepercayaan yang sama sehingga kami dapat berkomunikasi dengan baik.
Aku dibesar di sebuah gubuk yang kecil, yang hanya mampu menampung empat orang saja. Namun, aku tidak pernah untuk berkecil hati. Yah walaupun, aku bersekolah yang sebagian besar siswanya tergolong menengah keatas. Selain pekerjaanku sebagai Pelajar, aku juga membantu orang tuaku setelah pulang sekolah sebagi Buruh Tani. Hal itu sudah sering kulakukan bahkan menurutku itu sudah kewajibanku sebagai anak tunggal di keluargaku.
Di pagi hari yang cerah, aku menyambut hariku dengan senyuman. Sebelum aku melangkahkan kakiku kesekolahku, aku berdoa kepada Tuhan sebagai ucapan syukurku kepada-Nya. Sambil menunggu Rani lewat dari depan rumahku, aku pun berpamitan inang (yang artinya dalam bahasa batak adalah Ibu) dan among (yang artinya dalam bahasa batak adalah Ayah). Tidak lama kemudian Rani datang dan kami pun langsung bergegas ke sekolah. Kami sudah terbiasa berjalan kaki dari rumah menuju sekolah, begitu juga dengan sebaliknya.
 Bel pun berbunyi yang menandakan masuk kelas, kami pun langsung bergegas masuk kelas. Aku meletakkan tasku sembari  menghela nafasku karena tadi lari menuju kelas. Tanpa ku sadari kursi yang biasa kududuki ternyata ada lem yang membuatku susah untuk berdiri. Aku pun bertanya kepada teman sekelasku " siapa yang lem dikursiku?" tanyaku kepada mereka. Diantara 24 siswa hanya satu orang yang menjawab "kamu cari tau saja sendiri, makanya sebelum duduk lihat-lihat dulu dong" kata Siska. Dan seperti biasanya teman sekelasku hanya menertawakanku ketika aku sedang kesusahan. Aku hanya bisa diam dan menahan tangisku.
Bagi mereka aku hanya berkulit hitam dan tidak berguna. Namun, aku tidak akan putus asa, aku akan buktikan kepada mereka bahwa kita itu sama dan aku mampu, itu yang selalu ada dalam hatiku dan pikiranku. Ini membuat aku untuk termotivasi untuk giat belajar. Rasanya jika belajar dengan buku yang diberikan sekolah itu tidak cukup. Aku pun meminjam buku dari perpustakaan untuk menambah bahan referensiku belajar. Yah memang tidak mudah bagiku untuk membagi waktuku untuk belajar dengan cara yang ambisius. Aku menjadi jarang pergi ke sawah untuk membantu orang tuaku, aku hanya menyempatkan waktuku tiga kali dalam seminggu saja pergi kesawah.Â
Hari ini Selasa, aku melihat keluar cuacanya mendung. Tapi, walaupun cuaca mendung tidak membuatku malas sekolah. Seperti biasanya aku berdoa dahulu sebelum pergi ke sekolah, aku berpamitan kepada kedua orang tuaku dan inong berkata "tetap lah tersenyum, jangan mendengar kata-kata orang yang membuatmu sakit hati" kata inongku. "olo inong (artinya dalam bahasa batak iya bu). Aku pun menunggu Rani untuk menjemputku yang biasanya dia sudah datang jam segini. Sudah tepat pukul 06.45 WIB namun Rani tak kunjung datang. Karena aku takut telat untuk pergi kesekolah aku pun pergi sendiri. Dan menyampaikan kepada inong "kalau Rani datang ke rumah katakan saja aku sudah pergi" kataku.
Setelah aku sampai di sekolah dan bel berbunyi Rani tak kunjung sampai di sekolah. Aku pun mencoba berpikir positif mungkin Rani telat atau tidak masuk sekolah karena ada sesuatu hal. Ternyata sampai pertengahan pembelajaran Rani tidak kunjung datang, aku pun berpikir sebaiknya setelah pulang sekolah lebih baik aku pergi ke rumah Rani. Karena Rani tidak bersekolah aku duduk sendiri, seperti biasanya aku selalu diusilin dan di bully oleh teman sekelasku. Tasku yang di sebunyikan, rambutku yang di jambak tiba-tiba dari belakang. Namun, aku tidak mau tinggal diam. Aku berteriak dan berkata "apa mau kalian? Air mataku tiba-tiba menetes. Dan ranto pun menjawab "mauku itu kau tidak bersekolah disini karena, tidak pantas orang seperti kau ada disini". Lisa pun ikut berbicara "iya bener kata Ranto mana cocok anak buruh tani seperti kamu bersekolah disini" pekik Lisa.
"Walaupun aku datang dari keluarga yang tidak mampu tapi orang tuaku tak pernah meminta sesuap nasi dari kalian" jawabku. Tiba-tiba guru kami masuk kekelas dan menanyakan "apa yang sedang terjadi" Tanya ibu guru, "ini bu mereka mengejek orang tua saya bu" jawabku.  Guruku pun menanyakan kepada siswa yang lain "apa benar demikian?" namun tak  satu pun menjawab. Aku pun menangis dan guruku mengajak aku keruangannya. Ya, aku menjelaskan semua apa yang terjadi kepadaku. Walau tak ada bukti yang kuat bahwa mereka mengucilkanku, guruku percaya kepadaku karena aku sudah menyatakan yang sejujurnya.
Guruku pun memanggil tiga orang yang mengusilkanku tadi dan menghukumnya, sampai pada jam terakhir sekolah. Kupikir mereka akan berhenti mengganggu aku, ternyata malah membuat semakin membenci. Setelah jam sekolah berakhir dan bel berbunyi yang menandakan pulang sekolah. Aku pulang sekolah sendiri, tidak ternyata mereka mengikutiku dari belakang menggunakan kendaraan mereka. Aku di dorong sehingga aku terjatuh kedalam selokan. Dan meninggalkanku sendirian dalam keadaan terjatuh yang membuat kakiku mati rasa. Untung ada orang yang lewat membantuku berdiri dan mengantarkanku ke rumah.
Setelah sampai di rumah inongku sedang berada di rumah. Dia sangat kaget melihat kondisiku yang seperti ini. Jujur saja aku tidak ingin melihat orang tuaku khawatir denganku. Inong menyampaikan kepada penduduk Desa yang telah mengantarku pulang. Setelah penduduk Desa itu pulang, inong bertanya kepadaku "bagaimana kau bisa sampai sekotor ini, jawabku "aku tadi terpeleset diwaktu jalan pulang" aku takut menyatakan sejujurnya karena, takut inongku menjadi khawatir. Setelah aku bersih-bersihkan badanku, inong pun mengurut  badanku karena kakiku keseleo waktu jatuh tadi.
Tiba-tiba inongku berkata "Rani juga jatuh waktu pulang sekolah, katanya ada yang mendorongnya sampai dia terjatuh ". Aku teringat kejadian yang aku jatuh tadi, kok sama ya seperti aku tadi, kataku dalam hati. Besok aku memutuskan untuk tidak bersekolah dikarenakan kakiku masih terasa sangat sakit. Keesokan harinya Rani datang kerumahku dia memakai baju seragam, dia berkata kepadaku "sebaiknya kita sahabatannya sampai disini saja ya, aku tidak mau terluka untuk kedua kalinya". Hatiku hancur berkeping-keping sahabatku pergi meninggalkan aku.
Aku hanya bisa menangis, aku tak tau bagaimana cara menjelaskannya kepada Rani karena kakiku yang susah untuk digerakkan. Dan aku sudah bertekat "aku harus buktikan kepada mereka bahwa aku bisa, aku mampu, aku tidak selemah apa yang mereka pikirkan." Sakit sekali rasanya aku tak tau aku punya kesalahan apa, tapi mengapa aku selalu dikucilkan bahkan tidak ada yang ingin berteman denganku. Tangisku tak henti-henti mengalir, rasanya hidupku tak adil. Aku juga ingin seperti anak-anak lainnya punya banyak teman bukan malah kucilkan bahkan dimusihi semua orang. Walau aku merasa sakit itu tak membuatku putus asa, justru aku semakin termotivasi untuk giat belajar.
Buku kemarin yang kupinjam dari perpustakaan sekolah kubaca kembali untuk melatih daya ingatku. Aku semakin giat belajar, dan semakin giat. Aku percaya bagi Tuhan itu tidak ada yang mustahil. Sambil belajar aku pun sambil mengatakan ini dalam hatiku "akan ku buktikan kepada kalian!!."
Setelah beberapa hari dirumah, aku sudah merasakan baikkan dan melangkah mantap untuk kesekolah. Sebelumnya, aku tak pernah sepercaya diri seperti apa yang kulakukan saat ini. Seperti biasa aku akan mengucap syukur kepada Tuhan dengan cara berdoa kepadanya. Setelah itu aku pamit dan langsung bergegas pergi kesekolah. Dengan senyuman yang lebar membuat hariku semakin berwarna. Dan aku menyadari, aku tak pernah sendiri Tuhan selalu menemaniku dimana pun aku berada.
Saat aku masuk kelas aku diejek dan di maki tapi, aku pura-pura tak mendengarnya bahkan senyum kepada orang yang memakiku. Yang dipikiranku nanti juga mereka akan merasa lelah setelah memakiku. Bel berbunyi tandanya pembelajaran akan dimulai dan guru kami sudah masuk. Kami pun semua masuk kekelas, kursiku paling ujung. Dan aku tak tau apa yang terpikirkan oleh guruku, karena tiba-tiba guruku menyuruhku pindah ke tempat semula.Aku pun giat belajar, giat membaca dan aku pun mulai aktif di Kelasku. Walau mereka menyatakan aku sok-sokan, tapi aku bodoh amat dengan apa yang mereka katakan.
***
Sebulan berlalu, pihak sekolah memilihku untuk olimpiade internasional. Aku sangat senang, aku memilih untuk ikut. Aku sangat bersyukur bisa ikut olimpiade internasional. Dan setelah mengikuti kompetisi, aku tidak yakin bahwa aku dinyatakan sebagai juara umum. Suatu kebanggaan akhirnya aku dapat mengejar impianku. Sesuai dengan yang diekpetasiku kemarin bahwa mereka datang setelah aku sukses. Dan mereka katakan " aku sangat bangga kepadamu Lusi, maafkan kami yang terlalu kasar kepadamu. Kamu hebat Lusi". Sontak membuatku kaget namun senang juga, akhirnya aku memiliki teman. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H