Oleh: Elvirida Lady Angel Purba
Pada hari Selasa, 2 Maret 2021 Presiden secara resmi telah mencabut peraturan Presiden (Perpres) terkait pembukaan investasi dalam industri minuman keras (miras) yang mengandung alkohol. Keputusan Presiden Joko widodo ini mendapatkan banyak apresiasi dari masyarakat, bahkan saja masyarakat namun ada juga dari sejumlah partai karena sudah mendengarkan suara warganya.
Sebelum dicabutnya peraturan Peraturan Presiden (Pepres), pembukaan keran investasi tersebut menuai kontra dari berbagai pihak. Pasalnya, sejumlah kalangan menilai pembukaan keran investasi miras justru membawa lebih banyak dampak negatif ketimbang positif, yakni mendorong perekonomian.
Presiden Joko Widodo tersebut tidak mempertimbangkan dampak buruk sosial yang ditimbulkan dari minuman keras. Sementara pihak yang mendukung menyebut investasi minuman alkohol bakal membuka peluang penyerapan tenaga kerja, menambah pemasukan negara, dan mengendalikan peredarannya yang saat ini sembunyi-sembunyi.
Pada Konferensi Pers virtual disampaikan Bahlil " Jadi dasar pertimbangannya investasi miras itu adalah memerhatikan masukan dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap kearifan lokal," Misalnya di NTT ada yang namanya sopi, minuman yang didapatkan lewat proses pertanian masyarakat. Di Bali, ada juga arak lokal yang berkualitas ekspor sehingga izin investasi miras dibuka juga untuk Bali.
Padahal tidak semua budaya itu harus dilestarikan. Contoh saja budaya potong jari sebagai ungkapan duka bagi keluarga yang meninggal. Memang mau dilestarikan? Serupa juga arak yang kerap memakan korban jiwa dan berdampak buruk kepada kesehatan. Seperti si komsumsi rentan mengalami komplikasi penyakit yang dapat berakibat fatal, seperti gangguan pencernaan, penurunan fungsi otak dan saraf, disfungsi seksual, kanker, serangan jantung, diabetes, gangguan kehamilan, kerusakan tulang, gangguan fungsi mata, dan penyakit hati. Bahakan tak jarang miras sering memakan korban jiwa.
RUU minuman beralkohol: Disebut "demi jaga ketertiban", tapi dikritik "akan bunuh pariwisata". Membuka industri minuman beralkohol sudah dibahas sejak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan. Dengan tujuan untuk mendorong terbukanya usaha mikro dan menengah di daerah. Selain juga demi melindungi masyarakat yang mengonsumsi minuman tersebut. Pasalnya selama ini peredaran minuman beralkohol tidak terkontrol sehingga kerap memakan korban.
Karena banyak menuai Pro Kontrak keputusan Presiden Joko Widodo pun di cabut. Hal itu disampaikan Presiden dalam Konferensi Pers Virtual yang disiarkan dalam YouTube Sekretariat Presiden "Saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," kata Presiden. Aturan mengenai investasi miras diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Walau investasi dalam industri minuman keras itu sudah di cabut, namun masyarakat masih tetap mengkonsumsi miras. Seperti yang terjadi pada empat orang korban pesta minuman keras di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, meninggal dunia setelah selesai pesta miras. Bahkan masih ada penjualan miras yang di perdagangkan dengan bebas, tanpa ada surat izin.
Lantas bagaimana kita dapat mengatasi miras di Indonesia? Kita harus sadar juga betapa pentingnya kesehatan. Kesehatan adalah kunci utama dalam bertahan hidup, jika kesehatan kita terganggu maka susah untuk bertahan. Pola hidup sehat penting kita terapkan untuk mencapai untuk Hidup yang sehat. Pemerintah juga perlu melakukan edukasi terhadap masyarakatnya, supaya masyarakat dapat paham betul bahwa minuman keras itu sangatlah berbahaya. Bukan hanya berbahaya dalam kesehatan namun juga dapat mengancam ketertiban Negara.
Upaya mengatasi alkoholisme yang meliputi pertolongan, perawatan, pengobatan kepada pecandu alkohol dan langkah-langkah pencegahan yang berupa usaha pembinaan lingkungan dalam arti luas diusahakan agar mengurangi niat untuk mendekati minuman keras. Juga bekerjanya administrasi peradilan pidana. Dalam proses penanggulangan masalah alkoholisme tersebut, disamping berbagai pendekatan seperti psikologi, kedokteran dan serta hukum. Penerapan hukum bagi penanggulangan alkoholisme memerlukan sistem manajemen yang efektif untuk dilihat dari kenyataan kebutuhan bagi tertanggulanginya secara optimal masalah ini.