Indonesia memang  dinyatakan bebas dari belenggu penjajahan. Sayangnya, sebagian elemen masyarakat, khususnya perempuan dan anak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT), belum sepenuhnya memahami arti kemandirian. Data Jaringan Advokasi Nasional  Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menunjukkan, antara tahun 2012 hingga 2019, PRT mengalami lebih dari 3.219 kejadian.
Setiap hari, 10 sampai dengan 11 orang PRT menjadi korban kekerasan. Mulai dari kekerasan ekonomi, fisik, psikis dan seksual.
Sepanjang 2017 hingga 2022 tercatat 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT. Tidak adanya pengakuan sebagai pekerja, membuat PRT rentan untuk disiksa, ditinggal ditengah jalan, ditipu, tidak dibayarkan upah, dan sulit untuk mengurus kasus karena tudak memiliki kekuatan hukum sebagai pekerja.
Sejak diwacanakan pada tahun 2004, RUU PPRT bolak balik masuk sebagai Program Legislasi Nasional, namun tidak kunjung disahkan. Lebih dari 19 tahun RUU PPRT dikaji dan dinanti untuk meniadi UU. Â Setiap hari mereka menghadapi berbagai kejadian yang mengancam kesejahteraan mereka, mulai dari eksploitasi tenaga kerja hingga kekerasan fisik dan psikis serta seks.Â
Menghadapi banyak risiko serius, mereka mengusulkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) pada tahun 2004 dengan harapan  nasib mereka berubah. Namun sayang,  Sembilan belas tahun berlalu, UU PPRT masih dipandang sebagai angin lalu yang selama ini belum ada titik terangnya.
Potret Kondisi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia
International Labour Organization (ILO) melaporkan terdapat lebih dari 2 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, dimana 8% adalah perempuan. Meskipun kontribusinya penting bagi perekonomian nasional, kondisi kerja pembantu rumah tangga dianggap relatif buruk. Antara Januari 2018 hingga April 2019, pekerja rumah tangga mengalami 2.570 insiden kekerasan  dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan mental, fisik, dan finansial serta pelecehan  status profesional. Ada juga keluhan tentang gaji yang hilang dan tabungan liburan yang belum dibayar.
 Sungguh ironis bahwa pekerja rumah tangga tampaknya tidak memiliki akses yang mudah ke  program penjaminan pemerintah. Menurut survei jaminan sosial Jalan PRT, ada 4843 pekerja rumah tangga di tujuh kota yang  tidak mendapat jaminan kesehatan. Meski ada program bantuan  pemerintah,  PRT umumnya masih kesulitan untuk mengaksesnya.Â
Karena tergantung keputusan pemerintah setempat apakah PRT bisa dikategorikan  miskin atau tidak. Selain itu, kata dia, domisili KTP di daerah asal juga menjadi  faktor sulitnya mengakses layanan. Contohnya adalah jaring pengaman sosial atau jaring pengaman sosial berupa bantuan tak berbayar untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat rentan yang tidak tersedia bagi pembantu rumah tangga.
Upaya Perlindungan yang Dapat Diusahakan
Sejak 2004, DPR  mengantongi RUU PPRT yang  diajukan  Jala PRT. Namun, tujuh belas tahun kemudian, RUU itu tampaknya akan berlalu begitu saja. Ada empat periode DPR dan pemerintah silih berganti, tapi masalah ini tak kunjung selesai.
 Tahun 2020-2021, perkembangan RUU PPRT dinilai  lebih baik, meski dicapai melalui perdebatan yang sangat alot. UU PPRT telah berhasil masuk dalam prioritas proyek nasional 2021.
 Jika pemerintah berhenti melakukan sesuatu,  media harus bisa membuka ruang diskusi, opini publik dan peluang baru, bahkan ngotot jika aturan  tidak berpihak pada kelompok minoritas, seperti PRT  2021 akan menjadi RUU Perlindungan Rumah Tangga ke-17 RUU Ketenagakerjaan melawan DPR-RI, namun sejauh ini belum ada keberhasilan besar yang dicapai. Kondisi ini seperti bad seventeen bagi  PRT yang selalu berharap dan menuntut segera diberlakukannya UU Perlindungan PRT.
Pada 23 Maret 2021, Â DPR RI menghirup udara segar dengan menetapkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) Â 2021. Tentu saja, tahun 17 tidak terlalu buruk bagi nasib. dari tujuh belas pekerja rumah tangga. Sebaliknya, Â di '17 mereka harus menikmati sweet seventeen, ketika UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga DPR RI akan diperdebatkan dan disahkan.
 Padahal, RUU Perlindungan PRT sudah terlalu lama  di DPR RI dan berkali-kali didaftarkan sebagai program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI sejak 2004 hingga 2009 hingga kemudian disahkan. RUU Prioritas  2020 dan 2021. Di saat yang sama, menurut JALA PRT, 5 juta  PRT terus mengalami berbagai jenis kerentanan dan diskriminasi. Kajian JALA PRT menunjukkan bahwa PRT mengalami kekerasan di tempat kerja, seperti penyiksaan dan pelecehan.
Kasus penting terjadi pada Sri Siti Marni (Ani) dan Erni, PRT yang sudah bekerja hampir 9 tahun sejak usia 12 tahun dan terus menerus mengalami penganiayaan dan kekerasan dari majikannya. Korban sering dipukuli dengan tangan atau benda keras, disundut air panas, dibelai dan dipaksa makan kotoran kucing. Akibat kekerasan tersebut, mereka mengalami luka parah, gangguan penglihatan dan trauma psikologis.
 PRT merasa distigmatisasi sebagai orang  kotor, berasal dari desa, bodoh, dll. Selama  pandemi, pekerja rumah tangga terlihat menyebarkan virus COVID-19 yang kemudian berujung pada pemutusan hubungan kerja sepihak. Hal ini tentunya menjadi ancaman baru bagi feminisasi kemiskinan  bagi pekerja rumah tangga dan anggota keluarganya. Pekerjaannya, yang berkaitan erat dengan keperawatan dan mengasuh anak, terbengkalai.
 Dalam situasi ini, beberapa media online memberitakan  kerentanan PRT dan meminta DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT. Meningkatnya urgensi perdebatan dan pengesahan Proyek Perlindungan PRT, media online menjadi salah satu alat untuk memperkuat gerakan, dukungan dan kampanye yang bertujuan mengangkat prasangka dan kepentingan PRT sebagai  perempuan yang rentan dan terpinggirkan. dan tertinggal.
Selain itu, media merupakan bagian dari pilar demokrasi yang dapat mengontrol pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya. Jika pemerintah belum membuat kemajuan yang signifikan dalam melaksanakan dan melindungi hak konstitusional dan hak asasi  warga negaranya, khususnya pekerja rumah tangga, seharusnya media memiliki kesempatan untuk membuka ruang debat, opini publik bahkan menuntut segera diberlakukannya PPRT tagihan.Â
Undang-undang perburuhan Indonesia dibahas dan diratifikasi. Saat ini belum secara khusus dan tegas mengatur tentang PRT, oleh karena itu pengesahan RUU PPRT menjamin terwujudnya hak-hak PRT sesuai dengan peraturan yang berlaku.
 Penting juga bagi kita kaum muda untuk terlibat dalam mendorong undang-undang tentang PRT, karena PRT tidak hanya dibicarakan sebagai masalah yang terisolasi atau orang tua. Kerjasama antara tingkat pemerintah dan masyarakat diperlukan untuk memastikan bahwa PRT dilindungi di hulu dan hilir. Ayo semuanya, mari dukung bersama agar hukum domestik segera berlaku dan  lebih baik melindungi pembantu rumah tangga.
Referensi:
1. Lingkar Feminisme
2. Komnas PerempuanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H