Mohon tunggu...
Elvrida Lady Angel Purba
Elvrida Lady Angel Purba Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menuangkan isi pikiran

Mengalir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Kawin Tangkap dan Ancaman Pidananya

13 Januari 2023   19:24 Diperbarui: 13 Januari 2023   19:56 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pikiran rakyat.com

Kawin tangkap adalah praktik pemaksaan perkawinanyang berakar pada diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarkis yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Persetujuan dari perempuan pada perempuan kerap diabaikan. Kawin tangkap terjadi di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Kawin Tangkap di Sumba Nusa Tenggara Timur.

Kawin tangkap terjadi saat perempuan "diambil" secara paksa ke lokasi yang telah disiapkan oleh pihak laki-laki. Penangkapan biasanya dilakukan oleh beberapa orang laki-laki di tempat umum, seperti pasar, jalan, atau bahkan di rumah korban. Meski perempuan memberontak, berteriak minta tolong, jarang ada yang membantu kecuali dari kalangan keluarga sendiri.

Setalah berhasil "menculik", pihak laki-laki akan memberitahukan keluarga korban tentang penangkapan, sekaligus penyerahan pinangan. Jika tidak berhasil "menyelamatkan" pihak perempuan jerap terpaksa menerima. Hal itu pun tentu memiliki dampak pada korban, yaitu:

  • Komnas Perempuan mengenali bahwa perempuan korban kawin tangkap mengalami kerugian hak konstitusionalnya, terutama ha katas rasa aman dan untuk tidak takut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya (Pasal 28G Ayat 1) yaitu hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B Ayat 1)
  • Kondidsi ini dapat menyebabkan perempuan terangkap di lingkar kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik, psikis, juga seksual.
  • Selain melanggar hak konstitusional, komitmen negara memastikan perempuan dapat memasuki perkawinan dengan persejuan atau kehendak bebas adalah bagian dari CEDAW (UU No. 7 Tahun 1984).

Penegakan Keadilan Terkendala Stigma Sosial dan "Tradisi"

Berdasarkan data yang dikumpulkan Aprissa Taranau, ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati), Sumba, setidaknya ada tujuh kasus kawin tangkap yang terjadi sepanjang tahun 2016 hingga Juni 2020 (WomanLead, 2021).

Kelompok Peruati yakin masih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan. Hanya lima dari tujuh kasus yang berhasil, sementara dua  kasus memaksa perempuan menikah. Mengapa di bawah tekanan? Karena di kalangan masyarakat adat dianggap memalukan untuk menolak lamaran pernikahan. Korban yang berhasil keluar dari perkawinan sering  dicap sebagai aib bagi keluarga atau  sebagai orang terkutuk yang tidak  bisa menikah dan memiliki anak.

Saat memutuskan pernikahan, negosiasi dengan keluarga lebih penting daripada mempelai wanita itu sendiri. Orang tua biasanya mempertimbangkan stigma sosial, sehingga tidak jarang mereka memutuskan untuk menyetujui pernikahan bukan karena mereka benar-benar melakukannya.  Ironisnya, tidak hanya perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak menjadi korban dari pernikahan yang hilang ini. Artinya, perkawinan campuran di Sumba juga menyebabkan peningkatan perkawinan anak di Indonesia.

Di NTT, angka perkawinan anak sangat tinggi. Sayangnya, beberapa harus merelakan mimpinya untuk melanjutkan studi ke universitas karena mereka dipaksa menikah dalam perjalanan menuju gelar mereka. Hanya dalam hitungan menit, impian dan ambisinya buyar karena harus menikah dengan pria yang menculiknya. Kegiatan tidak masuk akal seperti itu harus dihentikan, karena  melanggar martabat manusiawi seorang perempuan. Selain itu, banyak gadis di bawah umur  menjadi sasaran. Namun, karena gesekan antar tradisi, kasus ini terkadang tidak sampai ke pengadilan.

Dalam kasus lain, ada laki-laki yang dengan sengaja menggunakan pernikahan kawin tangkap untuk memperkosa  perempuan terlebih dahulu, sehingga pihak perempuan  tidak punya pilihan  selain menerima lamaran laki-laki tersebut. Lebih aneh lagi, seolah-olah tidak ada aturan, penangkapan pernikahan ini juga  menangkap pria dan wanita yang sudah menikah. Akhirnya, suami dan keluarganya meminta bantuan LSM untuk membebaskan istrinya dari praktik tersebut.

Kawin Tangkap adalah Tindakan Melawan Hukum

Dalam UU TPKS Pasal 10 ayat 1 yang berbunyi:

"Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau orang lain, dipidana karena memaksa perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/ pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000.

Pasal 10 Ayat 2 termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimna dimaksud pada ayat 1:

  • Perkawinan anak
  • Pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya
  • Pemaksaan dengan pelaku pemerkosaan.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Bukan hanya para korban yang mengalami kerugian dari kawin tangkap. Berulangnya perkawinan kekerasan di berbagai daerah tentu saja menjadi ketakutan tersendiri bagi perempuan Sumba. Oleh karena itu, semua pihak termasuk pemerintah, polisi, hukum, tetua adat, tokoh agama dan masyarakat setempat harus menyadari bahwa praktik ini tidak wajar dan berperan untuk menghentikannya.

 Dalam hal ini, kebijakan hendaknya tidak terbatas pada pasal-pasal dan pemberitahuan-pemberitahuan, tetapi diperlukan penegakan dan pengawasan yang tegas terhadap praktik perkawinan yang ditangkap secara tidak sah. Selain menegakkan supremasi hukum yang dipraktikkan oleh polisi, tokoh adat harus turun tangan dengan memberikan sanksi secara berkala kepada para pelaku kejahatan untuk mencegah penyalahgunaan tradisi asli kawin tangkap, karena juga merusak citra budaya Sumba di mata orang luar. Selain sanksi terhadap penjahat, penting bahwa pemerintah kota menawarkan rehabilitasi psikologis kepada korban pernikahan.

 Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi penuh dalam pengawasannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dilakukan sosialisasi atau edukasi secara luas kepada masyarakat tentang hak dan kesetaraan gender, perlindungan perempuan dari kekerasan dan perbedaan antara perkawinan normal dan menyimpang.

Referensi:

Komnas Perempuan 

Magdalene "Kawin Tangkap, Kekerasan, dan tradisi yang problematika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun