Rancangan undang-undang kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi angin segar bagi para pekerja perempuan yang awalnya dilema dengan stigma yang mengharuskan perempuan memilih bekerja atau menikah.
RUU KIA Membantu Perempuan Pekerja Untuk:
Mendapatkan Hak Mereka Sebagai Manusia yang Utuh
Ibu didefinisikan sebagai perempuan yang mengandung, melahirkan, menyusui anaknya dan/atau mengangkat, memelihara, dan/atau mengasuh anak (Pasal 1 Ayat 3). Alhasil, makna ibu tidak eksklusif hanya untuk perempuan yang melahirkan sendiri anaknya.
a. Cuti Hamil dan melahirkan 6 bulan
b. Pemerintah pusat wajib memberikan layanan kesehatan kepada ibu dan anak, termasuk ongkos biaya.
c. Masa istirahat 1.5 bulan ketika mengalami keguguran ditemani oleh keluarga termasuk Suami
d. Tersedia ruang Laktasi, tempat duduk prioritas, tempat penitipan anak dsb sebagai penunjang Ibu pekerja
RUU KIA sebenarnya membantu perempuan pekerja, yang sebelumnya terkena diskriminasi dalam dunia kerja hanya karena mereka telah menikah. Akan tetapi, RUU KIA juga memiliki catatan yang tidak boleh terlewatkan karena akan memberikan tekanan kepada perempuan, mengapa?
Domestik Perempuan
Karena undang-undang ini menekankan kepada Kesejahteraan Ibu dan Anak, maka berpotensi membuat perempuan sebagai penanggung jawab dari kesejahteraan anak dan berumah tangganya. Padahal kesehatan anak bukan hanya tanggung jawab perempuan. Tapi ada peran laki-laki juga didalamnya. Selain itu, akan mengokohkan pandangan bahwa perempuan harus menikah dan melahirkan karena mempertebal pesan bahwa tanggung jawab pengasuh anak hanya kepada ibu. Terutama bagi perempuan pekerja yang sudah menikah.
Beban Ganda
Apabila hanya menekankan kepadaa hak perempuan pekerja tapi tidak menekankan kepada laki-laki pekerja. Maka, akan menambah beban perempuan. Selain bekerja, perempuan harus mengurus pekerjaan domestik. Sehingga akan membuat laki-laki menilai bahwaÂ
"Kan undang-undang ini membuat kamu bisa bebas bekerja selama 6 bulan. Berarti tugas kamu sebagai Ibu!"
Bias Kelas
RUU ini akan sulit diterapkan karena tidak akan berdampak bagi perempuan pekerja kontrak dan mereka memiliki upah rendah. Karena masa istirahat selama 6 bulan hanya akan dibayar full selama 3 bulan saja. Sehingga perempuan yang memiliki upah rendah tetap akan bekerja di bulan ke 4 agar tetap mendapatkan upah penuh. Begitu juga bagi pekerja yang rawan PHK.
Keterlibatan Laki-laki Dalam Domestik
Walaupun RUU ini menuliskan hak ayah terkait cuti melahirkan selama 40 hari dan 7 haari bagi istrinya keguguran. Tapi, tidak disebutkan apakah mereka tetap mendapatkan upah penuh atau tidak. Sehingga berpotensi laki-laki akan tetap bekerja dan membebankan kepengurusan domestik kepada perempuan agar tetap mendapatkan upah penuh. Karena anak adalah tanggung jawab Bersama bukan hanya perempuan.
Sehingga rancangan undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak harus terus dikawal baik dalam penyusunan draft sampai kepada implementasi di lapangan. Jangan sampai undang-undang yang progresif justru akan menguatkan system ibuisme negara pada masa Orde Baru, mengabaikan keterlibatan laki-laki pada ruang domestic atau membuat perusahaan menjadi sewenang-wenang terhadap pekerja perempuan dalam pembuatan kebijakan perusahaan, rekrumen, SOP dan kontrak pekerjaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H