Dampak dari kebutuhan memperoleh pengakuan dari orang lain yang paling terlihat adalah terhambatnya pertumbuhan yang kita alami. Jika kita tetap bertahan dalam situasi ini, tidak menjadi kejutan bahwa kita tidak akan mencintai diri kita sendiri ketika pujian dan pengakuan tersebut hilang dari diri kita. Ketidaksempurnaan kita akan selamanya menjadi sebuah borok yang menggerogoti hati dan  pikiran kita, menjadi beban, bahkan menjadi sebuah alasan kita sangat membeci diri kita sendiri.Â
Lantas, apakah kita akan senantiasa berdiam diri dan merasa bahwa badai tersebut masih terlalu dini untuk dijadikan duduk perkara? Jika demikian, penulis menggelontorkan empat alasan yang setidaknya bisa kita jadikan sebagai tamparan untuk membukakan mata kesadaran kita untuk berhenti hidup dari pengakuan orang lain.Â
1. Kita melanggar integritas yang kita pegang
Perihal integritas sangat berkaitan erat dengan keyakinan. Jika hal yang kita yakini (dan seharusnya kita lakukan) tidak sesuai dengan hal yang kita lakukan saat ini, berarti kita sedang tidak berintegritas. Menjadi sebuah masalah jika kita hidup dengan mempercayai apa yang tidak kita hidupi, maupun sebaliknya.
Konteks-konteks kehidupan cenderung melemahkan integritas kita, padahal ada sukacita dan damai sejahtera yang kita dapati jika kita memiliki kesungguhan hati dalam berintegritas.
Satu contoh bentuk pelanggaran integritas yang sangat dekat dengan kehidupan kita adalah berbohong demi kebaikan teman kelompok karena takut mendapatkan nilai yang jelek dari dosen, padahal hati kecil kita sangat menentang perbuatan berbohong tersebut. Jika kita tidak dengan lantang menyuarakan kebenaran (karena kita butuh label yang diberikan rekan kita sebagai orang baik), diri kita selamanya akan terbiasa dengan karakter tidak berintegritas. Selamanya pula kita akan terperangkap dalam menyalahkan diri sendiri.Â
2. Ada seseorang atau sesuatu yang dipertaruhkan
Tidak hanya perihal berintegritas, jika kita terlalu mementingkan pandangan orang lain kita sebenarnya sedang mempertaruhkan sesuatu atau seseorang yang mahal (berharga). Kita sadar bahwa proses menyenangkan orang lain sangat akrab dengan kebohongan. Dan dalam hal ini, kebohongan memiliki risiko yang tinggi. Bisa saja risiko tersebut mempertaruhkan kepercayaan seseorang, kesehatan seseorang, keberadaan benda-benda atau hal-hal berharga yang kita miliki.
Jika kita tetap bertahan membohongi diri sendiri demi mendapat pengakuan dari orang lain, kita sama saja seperti mempersiapkan pedang yang tajam untuk merusak relasi kita dengan orang-orang yang kita sayangi. Ketidakjujuran memiliki harga yang mahal, namun kita tidak harus membayarnya jika kita tidak melakukannya, bukan?
3. Rasa sakit yang kita terima saat ini sangat hebat, sehingga harus ada perubahan
Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa dari kita memiliki toleransi yang besar terhadap rasa sakit. Akibatnya, diperlukan satu tamparan besar untuk menyadarkan diri kita bahwa kita harus beralih haluan. Terkadang, kita terlalu akrab dengan rasa sakit, sehingga hal tersebut melemahkan indra-indra pengharapan yang kita miliki.
Contohnya, dalam hal kecil kita melihat bahwa bullying atau perudungan saat ini merupakan hal yang biasa. Banyak orang melakukan perudungan, dan dalam hitungan waktu (cepat atau lambat), sang korban akan terbiasa atau bahkan sembuh dari dampak perudungan tersebut. Oleh karena itu, kita mengambil sikap biasa-biasa saja, berhenti mencoba menjadi superhero yang menentang hal tersebut.
Di satu sisi, kita juga sangat bergantung dengan penilaian orang lain, kita takut jika dilabeli sebagai seorang yang cupu hanya karena tidak berani merudung atau berbagian dalam merudung seseorang. Toleransi kecil akan membuka pintu yang lebar kepada kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Dalam hal ini, tindakan perudungan yang sebenarnya kita yakini sebagai sesuatu yang perlu diberantas karena menyangkut perampasan hak asasi manusia tidak bisa kita lakukan. Namun, toleransi-toleransi dan kebiasaan-kebiasaan menonaktifkan saraf-saraf kemanusiaan kita. Jangan sampai, tindakan toleransi yang kita perbuat menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Mulailah dengan berhenti mengucapkan tidak dan berhenti bergantung dari anggapan orang lain.Â
4. Rasa takut terhadap sesuatu yang konstan (tetap sama) lebih besar daripada rasa takut segala sesuatu akan berubah
Penjelasan mengenai hal keempat sangat baik jika dijelaskan dengan pengandaian. Jika diperhadapkan dengan pilihan melajang seumur hidup atau menikah, hal apakah yang akan kita pilih?
Berangkat dari ketakutan (dan kelogisan) tentu saja kita akan memilih menikah kecuali mempersembahkan hidupnya seutuhnya untuk melayani Tuhan. Meski kita tidak pernah tau tantangan apa yang akan kita hadapi ke depannya di dalam kehidupan pernikahan, meski kita memiliki ketakutan tersendiri mengenai pengelolaan waktu, pembagian kerja, kasih, parenting, dan hal-hal lainnya, rasa takut tersebut tidak lebih besar dari ketakutan melajang seumur hidup. Kita takut mendapat label buruk di masyarakat, kita takut jenuh dan akhirnya stress, kita takut tidak memiliki sandaran manakala kita sangat membutuhkannya. Rasa takut menjadi satu jembatan yang mengontribusikan faktor yang akhirnya mendorong kita mengubah situasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H