Mohon tunggu...
Leiyla Elvizahro
Leiyla Elvizahro Mohon Tunggu... -

Lahir di Pekalongan, 29 April 1990. Tinggal di Semarang sejak empatbelas tahun lalu hingga sekarang duduk di perguruan tinggi. Mahasiswi semester VI Program Studi Ilmu Gizi FK Universitas Diponegoro. Peminat sains, seni, dan desain grafis yang saat ini sedang menghidupkan kembali kegemaran menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Sayang, Bokongku Loro :’( ”, “Lha Emang Loro Ta? Mosok Siji??”

17 Maret 2010   00:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:23 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika anda tertawa membaca judul di atas, apa yang yang anda tertawakan? Pertanyaan dan jawaban yang tidak ada korelasinya?
Oh iya, mohon maaf sebelumnya, tulisan kali ini segmennya hanya untuk orang Jawa—atau orang yang paling tidak, mengerti dan menggunakan Bahasa Jawa—

Percakapan di atas bisa terjadi jika dilakukan secara tertulis. Lewat SMS misalnya. Kata ”loro” di atas bukan homonim, bukan pula homograf. Tapi banyak yang menulisnya seolah-olah homograf.

Untuk mereka yang beruntung memperoleh pendidikan Bahasa Jawa, tentunya telah mengerti bahwa ”Basa Jawa iku nglegena”. Aksara jawa dibaca ho, no, co, ro, ko—dengan lafal ”o” yang berbeda dengan ”o” seperti pada kata ”pro”—sementara transliterasinya dalam huruf latin menjadi ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, dan seterusnya.

Jadi, kata ”loro” pertama dalam percakapan di atas semestinya ditulis ”lara”. Artinya sudah barang tentu berbeda, loro berarti dua, sedangkan lara artinya sakit. Nasib yang sama juga menimpa kata ”coro” dan ”cara”. Coro itu kecoak, sementara cara ya seperti cara dalam Bahasa Indonesia.

Untuk kata-kata lain mungkin tidak mengalami perbedaan arti jika penulisannya seperti itu, tapi kenapa tidak kita coba menuliskannya dengan baik seperti yang telah diajarkan di bangku sekolah dulu? Ironis sekali jika kita meneriakkan mahalnya biaya pendidikan sementara ilmunya hanya digunakan untuk memperoleh nilai bagus dalam ujian saja.

Oke, hal ini tidak bisa dipaksakan dalam percakapan informal tertulis sehari-hari. Namun merujuk pada pepatah melayu ’alah bisa karena biasa’, jangan sampai kekeliruan ini menjadi kebiasaan hingga kita lupa pada cara yang benar. Keterlaluan sekali bukan apabila hal semacam ini dijumpai pada koran lokal atau spanduk kampanye pilkada (”Ojo lali karo xxxx”, "Wong Semarang podho milih sing xxxx")??

By the way,
nama saya juga ditulis dengan ejaan keliru semacam itu lho!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun