Mohon tunggu...
Leiyla Elvizahro
Leiyla Elvizahro Mohon Tunggu... -

Lahir di Pekalongan, 29 April 1990. Tinggal di Semarang sejak empatbelas tahun lalu hingga sekarang duduk di perguruan tinggi. Mahasiswi semester VI Program Studi Ilmu Gizi FK Universitas Diponegoro. Peminat sains, seni, dan desain grafis yang saat ini sedang menghidupkan kembali kegemaran menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Poligami Sebagai "Berbagi Ayah"

7 Maret 2010   04:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:34 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan orang yang begitu saja memandang poligami (poligini sih seharusnya, poligami itu istilah unisex) sebagai hal buruk. Ada banyak hal serta alasan yang menyebabkan poligami bukan semata pengkhianatan atas satu cinta.
Namun seringkali orang2 memandang poligami sebagai "berbagi suami", atau "punya beberapa istri". Menimbang dari rela tidaknya dimadu. Lalu bagaimana kalau kita coba menempatkan diri sebagai anak? Melihat poligami sebagai "berbagi ayah" sekaligus "punya ibu lebih dari satu".
Saya mencoba membayangkan,
kalau ibu saya lebih dari satu..

Saya harus menguatkan hati layaknya ibu kandung saya yang merelakan ayah tidak hanya menjadi miliknya sendiri. Menguatkan hati untuk tetap mencintai dan menghormatinya sebagai sosok yang hebat.

Saya harus beradaptasi dan menelan egoisme sebagai anak manja karena nantinya saya mungkin akan punya adik lagi yang akan menyita perhatian ayah juga seisi rumah.

Saya mungkin akan memanggil ibu kandung saya saja sebagai "ibu", yang lainnya mungkin akan saya panggil tante, atau mungkin mbak jika usianya tidak terlalu beda dengan saya.

Saya akan sering mendengar ibu kandung saya curhat dengan wajah sedih jika ada masalah di antara orangtua2 saya.

Dan hal itu mungkin akan membuat saya menjadi anak yang sedikit durhaka karena rasa hormat saya kepada salah satu di antara mereka berkurang.

Saya harus menjelaskan pada teman2, tetangga, kekasih, keluarga calon mertua atau siapapun yang bertanya kenapa ada banyak orang di rumah saya, kenapa saya membawa anak kecil yang memanggil saya kakak sementara mereka tidak pernah melihat ibu kandung saya hamil lagi. Saya harus menjelaskannya tidak hanya satu kali, tapi terus-menerus. Itu artinya jika saya menganggap bercerita tentang hal ini seperti menambah beban, saya terus-menerus menambah beban.

Saya harus menghadapi orang2 yang memandang rendah ayah saya karena ber-poligami, dan mungkin juga memandang saya dengan tatapan yang seolah berkata, "Kasian tuh anak, bapaknya nikah lagi". Meskipun hal itu saya hadapi hanya dengan balas membatin, "Emang urusan situ???!"

Dan mungkin, saya akan mencari pria yang TIDAK akan membuat anak saya nanti merasakan hal tersebut..

(Untuk kalimat terakhir di atas, saya tulis karena teringat jawaban Sri Sultan Hamengkubuwono waktu ditanya Pak Andy F. Noya mengapa beliau tidak memiliki selir layaknya raja-raja Jawa. Jawaban beliau waktu itu kira-kira: "Karena saya tidak ingin anak-anak saya mengalami hal seperti saya")

Direpost dengan revisi dari tulisan saya di http://www.facebook.com/note.php?note_id=316731378308

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun