Gadis (8) berpeluh keringat saat sampai dalam ruang kelas berukuran 4x6 meter. Gadis, anak perempuan Satar (45), Orang Suku Talang Mamak yang bermukim di Dusun Semerantihan Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo.Â
Gadis tiba di sekolah pukul 08.00 WIB,jarak dari rumahnya ke sekolah sekitar empat kilo meter. Gadis bersama 3 saudaranya lain harus berangkat lebih pagi, agar tidak terlambat tiba di sekolah.
Gadis bersekolah di kelas jauh SDN 167/VIII/ SP3 Suo-suo, ini satu-satunya sekolah yang berada di pemukiman mereka. Ada 57 anak yang bersekolah  di sini.Â
Sekolah ini hanya memliki 2 ruang kelas dibagi menjadi kelas 1, 2 dan 3 digabungkan dan kelas 4,5,dan 6 juga satu kelas lainnya. . Gadis membuka buku yang ada di hadapannya. Dia membalik satu per satu halaman. Lalu mengeluarkan pensil dari dalam tasnya.Â
Sekolah kelas jauh ini berdiri sejak 2008 hingga sekarang. Dindingnya sudah kumal dan kotor. Catnya sudah terkelupas dan buram. Sementara lantainya terbuat dari ubin yang warnanya tak putih lagi.Â
Beginilah kondisi kelas Gadis. Namun tidak menyurutkan Gadis menuntut ilmu. Saya mengunjungi Gadis dan teman-temannya di Januari 2020. Gadis, salah satu potret anak pedalaman menimba ilmu.
Mereka sekolah non formal, tanpa seragam, dan juga kurikulum pendidikan yang baku. Fatma Erna, salah satu guru yang sudah mengabdi sejak awal sekolah ada di Suku Talang Mamak bercerita bagaimana dia harus berjuang agar anak-anak terus semangat dan mendapatkan dukungan dari orangtua mereka.Â
"Kadang, anak-anak ini hanya 3-4 orang yang hadir. Mereka ikut orang tuanya berburu, ke ladang. Berminggu-minggu bahkan ada yang berbulan tidak datang ke sekolah," katanya.
Dusun Semerantihan, berada di penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Akses menuju lokasi tidak mudah dijangkau. Kita harus berkendara selama 3 jam dari Desa Su0-Suo. Itu pun jika kondisi cuaca tidak hujan. Sebab, jika hujan. Tak ada satu kendaraan yang bisa menempuh. Kita harus berjalan kaki menjangkaunya.Â
Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama, di tahun 80 an masyarakat Talang Mamak sudah bermukim di sana. Mereka merantau dari kawasan Datai yang berada dalam TNBT di Riau.Â
Bagi mereka terisolasi atau saat ini dikenal dengan istilah lock down bukanlah hal yang baru. Tak ada bedanya, kondisi saat pandemi ataupun sebelumnya.Â
Mereka sudah terbiasa terkunci dengan adat, kebiasaan, tradisi, kondisi dan juga dukungan para pihak. "Kadang karena akses yang sulit, buku-buku yang harusnya kita terima awal tahun ajaran baru bisa sampai 3-5 bulan tiba di sini. Harus kreatif gurunya tidak berpatokan pada buku ajar saja,"jelas  Fatma.
Pukul 10.00 WIB, lonceng besi berdenting kencang. Aktifitas belajar mengajar dihentikan, Fatma dan rekannya membawa beberapa gelas kacang ijo. Dia membagikannya ke Gadis dan anak lainnya. Sekolah jauh ini mendapatkan bantuan untuk dana sarapan dan makan siang bagi anak-anak.Â
"Sudah setahun ada bantuan dari perusahaan restorasi di sini untuk sarapan dan makan siang anak. Mereka jauh-jauh tinggalnya, dan ini juga pemancing agar anak-anak rajin hadir dan belajar,"ungkapnya.
Gadis menyantap dengan lahap sarapannya. "Enak".
Ada 54 kepala keluarga Talang Mamak yang tercatat di Dusun Semerantihan. Mereka menggantungkan hidup dari mencari hasil hutan bukan kayu seperti Jernang, Kelukup, rotan, dan buah-buahan serta hewan buruan. Sebagian ada yang berladang padi dan berkebun karet. Ter-lock down versi mereka tidaklah menyiksa.Â
Mereka bahagia selama hutan tempat mereka hidup terus ada. Hewan buruan mudah diperoleh. Gadis memasukkan buku ke dalam tasnya. Dia bersiap pulang. Ketika ditanya, apa yang dia inginkan kelak saat dewasa, " Mau jadi guru".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H