Bagi mereka terisolasi atau saat ini dikenal dengan istilah lock down bukanlah hal yang baru. Tak ada bedanya, kondisi saat pandemi ataupun sebelumnya.Â
Mereka sudah terbiasa terkunci dengan adat, kebiasaan, tradisi, kondisi dan juga dukungan para pihak. "Kadang karena akses yang sulit, buku-buku yang harusnya kita terima awal tahun ajaran baru bisa sampai 3-5 bulan tiba di sini. Harus kreatif gurunya tidak berpatokan pada buku ajar saja,"jelas  Fatma.
Pukul 10.00 WIB, lonceng besi berdenting kencang. Aktifitas belajar mengajar dihentikan, Fatma dan rekannya membawa beberapa gelas kacang ijo. Dia membagikannya ke Gadis dan anak lainnya. Sekolah jauh ini mendapatkan bantuan untuk dana sarapan dan makan siang bagi anak-anak.Â
"Sudah setahun ada bantuan dari perusahaan restorasi di sini untuk sarapan dan makan siang anak. Mereka jauh-jauh tinggalnya, dan ini juga pemancing agar anak-anak rajin hadir dan belajar,"ungkapnya.
Gadis menyantap dengan lahap sarapannya. "Enak".
Ada 54 kepala keluarga Talang Mamak yang tercatat di Dusun Semerantihan. Mereka menggantungkan hidup dari mencari hasil hutan bukan kayu seperti Jernang, Kelukup, rotan, dan buah-buahan serta hewan buruan. Sebagian ada yang berladang padi dan berkebun karet. Ter-lock down versi mereka tidaklah menyiksa.Â
Mereka bahagia selama hutan tempat mereka hidup terus ada. Hewan buruan mudah diperoleh. Gadis memasukkan buku ke dalam tasnya. Dia bersiap pulang. Ketika ditanya, apa yang dia inginkan kelak saat dewasa, " Mau jadi guru".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H