Mohon tunggu...
Elviza Diana
Elviza Diana Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah kata

Ibu,penulis,jurnalis,dan penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bertaruh Nyawa Demi Setetes Madu

9 April 2020   22:41 Diperbarui: 10 April 2020   12:01 2933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doni Pangaribuan, pemanen madu hutan dan keluarganya/ Elvi Zadiana

Dari apa yang Ali kerjakan, ia menjual jasanya sebagai pemanen madu secara aktif sejak 3 tahun terakhir. Sebelumnya dia juga memanjat beberapa Sialang namun sistem pembagiannya dibayar dengan madu yang didapat. 

Di sana Ali berjumpa dengan Doni Pangaribuan membuat menjadi pemanen madu sebagai sumber mata pencaharian utamanya. "Sekali panen dibayar 500 ribu, kadang ada juga yang ga dapat apa-apa kalau sarangnya tak berisi, " sebutnya.

Ali memiliki kebun karet tua, dia bercerita penghasilan dari penyadap karet tidak mencukupi kehidupannya bersama istri dan ketiga anaknya.  Ali berasal dari Desa Madras, sekitar 30 kilo meter untuk bisa tiba di Desa Muara Kilis. Ia tidak punya pilihan lain, mencukupi kebutuhan keluarganya selain panen madu. 

Meski berulang kali sebagai pemanjat, Ali mengaku pernah ketakutan untuk memulai memanjat. Jika awalnya dia takut dan ragu, Ali memilih tidak meneria tawaran tersebut. 

Ia memiliki tiga anak, semua laki-laki. Ali tidak mau anaknya bernasib sama seperti dirinya yang bertaruh nyawa setiap hari dari pohon Sialang satu ke lainnya. "Pekerjaan ini berbahaya, biar saya saja. Anak-anak jangan."

Istri Ali, Siti Aminah (25), seorang ibu rumah tangga. Dia bergantung pada penghasilan suaminya memanen madu. Harga getah karet yang murah tidak bisa diharapkan lagi.

Seragam dan alat pengaman juaro untuk panen madu/ Elvi Zadiana
Seragam dan alat pengaman juaro untuk panen madu/ Elvi Zadiana

Doni Pangaribuan (38) merupakan pendatang di Desa Mura Kilis Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo. Laki-laki asal Sumatera Utara ini merantau sejak 6 tahun yang lalu dan pindah ke Desa Muara Kilis sekitar empat tahun.

Dari keterangan adik iparnya Kiarma, Pangaribuan membeli pohon sialang dari beberapa Orang Rimba di desa mereka. Ada lebih dari dua puluh pohon Sialang yang dimiliki Pangaribuan. 

Namun, Pangaribuan bercerita hanya satu pohon Sialang yang dia miliki. Jika musim panen di Juni, Oktober dan Maret, Pangaribuan mengaku bisa setiap minggu bergilir panen madu.

Empat tahun lalu harga madu berkisar Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu saja, mereka mengaku sejak setahun sudah menjual madu seharga Rp 80 ribu hingga Rp 90 ribu. "Sejak kami kerjasama dengan ABT ini dua kali lipat harganya,kami merasa terbantu," ujar Pangaribuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun