Mohon tunggu...
elvi yulianti
elvi yulianti Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dari anak-anak

Yakin dengan kekuatan Doa

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Rahasia Tanda Tanya (Part 3)

20 Desember 2023   03:00 Diperbarui: 20 Desember 2023   04:41 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Part 3

Setetes Embun Pagi

 

            Malam ini aku tak dapat memejamkan mata. Bukan karena mataku sakit tetapi aku terus memikirkan esok pagi di kampus. Bagaimana suasana belajar di kampus? Meskipun aku pernah menonton sinetron tentang anak kuliah, aku tetap saja khawatir. Bagaimana tidak khawatir, aku ini anak desa yang tidak memiliki apa-apa. Aku hanya bermodal kemauan belajar yang kuat. Dari segi materi tentu aku pasti dipandang sebelah mata. Untuk pakaian kuliah saja aku hanya memiliki baju kuliah  untuk enam hari, enam baju. Selebihnya baju sehari-hari dipakai di kosan. Bagaimana dengan sepatu? Tidak usah ditanya lagi,  aku hanya memiliki sepasang sepatu pansus dan satu tas selempang. Dapat dibayangkan selama sebulan aku wajib memakai semua barang tadi. Itu dan itu lagi tidak ada penggantinya. Bisa jadi aku akan menjadi pusat perhatian semua teman-temanku. Betapa malunya aku dengan keadaan seperti ini. Aku si anak desa yang tidak kaya berani masuk ke dunia belajar tingkat tinggi.

            Sekelebat datang pikiran baikku, untuk apa aku memikirkan semua itu? Bukankah setiap manusia itu memiliki kelebihannya masing-masing? Biar saja aku kurang dari sisi materi tetapi aku masih punya semangat yang tinggi untuk belajar. Aku tidak akan menyia-nyiakan semangat ini untuk meraih prestasi. Kalaupun aku tidak menjadi yang terbaik, setidaknya aku bisa menamatkan kuliah sesuai dengan waktu yang ditentukan. Ini merupakan targetku ke depan, aku harus bisa menyelesaikan kuliah selama empat tahun. Iya, hanya empat tahun saja, ini janji pada diriku.

            Seiring berjalannya  malam yang pekat ini, tak terasa waktu menunjukkan pukul lima pagi. Jam di dinding kamar mengisyaratkan agar aku melakukan sesuatu. Aku ingin beranjak dari kasur  menuju ke kamar mandi mengambil wudu untuk melakukan salat subuh bermunajat pada sang Khalik. Aku terperanjat ketika bangun dari tidurku ternyata  sudah kulihat Purnama sedang melaksanakan salat subuh. Ternyata,  Purnama lebih duluan bangun daripada aku. Rasa kagumku mulai tumbuh untuk teman kosku yang bernama Purnama ini.

            Ada sesuatu yang menarik dari Purnama ini bila kulihat dari sudut pandangku. Dia seorang gadis yang tidak banyak berbicara. Sekali berbicara penuh makna. Padahal aku dan Purnama masih seumuran. Aku  sangat beruntung punya teman sekosan yang baik hati dan baik budi.  

            "Purnama, aku boleh bertanya?" tukasku setelah menyelesaikan salat. Aku duduk memandang gadis yang baik hati itu.

            "Iya, Wani, boleh..."

            "Bagaimana perasaanmu  menghadapi hari pertama ke kampus?"

            "Alhamdulillah, aku akan menghadapinya dengan rasa syukur karena aku masih  diberi kesempatan untuk belajar.", dengan lembut Purnama menjawab. Senyumnya yang manis itu menambah aura cantik menyeruak kepermukaan. Aku menjadi malu dengan jawaban Purnama. Berbanding terbalik dengan perasaanku yang galau dan takut.

            "Oh, begitu..." Aku menganggukkan kepala tanda mengerti.

            "Mengapa kamu bertanya begitu?" tukas Purnama dengan mimik wajah serius.

            "Tidak apa Purnama, aku hanya sedikit takut saja."

            "Hidup ini harus dijalani bukan ditakuti Wani..." ujar Purnama layaknya seorang motivator yang kondang.

            "Benar yang kamu katakan itu Purnama, terima kasih ya sudah memberiku dorongan keberanian dalam menjalani hidup." Aku sangat senang memiliki teman sekamar yang bisa berbagi pikiran dan dapat menenangkan jiwaku yang galau.

            Seperti anak kuliah lainnya yang dapat jam kuliah pagi, aku juga sama sibuk seperti mereka menyiapkan diri untuk berangkat ke kampus. Untung saja di kosanku kamar mandinya ada di setiap kamar. Jadi, kami tidak mengantre seperti Ibu-Ibu yang menunggu mendapatkan bantuan beras dari pemerintah. Kubuka lemari baju yang sudah inklud dengan sewa kosan. Lemari yang terbuat dari kayu dengan ukuran satu  meter lebar dan satu setengah meter tinggi. Bagi mahasiswa yang memiliki baju banyak tentu dengan ukuran segitu pastilah lemari jadi sangat padat. Beda dengan aku yang memiliki baju sedikit, banyak ruang yang belum diisi. Aku ambil baju berwarna abu dan rok hitam. Jilbab abu sungguh sangat serasi kupikir, aku kenakan semua pilihanku tadi. Aku patut-patutkan diriku di depan cermin yang tergantung di samping lemari. Aku rasa sudah cocoklah, aku berikan sedikit senyumku di cermin itu dan berlalu.

            Arlojiku menunjukkan pukul tujuh tepat. Aku berpikir sejenak, cukuplah waktuku menuju ke kampus karena jam kuliahku mulai pukul tujuh empat puluh lima. Jarak rumah kos ke kampus berkisar empat  ratus meter.  Namun, aku tetap bergegas menuju ke kampus agar aku bisa istirahat sebentar. 

            Mahasiswa sudah banyak yang berdatangan ketika aku sudah mencecahkan kaki di lingkungan kampus. Bermacam gaya dan model bisa dilihat, mahasiswa berambut panjang, pendek, bahkan yang botak juga ada. Aku pikir mungkin tren tidak ada rambut. Untuk mahasiswa yang perempuan, ada yang berhijab, ada juga yang tidak, ada yang memakai rok pendek, rok panjang, bahkan ada yang pakai celana jeans dengan baju kaos. Ada yang memakai make up sedikit menor, ada juga yang polos hanya memoles wajahnya dengan bedak saja.

            Seperti orang yang takut ketinggalan kereta, semua mahasiswa berjalan dengan langkah cepat. Sama halnya dengan aku, aku juga melangkah seperti mahasiswa lainnya. Tidak tahu apa yang mau di kejar, tetapi yang pasti aku ingin cepat sampai saja ke dalam ruangan kelas. Kampusku ini memang tidak begitu luas tetapi untuk lapangan parkirnya dibuat luas terutama untuk mahasiswa pengguna kendaraan sepeda motor. Jarak dari pintu gerbang menuju ke gedung utama sekitar seratus meter. Itulah nantinya yang harus aku lewati setiap ke kampus.

            Aku sampai di ruangan kelas. Ternyata, sudah ada yang datang dan duduk di sudut belakang. Aku menghampirinya sambil memberikan senyum termanisku.

            "Hai, aku Wani, boleh kenalan?" Mahasiswa itu memberikan senyumnya juga.

            "Nana." Jawabnya singkat.

            "Anak kosan juga?"

            "Tidak, rumahku di kota ini juga di Jalan Gatot Subroto Gang Pahlawan." Jelasnya padaku. Aku menganggukkan kepala tanda memahami apa yang dibicarakan.

            "Nana, aku duduk di depan yah...?"

            "Iya, Wani. Aku di sini saja, aku lebih suka duduk di belakang." Kalimat pamungkas yang diungkapkan Nana padaku. Aku menganggukkan kepala sambil berlalu meninggalkan Nana dan mencari bangku depan pas posisi tengah.

            Aku memilih duduk di bangku paling depan persis berhadapan  dengan meja dosen. Beberapa alasan mengapa aku suka duduk di depan, pertama badanku kecil, aku tidak mau terhalang badan temanku ketika dosen menjelaskan. Kedua, ketika belajar aku tidak mau diganggu dengan teman yang mengajak cerita. Aku tidak ingin ada yang terlewatkan sedikitpun penjelasan dosen.

            Satu persatu mahasiswa berdatangan masuk ke ruang kelas. Kami saling berkenalan satu dengan yang lain. Ternyata, apa yang aku jalani di perkuliahan hari ini tidak seperti ketakutanku yang sudah kubangun dalam pikiran. Semua teman mahasiswa baik padaku. Mereka mau berkenalan denganku. Bila kulihat dari tampilan mereka, kehidupan teman-temanku tidak seglamor yang aku bayangkan. Penampilan mereka tidak jauh berbeda denganku. Begitu juga dengan teman mahasiswa yang laki-laki pun sangat sederhana.

            Kuliah di fakultas keguruan sangat berbeda dengan fakultas lainnya. Dosen mengatakan bahwa sebagai calon guru kami harus berpenampilan layaknya seorang guru. Tidak dibenarkan bagi mahasiswa perempuan memakai celana jeans ketika belajar di dalam kelas. Aku bersyukur karena pakaian kuliah yang sudah ada tidak menyalahi aturan, Kalau tidak pastilah bajuku kurang. Tidak mungkin juga aku memakai baju yang sama dalam dua hari seperti anak sekolah menengah atas.

            Hari pertama aku kuliah memberikan kesan yang positif bagi diriku. Tambahan lagi aku diamanahkan menjadi sekretaris kelas. Aku tak bisa menolak karena yang memilih adalah teman-teman bukan aku yang mau. Seperti setetes embun pagi memberikan aku harapan agar aku dapat menjadi orang yang bisa bertanggung jawab. Meskipun hanya setetes embun tetapi dapat menjadikan motivasi untuk aku lebih tertib dalam menjalankan aktivitas sebagai mahasiswa nantinya setelah tamat bisa menjadi seorang guru teladan bagi orang lain terkhusus bagi siswa. Senyumku mengembang dengan anggukan kepala mengiyakan apa yang sudah aku pikirkan. Perkuliahan  hari ini pun berlalu dengan suasana yang menyenangkan. Waktu bergulir sesuai dengan porosnya dan aku bergulir membangun asa.

                                                                                                              Bersambung................

 

           

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun