Bahasan mengenai moderasi beragama dari perspektif perempuan sangat penting dikarenakan moderasi beragama mengandung nilai-nilai utama yaitu adil dan setara. Moderasi beragama bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dalam menjalankan agama, tanpa ekstremisme, dan dengan menghormati hak-hak individu, termasuk hak-hak perempuan. Dalam posisi perempuan menurut Rofiah (2021: 20) nilai ini perlu düntegrasikan dengan kebutuhan perempuan baik biologis maupun sosial.
Pengalaman Biologis dan Sosial Perempuan
Pengalaman biologis perempuan mencakup menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Sementara itu, pengalaman sosial perempuan sering kali melibatkan stigmatisasi, marginalisasi, inferioritas, kekerasan, dan beban ganda. Perlunya memberi perhatian khusus pada pengalaman biologis perempuan agar rasa sakit dan beban yang dialami dapat menurun atau setidaknya tidak meningkat. Selain itu, perlu diberikannya perhatian guna memastikan bahwa pengalaman sosial yang buruk bisa dicegah.
Kebijakan yang Memperhatikan Kemaslahatan Publik
Kebijakan terkait moderasi beragama tentunya harus memperhatikan kemaslahatan publik, yang tidak akan terwujud tanpa menyertakan perempuan dalam proses perumusan hingga pemanfaatannya. Kemaslahatan ini harus berdampak positif bagi semua lapisan masyarakat tanpa menjadikan jenis kelamin sebagai perbedaan (Kodir, 2021: 511-513). Kemaslahatan atau manfaat publik mempertimbangkan kebutuhan khusus perempuan terkait kodrat tubuh mereka yang memiliki kebutuhan yang lebih kompleks dan berbeda dari laki-laki.
Dalam Islam (2022), kemaslahatan publik sekurang-kurangnya memiliki tiga prinsip.
- Memberikan perlindungan kepada mereka yang lemah, miskin, rentan, dan kelompok minoritas, termasuk perempuan dan anak.
- Menjamin prinsip keadilan dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus pada perempuan karena tubuh mereka lebih kompleks dan memiliki fungsi reproduksi yang berbeda dari laki-laki.
- Partisipasi kelompok rentan, terutama perempuan, dalam perumusan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan memastikan bahwa mereka mendapat manfaatnya.
Peran Perempuan dalam Moderasi Beragama
Perempuan memiliki peran penting dalam gerakan moderasi beragama pada berbagai bidang. Menurut Alisa Wahid dalam Islam (2022), perempuan dapat berkontribusi dalam pengembangan konsep teologi dan praktik kehidupan beragama, pengelolaan kebijakan negara, gerakan sosial, serta praktik kehidupan beragama sehari-hari. Dalam konteks teologis, perempuan terlibat dalam penyempurnaan konsep moderasi beragama dan menentukan posisi perempuan dalam kerangka ini. Di tingkat kebijakan negara, perempuan berperan dalam ideologisasi dan kebijakan afirmatif yang mengatur kelompok agama serta menangani kelompok eksklusif. Pada bidang gerakan sosial, moderasi beragama dapat diwujudkan melalui fasilitasi perempuan dan berbagai kelompok agama. Dalam praktik kehidupan beragama, perempuan terlibat dalam pengarusutamaan moderasi beragama. Secara praktis, perempuan dapat memainkan berbagai peran, baik sebagai istri dan ibu maupun sebagai penggerak masyarakat.
Landasan Utama Moderasi Beragama
Moderasi beragama yang berfokus pada keluarga bertujuan untuk mengembangkan praktik keagamaan yang seimbang dalam lingkungan keluarga. Ini dicapai melalui penerapan prinsip-prinsip seperti keadilan, keseimbangan, kesalingan, dan kemaslahatan di atas dasar toleransi, cinta tanah air, cinta damai, dan penolakan terhadap kekerasan. Sembilan kata kunci yang membentuk moderasi beragama keluarga adalah Islam, tawhid, khalifab, maslahah, wathaniyah, khidmah, sakinah, tarbiyyah, dan käffań. Kata-kata ini semuanya berhubungan satu sama lain. Moderasi beragama ini didasarkan pada ajaran Islam, yaitu tauhid. Tauhid menjadi fondasi utama dari moderasi beragama. Prinsip ini mengajarkan bahwa manusia hanya menjadi hamba bagi Tuhan, tidak tunduk kepada yang lain, dan tidak diperbudak oleh sesama manusia (Kodir, 2021: 10).
Tauhid juga dapat dilihat dari perspektif perempuan. Hal ini mengandung pengakuan akan keesaan Allah SWT dan pengakuan atas kemanusiaannya di hadapan-Nya (Kodir, 2021: 95). Pengertian ini juga berarti bahwa manusia tidak boleh menjadi Tuhan bagi sesamanya, termasuk laki-laki terhadap perempuan. Menurut Faqih yang mengutip Amina Wadud, tauhid adalah dasar teologis untuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, sistem yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan dianggap sebagai syirik atau menyekutukan Allah dan kesombongan (istikhar). Konsep tauhid menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai inferior. Laki-laki dan perempuan seharusnya diposisikan setara, dan masing-masing harus memiliki kemampuan untuk berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa bantuan orang lain. Tauhid menuntut sistem sosial yang resiprokal, setara, tolong-menolong, dan bekerja sama. Sebaliknya, sistem patriarki cenderung membangun struktur sosial yang dominatif dan hegemonik. Dari sudut pandang tauhid, pergeseran dari dominasi, hegemoni, patriarki, dan persaingan menuju resiprositas, persekutuan, kesalingan, dan kerja sama (Kodir, 2021: 96). Islam menentang patriarki dalam konteks ini. Karena keduanya adalah hamba Tuhan dan khalifah di bumi, Islam menyatakan bahwa perempuan bukanlah budak laki-laki (Rofiah, 2021: 51).
Sebagai makhluk yang beragama, manusia percaya bahwa mereka ialah hamba Tuhan yang ditugaskan untuk mengelola bumi (khalifah) guna mencapai kebaikan (maslahah) bagi planet ini melalui kebaikan bangsa (wathaniyah). Semua orang diharapkan menjalankan tugasnya sebagai khalifah dengan membantu sesama manusia dan seluruh alam. Mereka diharapkan berusaha mewujudkan kebaikan ini, baik secara pribadi maupun bersama. Kementerian Agama juga bertanggung jawab untuk mewujudkan kemaslahatan bersama sebagai bagian dari pemerintah yang berusaha mencapai kesejahteraan publik untuk semua orang. Memberikan pelayanan masyarakat yang optimal melalui berbagai program dan kebijakan adalah cara untuk mencapai tujuan ini. Kementerian Agama membuat berbagai kebijakan untuk membangun masyarakat beragama yang moderat terkait dengan pengarusutamaan moderasi beragama yang melibatkan perspektif perempuan. Untuk menerapkan kebijakan ini, metode pendidikan yang efektif (tarbiyah) digunakan. Tujuannya adalah untuk membuat keluarga sakinah, yang pada akhirnya akan menghasilkan individu yang beragama secara utuh (káffah) dan menjaga keseimbangan dalam beragama (Kemenag RI).
Beberapa komunitas telah mendukung moderasi beragama dengan mengadakan kegiatan secara mandiri. Seperti komunitas Mosintuwu di Poso, yang membuka pasar perempuan dan mendirikan sekolah perempuan. Komunitas Tanoker di Jember menawarkan program parenting komunitas kepada penduduk setempat yang berasal dari buruh migran. Selain itu, Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Perempuan dapat memberikan kontribusi maksimal dengan semangat kemaslahatan bagi sesama melalui pendekatan moderasi beragama berbasis keluarga. Keluarga yang kuat adalah keluarga yang membantu komunitas dan lingkungannya secara internal dan eksternal. Dengan moderasi agama, setiap orang dapat berkontribusi tanpa memandang jenis kelaminnya. Semangat ini sejalan dengan prinsip moderasi beragama, yang bertujuan untuk membantu manusia secara internal dan eksternal, termasuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, umat, dan negara (Rofiah, 2020: 129).
Kementerian Agama sangat memperhatikan peran keluarga dalam masyarakat. Keluarga dianggap sebagai unit terkecil dan tempat pendidikan pertama dan utama bagi setiap orang, dan Kementerian Agama mengatakan bahwa keluarga memiliki potensi besar untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Kementerian Agama menekankan bahwa pentingnya peran keluarga sebagai unit terkecil dan tempat pendidikan awal harus diakui. Moderasi beragama harus ditanamkan sejak kecil, dimulai dari keluarga. Seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan, tujuan utama adalah mewujudkan keluarga sakinah. Keluarga sakinah diartikan sebagai "keluarga yang damai, menenteramkan anggota-anggotanya, serta memberikan manfaat besar bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Keluarga sakinah dibangun di atas nilai-nilai keadilan, kesalingan, dan keseimbangan" (Agama, 2019: 157).
Ditjen Bimas Islam dalam Islam (2022), menjalankan program moderasi beragama berbasis keluarga dengan sembilan kata kunci yang saling berhubungan: yaitu Islam, tauhid, khalifah, maslahat, wathaniyah, khidmat, sakinah, tarbiyah, dan kâffah. Singkatnya, moderasi beragama jenis ini didasarkan pada ajaran Islam, tauhid, yang menyatakan bahwa manusia hanyalah hamba Tuhan dan tidak diperhambakan oleh orang lain.
REFERENSI:
Agama, K. (2019). Moderasi beragama. Kementerian Agama.
Islam, T. P. B. (2022). Moderasi Beragama Perspektif Bimas Islam. Jakarta: Sekretariat Ditjen Bimas Islam.
Kodir, F. A. (2021). Qira’ah mubadalah. IRCiSoD.
Rofiah, N. (2021). Nalar kritis Muslimah: refleksi atas keperempuan, kemanusiaan, dan keislaman. Akkaruna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H