Pernahkah kalian memperhatikan barang yang kalian gunakan selama sehari?
Pendingin ruangan yang menyala semalaman, berangkat sekolah menggunakan kendaraan, pengisi daya gawai yang selalu terhubung dengan aliran listrik, dan semua itu kita gunakan 24 jam sehari. Tentu energi yang kita gunakan memang sangat diperlukan dalam kehidupan kita, tetapi apakah kalian pernah terpikir tentang ujung dari pemakaian energi? Energi tidak terbarukan akan habis pada akhirnya dan umat manusia akan hidup tanpa listrik, juga tanpa bahan bakar.Â
Selama ini, kebanyakan orang berpikir bahwa energi yang dihasilkan dari alam tidak akan pernah habis. Pemikiran ini yang akhirnya memengaruhi cara hidup manusia dan mengabaikan dampak jangka panjang dari pemakaian energi secara berlebihan.
 Sayangnya, energi tak terbarukan yang digunakan industri saat ini dapat sewaktu-waktu habis. Menurut riset, sumber daya minyak bumi, gas alam, dan batu bara di Indonesia hanya dapat bertahan 20-60 tahun mendatang. Maka dari itu, para inovator dari seluruh dunia berbondong-bondong meneliti dan menemukan energi terbarukan yang paling tepat. EBT (Energi Baru Terbarukan) yang dikembangkan biasanya menggunakan limbah atau sisa buangan dari aktivitas masyarakat.Â
Salah satu inovasi EBT yang sedang dikembangkan adalah tumbuhan cokelat atau yang sering kita sebut dengan Kakao. Produk pangan olahan cokelat yang kita konsumsi dihasilkan dari fermentasi biji Kakao, sedangkan bagian kulit buah Kakao menjadi limbah yang dibiarkan membusuk atau sekedar menjadi pakan ternak. Menurut status pengusahaan di Indonesia tahun 2015, luas perkebunan Kakao mencapai 1.709.284 ha atau setara dengan 25 kali luas Jakarta. Saat ini, jumlah industri pengolahan Kakao tercatat kurang lebih 50 produsen. Dengan begitu, bayangkan betapa banyak limbah yang disisakan olehnya?Â
Kabar gembiranya, kulit Kakao memiliki kadar etanol 83% sebanyak 100 mililiter dan etanol 80% sebanyak 200 mililiter. Pulp Kakao atau biasa disebut kulit Kakao punya komponen gizi yang tinggi, sehingga dapat dijadikan sebuah bioetanol, yakni cairan hasil fermentasi gula dengan mikroorganisme.Â
Menurut Sulistyowati pada 1998, Limbah pulp Kakao merupakan lapisan berlendir yang menyelimuti keping biji yang sebagian terdiri atas air dan komponen gizi, diantaranya sukrosa, glukosa, dan sedikit pati, sehingga sangat potensial untuk diolah menjadi bioenergi yaitu bioetanol.Selain itu, Hidayat (1995) menyatakan pada karya tulis ilmiahnya bahwa cairan kulit Kakao segar mengandung gula sebanyak 12% hingga 15%. Jumlah gula yang terkandung dalam kulit Kakao ini yang akan dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol. Bioetanol inilah yang dapat mengurangi emisi karbon dan menjadi alasan pertama kulit Kakao adalah jawaban yang paling tepat dalam mengatasi ancaman krisis energi.Â
Di Pantai Gading sendiri, sudah dibangun pembangkit listrik biomassa Divo dari limbah Kakao, dan akan selesai tahun 2023. Pembangkit ini diperkirakan mampu menghasilkan 46-70 MW listrik setiap tahun. Bahkan, studi menyatakan pembangkit ini akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 4,5 juta ton dari sumber listrik saat ini.Â
Negara di Afrika Barat ini telah menetapkan target untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan berbasis limbah Kakao hingga 42%, serta mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 28% di tahun 2030 mendatang. Peneliti Jo Darkwa, Karen Moore dan rekan-rekan mereka di Universitas Nottingham Inggris, telah mengembangkan generator berdaya 5KW dari limbah tumbuhan  Kakao. Hal ini bertujuan untuk menyediakan akses listrik ke pedesaan di mana biasanya hanya 50% penduduk yang memiliki listrik.Â
Kedua, kulit Kakao rupanya dapat dimanfaatkan menjadi bio-oil menggunakan metode pirolisis. Bio-oil merupakan bahan bakar cair yang lebih ramah lingkungan dibanding bahan bakar fosil. Bio-oil dari kulit Kakao juga dapat diolah menjadi minyak goreng, mengingat minyak goreng adalah bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat guna mengelola bahan pangan.Â
Dan yang tidak kalah penting, pemanfaatan pulp Kakao sebagai energi terbarukan secara tidak langsung menyejahterakan para petani Kakao. Petani Kakao akan mendapat keuntungan dari hasil penjualan limbah kulit Kakao kepada pihak pengelola. Sistem ini sudah diterapkan di Pantai Gading, dimana mereka mendirikan pabrik pengubah limbah menjadi energi, dan mulai mengubah nasib 600.000 petani Kakao di sana. Negara ini juga menargetkan untuk membangun sembilan pabrik serupa.Â
Melihat seluruh dampak positif yang didatangkan oleh pengembangan EBT berbasis limbah Kakao, tentunya tidak hanya negara Afrika yang dapat membuahkan hasil, tetapi begitu juga dengan Indonesia. Perkebunan Kakao di Indonesia mencakup area yang sangat luas, otomatis menyisakan limbah yang besar pula.
Selain sangat menguntungkan di masa mendatang, pengembangan EBT dari kulit Kakao juga membantu mengurangi dampak negatif lainnya dari limbah kulit Kakao yang tidak dikelola dengan baik. Limbah tumbuhan Kakao yang dibiarkan akan menciptakan masalah baru bagi lingkungan karena pembusukan akibat penguraian karbon oleh mikroorganisme. Keputusan ada di tangan para pengembang industri Indonesia, untuk tidak mengabaikan permasalahan energi dan mulai melihat peluang pengembangan EBT berbasis limbah cokelat.Â
Dengan mengembangkan limbah cokelat sebagai energi terbarukan, kebutuhan akan energi terpenuhi hingga jangka waktu yang lama, gas emisi berkurang signifikan, limbah perkebunan dan pertanian terminimalisir, dan pastinya kualitas kesehatan mahkluk hidup terjaga. Sudah saatnya kita sadar akan kebutuhan energi di masa depan, menciptakan Energi Baru Terbarukan yang ramah lingkungan. Bukan hanya para inovator dan pemerintah saja yang menggalakkan inovasi EBT, tetapi masyarakat juga harus turut mendukung perubahan dunia ke Energi Baru Terbarukan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI