Otak kita memiliki apa yang disebut sistem pemantauan sosial yang menggunakan suasana hati, orang, dan isyarat lingkungan untuk melatih diri merespon kondisi tertentu. Namun, ketika menjadi korban ghosting, hal itu tidak berlaku. Akibatnya orang tersebut jadi mempertanyakan diri sendiri dan merasa tidak punya harga diri. Kepercayaan diri juga ikut pupus karenanya.Â
Wendy Walsh, Profesor Psikologi dari California State University menjelaskan ada empat level dari tindakan ini. Semakin dekat dan dalam hubungan yang dijalin, maka semakin tinggi levelnya. Intensitas hubungan dan kontak fisik menjadi salah satu yang berpengaruh. Meski kadarnya berbeda namun semuanya bisa mempengaruhi kesehatan emosional seseorang.Â
Perasaan ditinggalkan, ditolak dan dianggap tidak berharga untuk mendapatkan penjelasan kerap dirasakan oleh korban ghosting. Tak heran jika kemudian ini berpengaruh pada semangat hidup dan suasana hati seseorang. Tindakan ini sendiri dianggap sebagai bentuk final dari silent treatment. Kondisi ini merujuk pada kekejaman emosional yang dipercaya bisa diredakan dengan obat pereda rada sakit.
Efek buruk lainnya adalah korban ghosting akan cenderung menyalahkan diri sendiri. Psikolog yang berbasis di Los Angeles ini mengatakan akan ada sejumlah pertanyaan kepada diri sendiri.Â
Berbagai perasaan negatif ini kemudian membuat rasa sakitnya bertahan lama. Korban ghosting tidak hanya berkutat pada perasaan gagal move on saja. Ada kepercayaan diri yang runtuh dalam proses tersebut. Selain itu, bisa saja muncul perasaan khawatir di kemudian hari untuk bisa kembali memulai hubungan dengan orang lain.
Islam sendiri melarang adanya pemutusan silaturahim hal ini dikemukakan dalam kitab karangan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy'ari berjudul at-Tibyan fi Nahyi an Muqatha'ah al-Arham wal Aqrab wal Akhwan (Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturahmi, Kerabat, dan Persaudaraan).
Abi Hurairah, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda Orang muslim tidak boleh memutus hubungan silaturahmi lebih dari tiga hari. Barang siapa memutuskan hubungan itu lebih dari tiga hari kemudian meninggal, maka dia akan masuk neraka (HR Abu Dawud).
Pendapat KH Hasyim Asy'ari tentang dosa besar pad hadits itu yakni bahwa memutus hubungan yang terjadi diantara kita di masa sekarang bukan demi kebaikan orang yang memutus dan orang yang diputus dan bukan pula demi kehidupan mereka, tetapi hanya mengakibatkan kerusakan bagi kedua belah pihak seperti yang sudah jelas bagi orang-orang yang berpikiran lurus maka memutus hubungan silaturahmi adalah termasuk dosa besar karena di dalamnya terdapat kerusakan agama dan dunia, iri hati dan saling marah.
Namun ada berbagai perbedaan pandangan para ulama mengenai batasan memutus tali silaturahim:
() ( ) . -- .
"Sebagian dari maksiat adalah memutus tali silaturahim. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna yang dikehendaki dari 'memutus tali silaturahim' ini. Menurut sebagian pendapat, memutus tali silaturahim sebaiknya dikhususkan pada bentuk perbuatan buruk pada kerabat. Pendapat lain menyangkal pandangan tersebut, sebaiknya memutus tali silaturahim bertumpu pada tidak berbuat baik (pada kerabat), sebab dalam beberapa hadits menganjurkan untuk menyambung tali silaturahim dan melarang memutus tali silaturahim, dan tidak ada perantara makna di antara keduanya. Menyambung tali silaturahim berarti menyambungkan suatu kebaikan, sedangkan memutus tali silaturahim adalah kebalikannya, yakni tidak melakukan kebaikan.