Mohon tunggu...
Elvidayanty Darkasih
Elvidayanty Darkasih Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Email : elvi.jambi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suka-duka Tinggal di Rumah Orang Lain: Jadi Upik Abu, Tukang Ojek, hingga Diperlakukan seperti Anak Sendiri (3)

9 Agustus 2020   13:14 Diperbarui: 9 Agustus 2020   13:13 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Elvi...bangun! Tuh, sudah pergi Jaka Tarubnya, gara-gara nungguin bidadarinya nggak bangun-bangun." 

"Emak pernah lihat sarang babi, nggak? Kalo belum pernah, tuh lihat tempat tidur si Elvi. Mirip sarang babi." 

Ledekan-ledekan seperti itu biasa saya dengar saat tinggal di rumah sahabat saya. Teman akrab saat saya masih sekolah di Madrasah Aliyah (setingkat SMA). 

Ketika itu, karena masalah keuangan, saya menyewakan rumah warisan orangtua. Dari luas bangunan sekitar 4 meter persegi, saya hanya menggunakan 1/3 bagian dari rumah untuk menyimpan barang dan tempat tinggal saya, atau jika sesekali ada saudara yang datang. Sisa ruangannya, disewa teman saya untuk kantor percetakan. 

Awalnya, saya hanya sesekali menginap di rumah teman. Misalnya, saat di rumahnya ada acara. Sampai suatu hari, orangtua teman saya menyarankan saya sebaiknya tinggal bersama mereka. Selain kasihan melihat saya tinggal sendirian di rumah, kebetulan juga teman saya adalah satu-satunya anak perempuan di keluarganya. 

Abah adalah dosen di universitas Islam, saat masih kuliah, beberapa kali abah mengajar di mata kuliah yang saya kontrak. Emak adalah guru senior di sekolah dasar (SD) negeri. Teman saya, mengajar di taman kanak-kanak (TK). Saat ini, dia sudah jadi kepala sekolah di TK tersebut. Emak dan teman saya ini juga punya usaha terima jahit pakaian di rumah. 

Saat tinggal bersama keluarga teman saya ini, saya masih menjadi asisten dosen di kampus tempat saya kuliah. Sesekali saya ke kampus jika harus menggantikan dosen saya mengajar. Saat di rumah, kadang saya membantu abah mengoreksi skripsi mahasiswa bimbingannya. 

Keluarga yang hangat dan ceria, setiap anggota keluarga produktif dengan kesibukan masing-masing. Dan setiap berkumpul, selalu saja ada bahan untuk membuat suasana rumah menjadi rame. Setiap orang kebal dengan ledekan sepedas apapun. Yang paling sering jadi sasaran ledekan adalah anak bungsu karena kulitnya yang paling gelap. 

"Dek, kenapa kau tidak laporkan saja emak dan Abah ke polisi?" Ucap teman saya suatu hari saat kami berkumpul. 

"Emang, salah emak dan abah apa, Yuk?" Jawab si bungsu lugu. 

"Karena sudah menggelapkan anak." Jawab teman saya. 

"Ayuk mau bilang aku hitam?" Ucapan si bungsu membuat semua tertawa. 

Sesekali, abang sulung teman saya ini pulang dari Jogja. Semua orang di rumah mendapat hadiah baju batik, termasuk saya. Saat saya mendapat kesempatan fellowship untuk membuat film dokumenter, saya tinggal di Jogja selama sebulan. Abang rajin menjenguk saya dan mananyakan kabar. Saat itu, abang mendapat beasiswa kuliah S2 di Jogja. Hampir setiap hari juga emak, Abah dan teman saya menelpon saya menanyakan kabar. 

Setahun lebih saya tinggal di keluarga sahabat saya. Melewati Ramadhan dan lebaran bersama. Emak dan abah menganggap saya seperti anak sendiri. Sahabat saya dan saudara-saudaranya juga mengganggap saya seperti saudara sendiri. Saya tidak pernah membayar serupiahpun untuk biaya sewa tempat tinggal. Sesekali saya bantu belanja, itupun lebih banyak kebutuhan pribadi. 

Emak juga tidak pernah menyuruh saya melakukan pekerjaan rumah. Saya hanya berinisiatif mengerjakan pekerjaan rumah yang belum diselesaikan anggota keluarga yang lain. Saat teman saya membersihkan rumah dan halaman, saya membantu emak memasak di dapur atau mencuci piring. Tidak ada yang mempermasalahkan saya bangun siang. Abah hanya tidak suka anak-anaknya belum pulang sebelum jam 6 sore. Jika jam 5 sore ada yang belum pulang, abah akan sibuk menelpon bolak-balik. Kalau lewat jam 6 sore baru sampai di rumah, telinga harus siap mendengarkan omelan abah.  

Saat masa sewa rumah saya selesai, dan teman saya tidak memperpanjang sewanya. Saya balik lagi ke rumah warisan orangtua, saya membuka kost-kostan khusus untuk perempuan. Sebenarnya saya berat meninggalkan rumah sahabat saya yang hangat itu. Tapi, meninggalkan rumah dengan sejumlah orang yang indekost tanpa pengawasan akan berisiko tinggi. 

Terimakasih ya, Kawan. Karena sudah berbagi keluarga yang hangat dan baik. Semoga selalu dipenuhi berkah dan kebaikan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun