Mohon tunggu...
Elvi Anita Afandi
Elvi Anita Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - FAIRNESS LOVER

Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Hanya Saat Maulid Nabi SAW

17 September 2024   12:46 Diperbarui: 17 September 2024   14:22 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: peringatan maulid Nabi saw. di sekolah. (sumber: SMAN 2 Kota Tangsel)

 Rindu kami padamu ya Rasul, 

rindu tiada terperi, 

berabad jarak darimu ya Rasul, 

seakan dikau disini...

Reff. 

Cinta ikhlasmu 

pada manusia 

bagai cahaya suarga... 

Dapatkah kami membalas cintamu 

secara bersahaja...

 

Setiap kali mendengar atau menyanyikan bait-bait lagu Bimbo itu, selalu saja dada saya terasa sesak, tidak jarang bulir air mata akhirnya titik juga.

Hari ini saya menulis tentang kelahiran manusia agung itu, Nabi Saw, dari jendela kantor, saya melihat anak-anak keluar dari masjid sembari membawa bongsang (wadah makanan terbuat dari bambu yang dianyam renggang-renggang -- khas Jawa barat) dengan wajah gembira. Kukira rata-rata mereka belum memahami makna dibalik peringatan maulid Nabi Saw itu atau siapa manusia paripurna yang mereka peringati kelahirannya itu.

Beberapa hari ini, bahkan sampai hampir sebulan ke depan, di masjid-masjid, musholla-musholla, majelis-majelis taklim sedang dan akan silih berganti bahkan bersamaan menyelenggarakan perhelatan maulid Nabi Saw ini. Tidak hanya di lembaga-lembaga keagamaan, tapi juga instansi pemerintah dan sekolah-sekolah turut menyelenggarakan.

Lepas dari masalah khilafiyah, perdebatan pendapat tentang hukum memperingatinya, mendengar ibu-ibu, bapak-bapak terlebih anak-anak gemuruh membaca shalawat, seperti pagi  tadi, saya tidak mampu menahan air mata.

Membaca shalawat di samping diperintahkan juga menjadi bukti cinta. Membaca atau mendengarnya memberikan kenikmatan sendiri. Apa sesungguhnya shalawat itu? Allah Swt dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Saw, kitapun diperintahkan untuk bershalawat (QS. Al Ahzab: 56).

Dalam kamus bahasa Arab, Lisan al 'Arab, arti shalawat bergantung pada siapa yang mengucapkannya,  jika  Allah Swt bershalawat, itu berarti Allah Swt memberikan rahmat dan kasih sayangNya. Jika malaikat, berarti mereka memohonkan ampunan kepada Allah Swt. dan jika kita, kaum muslimin bershalawat, itu merupakan permohonan kepada Allah Swt agar mencurahkan karunia rahmatNya kepada Rasulullah, Nabi Muhammad Saw beserta alam seisinya.

Berapa banyak kita harusnya membaca shalawat setiap hari? Tidak ada batasan. "Manusia yang paling utama (dekat) di sisiku kelak pada hari kiamat adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat kepadaku (HR Imam Turmudzi dan Ibnu Mas'ud). Juga hadits:"Barangsiapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali" (HR Muslim).

Maka yang utama adalah bershalawat sebanyak-banyaknya. Dengan begitu kita berharap akan memperoleh keutamaannya; mendapatkan syafa'at uzma dari Rasulullah Saw di hari kiamat kelak, mendapatkan pahala kebaikan dan dimudahkan Allah dalam segala urusan baik di dunia maupun akhirat.

Kendatipun demikian bukan berarti membaca shalawat adalah satu-satunya wujud kecintaan pada Rasul Saw dan bentuk penolong di hari kiamat, tentu harus diiringi dengan melaksanakan perintahnya semampu kita dan tidak melakukan apa yang dilarang oleh beliau rasul Saw.

Kapan dan dalam keadaan apa saja shalawat boleh dibaca? Kapan saja dan dalam keadaan apa saja, kecuali saat-saat yang dilarang mengucapkan kalimah thayibah (yang baik), seperti saat "berhajat" di kamar kecil. Dan tentu tidak tepat jika ada pemahaman yang menyebutkan bahwa hendaknya memperbanyak shalawat terutama pada saat maulid Nabi Saw.

 Banyak orang untuk mewujudkan cintanya pada Rasul, kemudian menggubah syair-syair shalawat. Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahirannya dalam syair yang indah: "Telah dilahirkan seorang Nabi, alampun bercahaya, sang waktupun tersenyum dan memuji."

ilustrasi peringatan Maulid Nabi saw, banyak kelompok pengajian menjadi jauh lebih ramai dibanding biasanya. Dokpri.
ilustrasi peringatan Maulid Nabi saw, banyak kelompok pengajian menjadi jauh lebih ramai dibanding biasanya. Dokpri.

Ada satu kisah yang membuat saya merinding dan merenung. Kisah ini sesungguhnya ditulis oleh seorang kyai dari Madura, K.H. D. Zawawi Imron dalam bukunya berjudul Sate Rohani dari Madura.  Begini kisahnya:

Dahulu, disebuah kota di Madura, ada seorang nenek renta penjual bunga cempaka. Sebelum pagi, si nenek telah berjalan jauh untuk mengambil bunga cempaka itu, kemudian berjalan lagi menuju ke pasar untuk menjualnya.

 Usai berjualan, si nenek bergegas menuju masjid, berwudhu dan melaksanakan sholat duhur, kadang berjamaah, kadang ia laksanakan secara munfarid (sendiri, tidak berjamaah) kemudian wiridan ala kadarnya. Kemudian berdiri dan berjalan membungkuk-bungkuk di halaman masjid mengambil dedaunan satu persatu. Tidak ada satu daunpun yang terlewati, sampai di sudut-sudut halaman sekalipun. Memungut dengan cara begitu tentu membutuhkan waktu yang lama, keringatnya bercucuran diterpa udara Madura yang  panas terik, maklum...daerah pesisir.

Banyak orang iba menyaksikan aktifitas nenek ini. Pengurus masjid akhirnya memutuskan untuk membersihkannya sebelum orang tua itu membersihkan.

Siang  itu seperti biasa sang nenek tiba di masjid. Saat ingin melakukan pekerjaan rutinnya, betapa terkejutnya ia, tidak satu daunpun ada di halaman masjid. Ia-pun kembali ke masjid, menangis keras. Seorang ta'mir masjid dan beberapa orang lagi menghampiri. Si nenek mempertanyakan, "Mengapa daun-daun itu dibersihkan?"  Ta'mir masjid menjawab bahwa mereka kasihan. "Jika kalian kasihan kepadaku, berilah aku kesempatan untuk memungut daun-daun itu selama aku mampu".

Suatu ketika kiai yang berpengaruh diminta untuk bertanya kepada nenek tentang aktifitasnya itu. Si nenek mau menjawab pertanyaan Kiai dengan dua syarat, pertama; hanya Kiai yang mendengar alasan rahasianya, kedua; rahasia itu tidak boleh disebar atau diberitahukan kepada orang lain selama ia masih hidup. Sekarang nenek itu telah tiada, andapun boleh mendengar rahasia itu.

Kata si nenek, "Pak Kiai, saya ini orang bodoh. Saya sangat tahu amal-amal saya sangat kecil, itupun mungkin tidak benar. Saya tidak mungkin bisa selamat pada saat hari kiamat dan di akhirat kelak tanpa syafaat dari kanjeng nabi Muhammad saw. Setiap saya mengambil satu daun, saya mengucapkan satu shalawat kepada Kanjeng Rasulullah Saw. Kelak jika saya mati, saya berharap Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu  bersaksi bahwa saya membacakan shalawat untuknya.

Kisah ini menyadarkan saya,  seringkali kita merasa tanpa beban dan merasa cukup dengan amal-amal kita. Perempuan tua dari kampung ini, bukan saja menunjukkan bentuk cinta yang demikian tulus kepada Rasul Saw, tapi juga wujud kerendahan hati, kehinaan diri dan keterbatasan amal di hadapan Allah Swt, aplikasi dari kesadaran spiritual yang luhur. Ia tidak bisa mengandalkan amalnya, menghadapi pengadilan Allah, semua bergantung kepada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat seluruh alam kecuali Rasulullah Saw. Maka... perbanyaklah bershalawat, bukan hanya saat memperingatai maulid Nabi Saw. saja. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun