Mohon tunggu...
Elvi Anita Afandi
Elvi Anita Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - FAIRNESS LOVER

Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kata Ikhlas, Kadang Terasa Seperti "Pentungan"

20 Juni 2024   06:02 Diperbarui: 20 Juni 2024   06:26 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru mengaji.  Sumber: Yayasan suara hati madani.

Suami isteri itu datang ke rumah untuk mengambil daging kurban. Dulu, sang isteri adalah seorang pegawai honorer di kantorku dengan gaji Rp 500.000 per bulan. Karena sakit dia tidak bisa ikut tes dalam rangka perpanjangan tenaga honorernya. Otomatis ia-pun gugur. Sang suami tiga tahun terakhir ini tidak ada pekerjaan. Apa saja yang menghasilkan uang ia kerjakan. Kerja serabutan kata orang. Ia sempat mendapatkan sedikit modal untuk berjualan bakso kecil-kecilan dekat rumahnya. Sayang usaha ini hanya berjalan beberapa minggu, dan modalpun ludes. Daya beli masyarakat sekitar situ memang rendah. Jika anak-anak rewel ingin makan bakso, orang tua mereka memohon agar diperkenankan membeli Rp 5000;- saja. Sang suami tak kuasa menolak. Kasihan, ia teringat anaknya sering dalam posisi seperti itu.

Sebenarnya sang isteri, teman saya itu, adalah seorang ustadzah, sudah berpuluh tahun sejak ke lima anak-anaknya masih kecil hingga sekarang si sulung dan putera ke dua sudah beranjak dewasa. Hampir setiap hari selalu ada jadwal untuk memimpin doa atau mengajar ibu-ibu majelis taklim. Di rumahnya-pun nyaris tak pernah sepi anak-anak mengaji. Ada sekitar 100 orang murid mengajinya dengan jadwal ada yang siang, sore  atau malam. Meskipun telah mereka inisiasi sendiri perbulan infak Rp 10.000, toh lebih banyak yang tidak berinfak dari pada yang  infak.

Ada dua orang kaya memanggilnya untuk mengajar pengajian ibu-ibu atau mengajarkan Alquran anak-anak mereka. Pada waktu yang ditentukan ia datang ke rumah murid-muridnya atau tempat pengajian dengan teratur dengan berjalan kaki atau diantar suami dengan motor bututnya atau berjalan kaki bila agak dekat. Setelah habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.

Sayang, mereka yang dia ajar kesadaran akan penghargaan jasa seorang ustazah masih rendah. Acap dibayar dengan hiburan pahala keikhlasan.

Orang kaya yang di desa A berkata, "Ibu Ustadzah, saya yakin Ustadzah orang yang ikhlas. Ustadzah hanya mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Ustadzah bila kita menentukan bayaran Ustadzah. Saya berdoa mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Ustadzah berlipat ganda." Temanku itu tersenyum dan termenung menerawang. Ia tidak bisa berkata apa-apa. la bingung. Kata-kata itu terdengar benar. Tetapi ia merasa ada sesuatu yang salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi di mana. Ia tidak tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di situ; ketika ia datang berjalan kaki atau dengan susah payah menyisikan uang buat beli bensin atau ongkos naik angkot. Perih rasanya, terlebih bila perutnya dan perut keluarganya tidak dapat diisi hanya dengan ikhlas. la diam.

Saat itu, esok harinya si bungsu harus membayar uang seragam olah raga di sekolah. Dan air matanya jatuh tak terasa. Sepanjang perjalanan pulang selepas mengajar mengaji, berulang kali ia menghela nafas dalam, sekedar meringankan beban, dadanya yang sempit berusaha di luas-luaskannya.

Orang kaya lainnya memberinya uang transport yang sangat kecil. Seperti orang kaya di desa A, mereka juga menghiburnya dengan kata "ikhlas". Ia bingung. Kata "ikhlas" adalah kata yang mulia dan agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas dan dieksploitasi. Tetapi bila menuntut haknya, ia khawatir menjadi tidak ikhlas.

Adakalanya pada bulan-bulan lain, orang kaya itu menunda uang transportnya dengan alasan belum ada uang cash atau belum ambil uang ke ATM. Mungkin yang model begini hidupnya belum pernah susah, jadi untuk empati saja mereka kesusahan.

Apa yang terjadi pada ustadzah tersebut, terjadi juga pada banyak ustadz atau ustadzah yang tidak kondang yang berdakwah atau mengajar membaca Alquran di daerah, di desa atau di kota. Biasanya anak-anak datang ke rumah ustadz-ustadzah atau dilaksanakan di masjid atau musholla. Kesejahtraan mereka dan keluarganya terabaikan.

Seorang ustadz yang lain berkisah kepada saya, pernah diundang untuk memberikan pengajian pada acara tasyakuran jauh di sebuah kampung di sebuah kabupaten. Dia melewati jalan terjal, yang berkali-kali berbenturan dengan chasis kendaraannya. Dia meninggalkan tempat pengajian menjelang tengah malam dengan perut lapar, dia tidak menerima apa pun. Dia ingin meminta paling tidak uang pengganti bensin atau ongkos sopir, tetapi dia khawatir dia tidak ikhlas. Bukankah kita tidak boleh menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Seperti Ustadazah kawan saya tadi,  dia merasa ada yang tidak beres dalam pengertian ikhlas itu, tetapi dia tidak tahu di mana.

Suatu ketika seorang kawan saya yang lain berceramah di sebuah instansi pemerintah, ketika memberikan ceramah keagamaan untuk para akademisi seseorang dengan bersemangat berkata, "Dahulu Rasulullah Saw. berdakwah dengan membagi-bagikan hartanya kepada para pendengarnya. Rasulullah bukan oraang miskin, beliau memiliki banyak harta, namun selalu disedekahkan hingga tersisa sekedar cukup saja bagi diri dan keluarganya. Sekarang mubaligh menerima amplop, bahkan dengan nilai yang fantastis dari jamaah yang didatanginya, hanya dengan berceramah. Bukankah itu berarti menjual ayat-ayat Allah? Tidakkah da'i-da'i itu mendagangkan agamanya dan keyakinannya untuk dunia? Tidakkah itu mendagangkan agamanya dalam kemasan berdakwah dan berjuang? Apakah kita juga akan menjadi mubaligh amplop?"

Wajah penanya berseri. Tepuk tangan bergema, rasa bangga, karena telah tegas dan berani mengatakan "yang haq" di depan da'i atau mubaligh dan hadirin. Tentu saja, ia senang karena ia menjadi bintang di hadapan para jamaah. Ia menjadi pejuang keikhlasan.

Tiba-tiba saya merasakan "ada yang tidak beres" dalam memaknai ikhlas, seperti yang dikemukakan oleh penanya tadi. Kata ikhlas sekarang telah digunakan untuk "memukul" da'i atau mubaligh atau mungkin pengajar agama lainnya. Konsep agama yang begitu luhur telah disalahgunakan untuk merampas hak para pengajar agama. Tenaga mereka dikuras oleh berbagai kegiatan dakwah, mengajarkan membaxa huruf-huruf Alquran, shalat dan lain-lain sehingga tidak sempat atau tidak terlalu fokus mencari nafkah. Bila tubuh mereka menjadi ringkih atau sakit karena kepayahan, mereka tidak perlu diberi uang untuk berobat.

Mereka seperti ditinggalkan begitu saja, habis manis sepah dibuang. Sekedar pertanyaan basa-basi dilontarkan: sakit apa, dan doa pemantas semoga lekas sembuh. Bila mereka dipanggil ke tempat jauh, mereka tidak perlu diberi pesangon yang layak. Mereka diminta berkorban untuk umatnya, sehingga mereka kehilangan banyak hal, pekerjaan, harta, momen kebersamaan dengan keluarga bahkan kehormatan kehidupannya. Bukankah jika didesak kebutuhan terpaksa berhutang, atau menyindir halus mereka yang diajar agar bisa memberi sesuatu untuk menutup kebutuhannya? Kata "ikhlas" telah digunakan untuk melemahkan para da'i.

Betapa seringnya kata-kata digunakan untuk menyembunyikan kenyataan, dan bukan untuk mengungkapkannya. Korzybsky-ahli general semantics - benar ketika ia menyatakan bahwa ada hubungan antara kekacauan penggunaan bahasa dengan penyakit dalam jiwa; dan bahwa masyarakat yang mengalami hal itu hanya dapat disehatkan kembali dengan menertibkan istilah-istilah yang mereka gunakan.

Benarkah ikhlas artinya tidak menerima upah ketika mengajarkan Alquran, seperti kata orang kaya pada ustad-ustadzah kita? Benarkah ikhlas artinya tidak menerima pesangon atau honorarium untuk kegiatan dakwah dan keagamaan lainnya? seperti kata penanya akademisi yang berani tadi. Saya teringat suatu peristiwa pada zaman Nabi Saw.

Nabi Saw. mengirimkan pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang. Mereka tiba pada sebuah perkampungan. Mereka menuntut hak sebagai tamu, tapi tak seorang pun menjamu mereka. Pada saat yang sama, pemimpin kaum itu digigit ular. Mereka meminta bantuan para sahabat untuk mengobatinya. Abu Sa'id Al-Khudhri bersedia mengobatinya, asalkan mereka membayarnya dengan tiga puluh ekor kambing. Ia membacakan Surah Al-Fatihah tiga kali. Orang itu sembuh. Ketika Abu Sa'id membawa kambing-kambing itu, para sahabat lain menolaknya. "Engkau menerima upah dari membaca Kitab Allah?" tanya mereka. Ketika sampai di Madinah, mereka menceritakan kejadian itu kepada Nabi yang mulia. "Bagikan di antara kalian. Tidak ada yang paling pantas kalian ambil upahnya seperti membaca Kitab Allah," sabda Nabi Saw. (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain; lihat Tafsir Al- Durr Al-Mantsur).

Nabi Saw. tidak menyebut Abu Sa'id Al-Khudhri menjual ayat-ayat Allah Swt. Beliau Saw. bahkan mengatakan bahwa mengambil upah dari membaca Kitab Allah itu sangat pantas. Dalam Alquran, orang yang menyebarkan ajaran Islam termasuk fi sabilillah dan berhak mendapat bagian dari zakat, walaupun ia kaya sekalipun. Ketika mubaligh, da'i, guru ngaji apapun sebutannya menerima upah atau zakat, ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.

Pada suatu acara, jamaah ingin mengungkapkan terima kasihnya kepada mubaligh yang mengajarnya. Mereka memberikan kenang-kenangan. Sang mubaligh menolak seraya berkata, "Saya tidak ingin merusak keikhlasan saya. Saya mengajar Anda tanpa mengharapkan upah. Upah saya di sisi Allah." Mubaligh itu mendefinisikan ikhlas sebagai menolak upah dari manusia? Betulkah definisi itu? Jangan sampai kata ikhlas itu menjadi "pentungan" bagi sebagian orang yang mencurahkan tenaga, waktu dan ilmunya..... Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun