Suami isteri itu datang ke rumah untuk mengambil daging kurban. Dulu, sang isteri adalah seorang pegawai honorer di kantorku dengan gaji Rp 500.000 per bulan. Karena sakit dia tidak bisa ikut tes dalam rangka perpanjangan tenaga honorernya. Otomatis ia-pun gugur. Sang suami tiga tahun terakhir ini tidak ada pekerjaan. Apa saja yang menghasilkan uang ia kerjakan. Kerja serabutan kata orang. Ia sempat mendapatkan sedikit modal untuk berjualan bakso kecil-kecilan dekat rumahnya. Sayang usaha ini hanya berjalan beberapa minggu, dan modalpun ludes. Daya beli masyarakat sekitar situ memang rendah. Jika anak-anak rewel ingin makan bakso, orang tua mereka memohon agar diperkenankan membeli Rp 5000;- saja. Sang suami tak kuasa menolak. Kasihan, ia teringat anaknya sering dalam posisi seperti itu.
Sebenarnya sang isteri, teman saya itu, adalah seorang ustadzah, sudah berpuluh tahun sejak ke lima anak-anaknya masih kecil hingga sekarang si sulung dan putera ke dua sudah beranjak dewasa. Hampir setiap hari selalu ada jadwal untuk memimpin doa atau mengajar ibu-ibu majelis taklim. Di rumahnya-pun nyaris tak pernah sepi anak-anak mengaji. Ada sekitar 100 orang murid mengajinya dengan jadwal ada yang siang, sore  atau malam. Meskipun telah mereka inisiasi sendiri perbulan infak Rp 10.000, toh lebih banyak yang tidak berinfak dari pada yang infak.
Ada dua orang kaya memanggilnya untuk mengajar pengajian ibu-ibu atau mengajarkan Alquran anak-anak mereka. Pada waktu yang ditentukan ia datang ke rumah murid-muridnya atau tempat pengajian dengan teratur dengan berjalan kaki atau diantar suami dengan motor bututnya atau berjalan kaki bila agak dekat. Setelah habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.
Sayang, mereka yang dia ajar kesadaran akan penghargaan jasa seorang ustazah masih rendah. Acap dibayar dengan hiburan pahala keikhlasan.
Orang kaya yang di desa A berkata, "Ibu Ustadzah, saya yakin Ustadzah orang yang ikhlas. Ustadzah hanya mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Ustadzah bila kita menentukan bayaran Ustadzah. Saya berdoa mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Ustadzah berlipat ganda." Temanku itu tersenyum dan termenung menerawang. Ia tidak bisa berkata apa-apa. la bingung. Kata-kata itu terdengar benar. Tetapi ia merasa ada sesuatu yang salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi di mana. Ia tidak tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di situ; ketika ia datang berjalan kaki atau dengan susah payah menyisikan uang buat beli bensin atau ongkos naik angkot. Perih rasanya, terlebih bila perutnya dan perut keluarganya tidak dapat diisi hanya dengan ikhlas. la diam.
Saat itu, esok harinya si bungsu harus membayar uang seragam olah raga di sekolah. Dan air matanya jatuh tak terasa. Sepanjang perjalanan pulang selepas mengajar mengaji, berulang kali ia menghela nafas dalam, sekedar meringankan beban, dadanya yang sempit berusaha di luas-luaskannya.
Orang kaya lainnya memberinya uang transport yang sangat kecil. Seperti orang kaya di desa A, mereka juga menghiburnya dengan kata "ikhlas". Ia bingung. Kata "ikhlas" adalah kata yang mulia dan agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas dan dieksploitasi. Tetapi bila menuntut haknya, ia khawatir menjadi tidak ikhlas.
Adakalanya pada bulan-bulan lain, orang kaya itu menunda uang transportnya dengan alasan belum ada uang cash atau belum ambil uang ke ATM. Mungkin yang model begini hidupnya belum pernah susah, jadi untuk empati saja mereka kesusahan.
Apa yang terjadi pada ustadzah tersebut, terjadi juga pada banyak ustadz atau ustadzah yang tidak kondang yang berdakwah atau mengajar membaca Alquran di daerah, di desa atau di kota. Biasanya anak-anak datang ke rumah ustadz-ustadzah atau dilaksanakan di masjid atau musholla. Kesejahtraan mereka dan keluarganya terabaikan.
Seorang ustadz yang lain berkisah kepada saya, pernah diundang untuk memberikan pengajian pada acara tasyakuran jauh di sebuah kampung di sebuah kabupaten. Dia melewati jalan terjal, yang berkali-kali berbenturan dengan chasis kendaraannya. Dia meninggalkan tempat pengajian menjelang tengah malam dengan perut lapar, dia tidak menerima apa pun. Dia ingin meminta paling tidak uang pengganti bensin atau ongkos sopir, tetapi dia khawatir dia tidak ikhlas. Bukankah kita tidak boleh menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Seperti Ustadazah kawan saya tadi, Â dia merasa ada yang tidak beres dalam pengertian ikhlas itu, tetapi dia tidak tahu di mana.