Mohon tunggu...
Elvi Anita Afandi
Elvi Anita Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - FAIRNESS LOVER

Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ekoliterasi: Peran Tokoh/Penyuluh Agama Membangun Masyarakat "Melek Ekologis"

10 Juni 2024   15:13 Diperbarui: 11 Juni 2024   05:53 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ditpenais dan Penyuluh Agama Kemenag RI tanam mangrove. Dokpri

A. Masalah Lingkungan Hidup

Hasil penelitian terkait kasus kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan korban manusia beberapa kali diberitakan,dulu dan kini. Misal pada akhir tahun 1950 yaitu terjadinya pencemaran di Jepang yang menimbulkan penyakit sangat mengerikan yang disebut penyakit itai-itai (aduh-aduh). Penelitian menunjukkan bahwa kadar zat Cadmium (Cd) dalam beras yang dikonsumsi masyarakatdi daerah yang mendapat pengairan dari sungai Jintsu mengandung Cadmium 10 kali lebih tinggi daripada daerah lain. Penyakit ini terjadi di daerah 3 Km sepanjang sungai Jintsu yang tercemari oleh zat Cadmium dari limbah sebuah pertambangan Seng.

Di sekitar Teluk Minamata di Jepang juga pada tahun 1953, tercatat penduduk yang hidup sekitar wilayah ini mengalami wabah penyakit neurologic yang berakhir dengan kematian. Hasil  penelitian membuktikan bahwa penyakit ini adalah dampak buruk dari pembuangan liar limbah air raksa (Hg) dari sebuah pabrik kimia. Air yang dikonsumsi masyarakat sekitar Teluk Minamata mengalami kenaikan kadar ambang batas yang mengakibatkan  keracunan dan mengakibatkan kematian. Penyakit ini kemudian disebut penyakit minamata

Di Indonesia sendiri rentetan kasus rusaknya ekosistem seperti pembalakan kayu liar, kebakaran hutan atau kejadian pencemaran lingkungan hidup lainnya juga kerap terjadi. Sebut saja kasus yang berlangsung selama enambelas tahun ini. Tragedi semburan lumpur panas dari pengeboran perusahaan tambang, PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur , kendati sudah belasan tahun, penderitaan warga terdampak terus berlangsung dan kondisi lingkungan hidup di sekitar lokasi itu pun memburuk. 

Lumpur Lapindo Sidoarjo Jatim. detikcom. Foto: Budi Sugiharto
Lumpur Lapindo Sidoarjo Jatim. detikcom. Foto: Budi Sugiharto

Belum lama di Aceh (berita 2023), pencemaran limbah udara dari proses produk minyak dan gas telah memakan korban perempuan, anak hingga ibu hamil serta para lansia yang tinggal di lingkaran tambang daerah Gampong Blang Nisam, Alue Ie Mirah, Suka Makmur dan Jambo Lubok Aceh. Warga sudah 4 tahun lebih mencium bau tak sedap. Malah dampaknya saat ini semakin meluas. Sebelumnya hanya bau busuk yang membuat warga mual, muntah, pusing hingga ada yang pingsan dan berulang kali harus dilarikan ke rumah sakit. Sekarang semakin diperparah mulai berdampak terhadap kualitas air sumur yang mulai berubah rasa dan kandungannya. 

Masalah lingkungan adalah masalah kemanusiaan. Karena itu seluruh manusia harus terus mencari solusi secara kolektif guna mengatasi krisis ekologi ini. Kemampuan teknologi, analisis-analisis geografi dan iklim terus digalakkan sebagai cara menemukan solusi yang efektif untuk mengatasi krisis lingkungan. Berbagai regulasi peraturan perundang-undangan, usaha traktat tentang konservasi, menjadi bagian perbincangan. Ranah politik juga ditempuh untuk mengefektifkan pelaksanaan penanggulangan kerusakan lingkungan.

Sayangnya  penanganan krisis lingkungan sejauh ini dinilai masih dilakukan sebatas pendekatan business asusual. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang lain untuk memperbaiki situasi ini sehingga krisis ekologis tidak semakin parah di masa yang akan datang.

B. Agama dan Ekoliterasi

Pada titik inilah, agama harus dihadirkan - sebagai literasi teologi lingkungan - untuk mengawal laju teknologi dan mengendalikan eksploitasi terhadap alam. Mengapa? Karena agama senantiasa menghendaki agar segala perilaku selaras dengan tujuan penciptaan manusia sebagai makhluk pembangun peradaban yang mengelola bumi.

Karenanya, menjadi penting untuk menjalin hubungan yang harmonis antara agama dan lingkungan. Disinilah perlu dirumuskan pandangan agama hubungannya terhadap persoalan lingkungan untuk mendapatkan solusi penanggulangan problematika kerusakan lingkungan.

Kajian terhadap persoalan lingkungan dengan sudut pandang keagamaan merupakan gagasan yang perlu ditindaklanjuti dan dikembangkan. Pertimbangannya antara lain:

  • Petama, persoalan lingkungan memerlukan beragam penelaahan dengan berbagai sudut pandang, meliputi; sains, polititik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, sosiologi, antropologi, dan juga teologi.
  • Kedua, keberadaan agama mampu mempengaruhi para penganutnya untuk berbuat baik dan peduli terhadap lingkungan, dapat menjadi solusi alternatif.
  • Ketiga, permasalahan lingkungan hidup merupakan problematika global dan menjadi tangungjawab penduduk dunia.
  • Keempat, munculnya ragam program penanggulangan permasalahan lingkungan bagaimanapun bentuk serta metode yang disuguhkan, akan membantu kelestarian lingkungan.

Webinar teologi lingkungan, bagian dari ekoliterasi. Dokpri
Webinar teologi lingkungan, bagian dari ekoliterasi. Dokpri

C. Pentingnya Ekoliterasi

Ekoliterasi adalah keadaan di mana seseorang sudah tercerahkan tentang pentingnya lingkungan hidup. Ekoliterasi merupakan sebuah proses meningkatkan pemahaman, pengetahuan, sikap dan perilaku yang berlandaskan ekologi. Ekoliterasi berusaha untuk memperkenalkan dan mereformasi pemahaman seseorang akan urgennya kesadaran ekologis global, dengan tujuan melahirkan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kesanggupan alam dalam menopangnya. Hal ini disebabkan, pada hakikatnya alam memiliki keterbatasan dalam menopang kebutuhan manusia. Pemaksaan terhadap ketidaksanggupan alam akan berdampak bencana bagi umat manusia itu sendiri.

Ekoliterasi berupaya memperkenalkan dan memperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis global guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya. Tujuan ekoliterasi adalah untuk meningkatkan tingkat "melek ekologis" - kesadaran ekologis masyarakat. Kesadaran ini begitu urgent dalam menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam di mana seseorang tinggal. Sehingga setiap bidang kehidupan dan kebijakan (eco-economy, eco-management, eco village hingga hingga eco-city) sanggup dirancang dengan corak ekologis yang kentara. Dengan demikian, posisi ekoliterasi menjadi instrumen yang sangat krusial, menjadi karakter bahkan value. Ekoliterasi menggambarkan kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup, di mana seseorang telah memahami prinsip-prinsip ekologi.

D. Empat Instrumen Ekoliterasi

Menurut ahli, ekoliterasi memiliki empat instrument, yaitu ekoliterasi emosi (heart/emotional), ekoliterasi pengetahuan/kognisi (head/cognitive), ekoliterasi partisipasi (hands/active), serta ekoliterasi relasi (spirit/connectional).

Ekoliterasi Emosi berarti merasakan, peduli, bersimpati, serta menghargai orang lain dan makhluk hidup. Emosi juga berarti mengapresiasi beragam perspektif dan berkomitmen pada kesetaraan dan keadilan bagi semua manusia.

Ekoliterasi Pengetahuan atau kognisi diartikan sebagai upaya melihat masalah dari perspektif sistem dan mengetahui prinsip ekologi (jaringan, system, siklus, aliran, perkembangan, keseimbangan).

Ekoliterasi Partisipasi berarti ikut terjun dalam masyarakat atau komunitas, membuat-menggunakan peralatan dan prosedur yang bersifat menjaga keberlangsungan, mengubah ide menjadi aksi, serta menyesuaikan penggunaan energi dan sumber daya.

Ekoliterasi Relasi berarti mengalami/merasakan takjub terhadap alam, merasa terkait dengan bumi dan semua makhluk, merasakan ikatan kuat dan mengapresiasi ruang, merasakan persaudaraan dengan alam, serta menggugah perasaan tersebut dalam diri orang lain.

Harlah Ke 1 IPARI, rangkaian kegiatan dari 23 s.d. 31 Mei 2024. Dokpri
Harlah Ke 1 IPARI, rangkaian kegiatan dari 23 s.d. 31 Mei 2024. Dokpri

E. Peran Tokoh /Penyuluh Agama

Ekoliterasi harus terus disosialisasikan. Dalam konteks ekoliterasi perspektif agama,  peran tokoh atau penyuluh agama sangat diperlukan. Keberadaan tokoh / penyuluh agama cukup strategis, karena entitas ini memiliki masyarakat binaan yang sifatnya luas. Segmen masyarakat binaan bisa terdiri masyarakat perkotaan, pedesaan, daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar)  dengan berbagai tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan lintas gender.  Sebagai garda terdepan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, peran tokoh atau  penyuluh agama untuk mengajak, mengedukasi, mempersuasi masyarakat, menanamkan ekoliterasi, mendorong masyarakat "melek ekologis" dengan empat instrumen ekoliterasi tersebut bahkan menjadi role model sesuai porsinya menjadikan  peran tokoh atau penyuluh agama cukup efektif untuk melakukan ini. Sebagai contoh kecil, organisasi profesi bagi Penyuluh Agama, Ikatan Penyuluh Agama Republik Indonesia (IPARI) saat memperingati Harlah Ke 1  26 Mei 2024 baru lalu, Penyuluh Agama bersama masyarakat binaan dapat melaksanakan Gerakan Tanam Sejuta Pohon,  Gerakan Zero Plastic dan  Gerakan Diskusi Teologi Lingkungan Perspektif Agama-agama di Indonesia dalam rentang waktu tanggal 23 s.d. 31 Mei 2024.

Ekoliterasi terasa sangat urgen di negeri-negeri manapun, dimana para pejabat dan pengusaha berkerjasama melahirkan kebijakan yang boleh jadi tidak prolingkungan. Ekoliterasi mendorong pembangunan ke depannya dilaksanakan berdasarkan asas ekologis. Tanpa kesadaran seperti ini dikhawatirkan tindakan pengrusakan alam terjadi secara abadi, hingga bumerang kehancuran tinggal tunggu waktu menimpa semua mahluk. Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun