Mohon tunggu...
Elvi Anita Afandi
Elvi Anita Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - FAIRNESS LOVER

Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menghadirkan "Tanah Suci" di Rumah: Oleh-oleh Haji sebagai Bentuk Kenangan dan Syukur

6 Juni 2024   10:34 Diperbarui: 10 Juni 2024   08:20 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko di Kebun Kurma Madinah. Dokpri

Oleh-oleh atau buah tangan adalah barang atau makanan yang dibawa seseorang sebagai tanda kenang-kenangan atau hadiah setelah melakukan perjalanan atau berkunjung ke suatu tempat.

Biasanya, oleh-oleh ini diberikan kepada keluarga, teman, atau kerabat sebagai bentuk perhatian dan tanda bahwa mereka diingat selama perjalanan tersebut.

Oleh-oleh bisa berupa makanan khas, kerajinan tangan, pakaian tradisional, atau barang unik lainnya yang mencerminkan budaya dan ciri khas tempat yang dikunjungi.

Saat ini adalah musim haji. Para jamaah haji, atau keluarga dari anggota keluarga yang sedang berhaji biasanya selalu memikirkan dan mewujudkan oleh-oleh untuk dibagikan kepada keluarga, kerabat dan handai taulan.

Apakah oleh-oleh ini wajib? Tentu saja tidak. Tetapi oleh-oleh bisa dipandang sebagai sunnah yang berpahala selama yang memberikan ikhlas dan tidak memaksakan diri melebihi kemampuannya.

Toko di Kebun Kurma Madinah. Dokpri
Toko di Kebun Kurma Madinah. Dokpri

Hadits mengenai memberikan oleh-oleh atau hadiah saat bepergian mengandung pesan tentang pentingnya berbagi dan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Berikut adalah salah satu contoh hadits Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hal tersebut:

Hadits 1 "Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tatawwa' (amalan sunnah) yang paling utama adalah menaburkan salam dan memberi makan." (HR. Bukhari)."

Hadits ini mengisyaratkan bahwa salah satu amalan sunnah yang sangat dianjurkan adalah memberikan kebahagiaan kepada orang lain termasuk di dalamnya adalah memberikan hadiah atau oleh-oleh ketika kembali dari perjalanan (disini disimbulkan dengan salam dan makanan). Meskipun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan oleh-oleh, memberikan makanan atau hadiah bisa diartikan sebagai bagian dari perbuatan baik yang dianjurkan.

Hadits 2: "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi SAW, beliau bersabda: 'Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.' (HR. Bukhari dan Muslim)."

Hadits ini mengandung pesan bahwa saling memberikan hadiah akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama. Dalam konteks perjalanan, memberikan oleh-oleh kepada keluarga atau teman bisa mempererat hubungan dan menambah rasa kasih sayang.

Maka secara umum dapat dikatakan bahwa memberikan oleh-oleh saat bepergian adalah bagian dari sunnah yang menunjukkan perhatian dan kasih sayang kita kepada orang lain, serta membantu mempererat hubungan sosial di dalam masyarakat.

Membawa oleh-oleh, terutama saat pulang dari perjalanan haji, adalah tradisi yang sangat penting dalam banyak budaya, terutama di Indonesia. 

Salah satu toko di Makkah. Souvenir dan parfum. Dokpri.
Salah satu toko di Makkah. Souvenir dan parfum. Dokpri.

Ada hakikat dan alasan serta perspektif tertentu mengapa orang begitu bersemangat membawa oleh-oleh saat bepergian, terlebih ketika pergi haji, di antaranya:

1. Simbol Cinta dan Kasih Sayang

Oleh-oleh sering kali dianggap sebagai simbol perhatian dan kasih sayang dari seseorang yang telah bepergian.

Dengan membawa oleh-oleh, orang tersebut menunjukkan bahwa mereka mengingat bahkan memikirkan orang-orang yang mereka tinggalkan selama perjalanan mereka.

2. Pengalaman dan Kenang-kenangan 

Membawa pulang sesuatu dari perjalanan haji adalah cara untuk mengabadikan pengalaman spiritual tersebut.

Setiap oleh-oleh memiliki cerita dan kenangan tersendiri dari tempat yang dikunjungi yang dapat dibagikan kepada orang lain. Ini bisa berupa barang khas (boneka onta, gantungan kunci ka'bah, masjid Nabawi, tower zama-zam dan lain-lain), makanan (kurma, coklat, kacang arab, air zam-zam), atau benda yang hanya bisa didapatkan di tempat tersebut (buah dzuriyat dan lain-lain), sehingga menjadi pengingat akan pengalaman perjalanan tersebut.

3. Ungkapan Syukur 

Dalam konteks haji, sebagai salah satu rukun Islam yang sangat mulia, membawa oleh-oleh bisa menjadi bentuk ungkapan syukur atas kesempatan yang diberikan untuk menunaikan ibadah haji. 

Jamaah merasa bersyukur dan ingin membagikan berkah yang mereka rasakan kepada keluarga, teman, dan tetangga. 

Oleh-oleh dianggap sebagai simbol berkah yang dibawa dari Tanah Suci. Oleh-oleh dari Tanah Suci biasanya memiliki nilai spiritual, seperti air zamzam, kurma, atau tasbih, yang dianggap membawa berkah.

4. Norma Sosial

Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, ada ekspektasi sosial untuk membawa oleh-oleh setelah bepergian, terutama dari perjalanan yang penting seperti haji.

Ini bisa menjadi cara untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga, teman, tetangga atau para handai taulan.

5. Ekspresi Tradisi dan Budaya

Di banyak komunitas, membawa oleh-oleh setelah bepergian, terutama dari tempat suci seperti Mekah dan Madinah, adalah tradisi yang telah lama dijalankan. Tradisi ini menjadi bagian dari kebiasaan sosial yang diharapkan dan dihargai.

Oleh-oleh juga bisa mencerminkan warisan budaya dan tradisi dari tempat yang dikunjungi. Ini membantu dalam memperkenalkan dan menyebarkan aspek-aspek budaya yang berbeda kepada orang-orang di tempat asal.

6. Penghargaan dan Doa

Oleh-oleh dari haji sering kali dianggap memiliki nilai spiritual dan penghargaan yang tinggi. Misalnya, air zamzam, kurma ajwa, dan tasbih dari Tanah Suci sering dianggap memiliki nilai spiritual yang khusus, bukan soal bendanya, namun filosofi dibalik benda tersebut.

7. Kewajiban Sosial dan Norma Komunitas 

Di banyak komunitas, membawa oleh-oleh setelah haji hampir menjadi semacam kewajiban sosial. Orang-orang banyak mengharapkan oleh-oleh, dan tidak membawanya bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa atau bahkan menyalahkan kepantasan.

8. Simbol Status

Membawa oleh-oleh dari tempat jauh atau eksotis, seperti Mekah, Madinah atau Al Aqsha kadang-kadang juga bisa dianggap sebagai simbol status sosial, menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan perjalanan yang signifikan.

Dalam banyak perspektif tersebut, tentulah yang terpenting adalah niat dan makna di balik pemberian oleh-oleh. Bukan semata-mata tentang nilai materi dari barang yang dibawa, tetapi tentang perhatian, niat baik, keingatan dan hubungan emosional yang tercipta melalui pemberian tersebut. 

Dan bagi jamaah yang baru pulang, oleh-oleh haji bukan sekedar barang oleh-oleh, bukan sekedar benda buah tangan kenangan dari tanah suci, tetapi ada "rasa" menghadirkan suasana Tanah Suci, Makkah dan Madinah dengan penuh kesyukuran di rumah, dengan harapan di rumah mereka yang mendapatkan oleh-oleh juga dapat menghidangkan "rasa" tanah suci, sehingga menginspirasi rasa keinginan untuk bisa berkunjung ke baitullah. 

Mabrurlah wahai para jamaah haji kita. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun