Mohon tunggu...
Elvi Anita Afandi
Elvi Anita Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - FAIRNESS LOVER

Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aparatur Jabatan Fungsional ASN, Pahami Kriteria Profesi Anda (Bagian II - Refleksi Profesi Penyuluh Agama)

16 Oktober 2023   10:25 Diperbarui: 19 Oktober 2023   10:54 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uji Kompetensi, instrumen keberhasilan Penyuluh Agama. Sumber: pribadi

Dalam tulisan Bagian I terdahulu, telah dibahas: Apa Itu Profesi, Kriteria Profesi, Kesadaran Profesi, Tanggung Jawan Anggota Profesi, Hak-Hak Anggota Profesi dan Peranan Organisasi Profesi secara umum.

Dalam konteks aparatur pemerintah, profesi yang menjadi bahasan tulisan Bagian II  ini adalah profesi yang berkaitan dengan pemangku jabatan fungsional ASN. 

ASN atau Aparatur Sipil Negara adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K)  yang bekerja pada instansi pemerintah. 

Bahasan ini fokus pada ASN yang  berprofesi sebagai Pejabat Fungsional tertentu, khususnya Jabatan Fungsinal Penyuluh Agama yang selanjutnya disingkat JFPA. Jabatan Fungsional adalah sekelompok Jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Sedang Pejabat Fungsional adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Fungsional pada instansi pemerintah.

Jabatan Fungsional Penyuluh Agama sebagai Profesi

Seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Honorer yang diangkat dalam jabatan fungsional tertentu merupakan Profesi bagi yang bersangkutan. 

Salah satu Jabatan Fungsional yang ditetapkan keberadaannya sebagai PNS dari sekitar tahun 1999 adalah Jabatan Fungsional Penyuluh Agama (JFPA). Sedang Penyuluh Agama dengan status Honorer keberadaanya di lingkungan Kementerian Agama RI telah  ada jauh sebelum Penyuluh Agama PNS ditetapkan.

Penyuluh Agama merupakan jabatan fungsional dimana seluruh kriteria profesi yang disebut para ahli pada Bagian I tulisan ini telah melekat pada jabatan ini. Apa saja kriteria yang telah melekat pada Jabatan Fungsional Penyuluh Agama tersebut? Berikut uraiannya:

1. Memiliki lembaga pendidikan, baik formal maupun informal.

Secara khusus lembaga pendidikan, baik formal maupun informal mempersiapkan atau dapat dipersiapkan untuk profesi ini. Masa pendidikan diperlukan hingga mendapatkan gelar yang sesuai tuntutan profesi. Profesi Penyuluh Agama setidaknya berlatar pendidikan sarjana agama non kependidikan. Karenanya profesi penyuluh agama merupakan pekerjaan intelektual dan ilmiah dengan tahapan dan standar tertentu.

Tidak setiap jurusan agama atau yang berasal dari Fakultas Agama dapat diterima dalam formasi Penyuluh Agama. Ada jurusan-jurusan tertentu seperti S-1 Bimbingan Konseling Islam,  S-1 Ilmu Agama Islam, S-1 Ilmu Syariah Islam, S-1 Bimbingan dan Konseling Islam, S-1 Studi Islam, S-1 Syariah, S-1 Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Quran, S-1 Bimbingan dan Penyuluhan Agama, S-1 Dakwah dan Kebudayaan Islam, S-1 Penyiaran Penerangan Agama Islam, S-1 Hukum Islam,  S-1 Bimbingan dan Penyuluhan Islam, S-1 Dakwah Bimbingan Penyuluhan Islam, S-1 Agama Komunikasi dan Penyiaran Islam, S-1 Theplogi Kepdetaan dan seterusnya.

2. Memiliki pelatihan khusus.

Profesi Penyuluh Agama merupakan pekerjaan praktikal, yang harus memiliki keterampilan khusus yang tidak dimiliki oleh profesi yang lain, kekhasan dalam mengajarkan dan mempraktikkan ilmu agama, komunikasi, metode dakwah dan praktik pemberdayaan pembangunan dengan menggunakan bahasa agama. Karenanya Instansi Pembina JFPA telah memfasilitasi dengan adanya lembaga Pelatihan dan Pendidikan atau Diklat yang melaksanakan kegiatan intensif dan muatan kemampuan intelektual yang signifikan. Telah dilakukan penerbitan kurikulum-kurikulum Diklat subtansial dan teknis bagi profesi JFPA sejak penetapan jabatan fungsional ini.

Standar keberhasilan tugas. Sumber: pribadi
Standar keberhasilan tugas. Sumber: pribadi

3. Memiliki Kode Etik dan Kode Perilaku Profesi.  Profesi yang melekat dalam penyuluh agama mempunyai pedoman sikap dan tingkah laku bagi para anggotanya. Instansi Pembina pada tahun 2021 telah memfasilitasi penyusunan Kode Etik dan Kode Perilaku Profesi Penyuluh.

4. Memiliki organisasi profesi dan menjadi anggotanya.

Setelah terbitnya regulasi yang mewajibkan adanya naungan organisasi profesi, Instansi Pembina dalam hal ini Direktorat Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam sesuai satuan kerjanya telah memfasilitasi pembentukan organisasi profesi bagi Penyuluh Agama yang diberi nama Ikatan Penyuluh Agama Republik Indonesia atau IPARI dan dilantik kepengurusan perdana di tingkat Pusat pada tanggal 26 Mei  2023 di Jakarta.

Organisasi profesi inilah yang akan melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai fungsi informatif, edukatif, aspiratif, advokatif, konsultatif, adminitratif dan pemberdayaan. IPARI menjadi organisasi profesi yang komprehensip yang berhak dan dapat mengatur kepentingan para anggota organisasi profesi. Keanggotaan organisasi  profesi penyuluh agama atau IPARI terdiri dari penyuluh agama semua bidang: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu baik PNS, P3K maupun Honorer.

Sebelum terbentuk IPARI, Penyuluh Agama belum memiliki organisasi profesi resmi sebagaimana dikehendaki Permen PANRB Nomor 13 Tahun 2019 dan kemudian diganti dengan Permen PANRB Nomor 1 Tahun 2023, sehingga penyaluran kebutuhan korps Penyuluh Agama dilakukan melalui Kelompok Kerja Penyuluh Agama atau Pokjaluh yang terpisah antara satu agama dengan agama lainnya. Selain Pokjaluh ada juga beberapa organisasi lainnya seperti FKPAI atau Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam. Terkait berbagai hal tentang organisasi IPARI akan kita bahas pada Bagian III tulisan ini.

5. Memiliki standar profesi dan cara melaksanakannya, serta mempunyai tolok ukur keberhasilannya. Hal ini ditandai dengan respon Instansi Pembina terkait dalam melaksanakan tugas menyusun standar kompetensi JFPA, Uji Kompetensi dan perangkat lainnya yang mendukung pelaksanaan uji kompetensi bagi JFPA. Standar Kompetensi yang akan menjadi produk hukum KemenPANRB draftnya telah lama disusun namun belum mendapatkan pengesahan, namun Peraturan Menteri Agama tentang Uji Kompetensi  Penyuluh Agama telah terbit dengan Nomor 80 pada Tahun 2022 menjadi eviden bahwa JFPA memiliki standar profesi.

6. Memiliki kemampuan memberikan layanan kepada masyarakat atau pengabdian kepada masyarakat yang khas, jelas dan esensial. Profesi merupakan pekerjaan altruisme yang berorientasi pada masyarakat yang dilayani bukan pada diri profesional itu sendiri. Penyuluh Agama lebih banyak menitikberatkan pada pengabdiannya kepada masyarakat daripada keuntungan ekonomi finansial.

7. Memiliki otonomi dalam pekerjaannya yang cukup luas bagi anggota profesi dan bagi seluruh korpsnya dalam melaksanakan pekerjaan profesinya. Kewenangan dalam melaksanakan tugas dilegalkan dengan Surat Keputusan dari Pejabat yang Berwenang.

8. Memiliki izin (lisensi) untuk berpraktek atau melaksanakan tugasnya, dalam arti melaksanakan bimbingan atau penyuluhan secara luas melalui tatap muka maupun online, juga pelayanan konsultasi, mediasi ataupun pendampingan bagi masyarakat.

9. Memiliki bidang pekerjaan tertentu (spesifik). Dalam arti Penyuluh Agama mempunyai sikap dan kepribadian yang khas dalam konteks profesinya.

10. Memiliki Dewan Kehormatan profesi. Dewan Kehormatan profesi menjadi bagian tak terpisahkan dari Keputusan Susunan Pengurus Organisasi Profesi dalam hal ini IPARI di tingkat Pusat dan Wilayah Provinsi. Dewan Kehormatan profesi berfungsi dan berwenang dalam mengawasi pelaksanaan kode etik Penyuluh Agama sebagaimana mestinya dan berhak memeriksa pengaduan terhadap anggota yang melanggar kode etik Penyuluh Agama.

11. Memiliki tunjangan profesi. Penyuluh Agama sejak ditetapkan keberadaan Jabatan Fungsional ini telah memiliki tunjangan profesi yang di atur dalam Peraturan Presiden dan Kemneterian keuangan RI.

Dengan sebelas kriteria pokok yang telah dimiliki oleh profesi Jabatan Fungsional Penyuluh Agama hendaknya dapat dibarengi dengan sikap kesadaran profesi sebagaimana telah dibahas dalam Bagian I tulisan ini. Selamat bertugas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun