Ini adalah artikel bagian 2 dari tema yang sama, yaitu tentang iri dan dengki. Pada bagian 1 membahas sub tema pengertian peristilahan iri dan dengi serta beberapa kisah dalam Alquran  tentang orang-orang yang dengki.
Pada artikel bagian 2 ini, membahas sub tema "apa yang mendorong seseorang bersikap iri dan dengki", serta "bagaimana menghindari sifat tersebut".
Sebab Timbulnya Iri dan Dengki
Dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antar keluarga, antarteman sejawat, antar tetangga dan orang-orang yang berdekatan lainnya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan. Dan itu tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada keduanya tidak ada ikatan atau keterkaitan sama sekali.
Iri dan dengki secara umum timbul karena ketidakmampuan seseorang dalam mengelola porsi ekspresi kecintaannya kepada hal-hal keduniaan dan hal-hal yang bersifat lebih spiritual atau ukhrowi. Â
Pemahaman atau ilmu yang baik tentang ketentuan nasib atau nikmat yang diterima seseorang hakikatnya telah diatur Allah swt akan dapat menepis munculnya sifat atau sikap iri dan dengki. Kendatipun hal tersebut tidak 100 persen menjamin seseorang dapat menghindarkan diri dari sifat ini. Artinya, pemahaman tentang nasib seseorang baik yang sesuai sunnatullah (hukum sebab -- akibat) bahkan yang menyelisihi sunnatullah sudah diatur oleh Allah, adakalanya juga tidak berpengaruh dalam menepis rasa iri dan dengki. Sifat ini dapat tetap menggerogoti jiwa seseorang. Contoh, Si A telah memahami bahwa secara sunnatullah manusia yang lebih berhak atau setidaknya lebih layak amenerima kesuksesan, keberhasilan, kekayaan adalah mereka yang lebih rajin atau ulet. Seorang mahasiswa yang malas belajar sewajarnya nilai akademisnya rendah dan sebaliknya. Pegawai yang paling rajin tentu yang paling sukses dan paling layak diberikan penghargaan. Anak yang memiliki orang tua berkecukupan tentu lebih berpeluang mendapatkan fasilitias lebih baik dan lebih muda, lelaki yang tampan tentunya lebih berpeluang mendapatkan isteri yang cantik dan seterusnya. Bahkan Si A juga memiliki pemahaman lebih jauh lagi, bahwa dalam hidup tidak selalu sesuai dengan sunnatullah. Kadang ada lompatan logika di luar jangkauan manusia, atau atas kehendaNya menyelisihi keumuman sebab akibat. Misalnya, seseorang dibakar hidup-hidup sewajarnya mati. Tetapi malah sebaliknya, api itu terasa sejuk baginya. Contoh lain, ada seorang mahasiswa yang tidak terlalu pandai, dengan persiapan belajar yang minim, malah lolos tes beasiswa kuliah di luar negeri, dan sebaliknya dengan track record nilai yang cukup bagus dan perjuangan belajar yang sungguh-sungguh malah tidak lolos. Namun sayang, pemahaman sedalam itu belum bisa menepis rasa iri dan sikap dengki.
Pengetahuan tentang nasib, rejeki, nikmat bahkan tentang iri dan dengki saja belum cukup. Â Perlu ditunjang kemampuan dalam mengelola porsi ekspresi kecintaan pada keduniawian dan Allah Swt. Manusia yang menyandarkan hati dan segala hajat hidupnya semata kepada Allah dan untuk Allah akan senantiasa lapang hatinya, ringan melaksanakan pekerjaan, tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Fokusnya pada proses yang dijalani bukan pada hasil. Tidak ada rasa iri apalagi dengki.
Secara umum, kecintaan kepada dunia merupakan sebab utama atau umum timbulnya iri dan dengki antar sesama. Â Secara lebih khusus ada beberapa pemicunya, di antaranya:
a. Sebab pertama, permusuhan. Ini adalah penyebab kedengkian yang paling parah. Ia tidak suka orang lain menerima nikmat, karena dia adalah musuhnya. Diusahakanlah agar jangan ada kebajikan pada orang tersebut. Bila musuhnya itu mendapat nikmat, hatinya menjadi sakit karena bertentangan dengan tujuannya. Permusuhan itu tidak saja terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi juga bisa terjadi antara atasan dan bawahannya. Sehingga sang bawahan misalnya, selalu berusaha menggoyang kekuasaan atasannya.
b. Sebab kedua adalah ta'azzuz (merasa paling mulia/ hebat/ pandai). Ia keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut apabila rekannya atau koleganya mendapatkan penghargaan/ pengakuan/ kekuasaan/pengetahuan atau harta yang bisa mengungguli dirinya.
c. Sebab ketiga, takabbur atau sombong. Ia memandang remeh orang lain dan karena itu ia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia khawatir apabila orang lain memperoleh nikmat, atau berpaling dan tidak mau tunduk kepadanya. Termasuk dalam sebab ini misalnya kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad Saw yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian mereka itu dilukiskan Allah Swt dalam firmanNya, yang artinya: "Dan mereka berkata: Mengapa Al Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?" (QS. Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak dari anak yatim atau orang biasa.
d. Sebab keempat, merasa takjub dan heran terhadap kehebatan dirinya. Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah dari rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengki-nya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut sehingga mereka berkata: "Adakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?" (QS. Al-Mu'minun: 34). Allah Swt menjawab keheranan mereka dengan firmanNya, yang artinya: "Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu ?" (QS. Al A'raaf: 63)
e. Sebab kelima, rivalitas. Khawatir mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah. Dalam hal ini bisa kita misalkan dengan apa yang terjadi antar dua wanita yang memperebutkan seorang calon suami, atau sebaliknya. Atau sesama murid di hadapan gurunya, seorang alim dengan alim lainnya untuk mendapatkan pengikut yang lebih banyak dari lainnya, dan sebagainya.
f. Sebab keenam, ambisi memimpin, senang pangkat/kedudukan (hubbur riyasah, hubbul jah). Hubbur riyasah dengan hubbul jah biasanya saling berkaitan. Ia tidak menoleh kepada kelemahan dirinya, seakan-akan dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di dunia ini yang ingin menandinginya, tentu itu akan menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu menjauh bahkan mati saja, atau paling tidak hilang pengaruhnya.
g. Sebab ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah. Ia gembira jika disampaikan khabar padanya bahwa si A tidak berhasil dalam usahanya. Sebaliknya ia merasa sedih jika diberitakan, si A berhasil mencapai kesuksesan yang dicarinya. Orang semacam ini senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh padanya, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi.
Terapi Mengobati Dengki
Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang berbahaya. Hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan sekaligus amal. Ilmu tentang iri dan dengki yang sangat membahayakan, baik dari sisi agama maupun dunia.
Nikmat tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian kita. Kedengkian itu dapat membahayakan pendengki bila diekspresikan dalam perbuatan. Bukan semata dosa di akhirat, di duniapun menanggung sakit hati yang berkepanjangan dengan tiada manfaat sama sekali. Bahkan  boleh jadi dampak hukum negara, terlebih pada jaman digital ini, dimana orang dengan sangat mudah melaporkan perbuatan yang tidak menyenangkan dengan menjerat suatu perilaku menjadi kasus hukum. Jika demikian, musuh-musuh si pendengkilah yang bergembira.
Adapun sikap yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan dari kedengkian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri hati kepada seseorang, hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan baiknya, jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati, jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat pada orang lain maka hendaknya kita berdoa agar nikmat itu ditambahkan. Kita dapat meneladani perilaku orang-orang salaf yang bila mendengar ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi hadiah kepada orang tersebut.
 Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: "Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk surga, maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju surga. Dan jika dia penduduk neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke neraka."
(Sumber rujukan: Alquran dan referensi lainnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H