Perawatan akhir hayat atau dikenal juga dengan istilah perawatan paliatif mungkin saja masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dimaklumi karena memang perawatan paliatif masih kurang populer di Indonesia.
Perawatan Paliatif juga masih menjadi opsi kesekian dalam penanganan pasien yang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Masih banyak pandangan-pandangan negatif terhadap jenis perawatan paliatif. Seperti dinilai tidak ada usaha dalam pengobatan, alasan rumah sakit yang tidak mampu mengobati pasien, terlalu pasrah, maupun stigma-stigma lain yang masih kerap melekat pada jenis perawatan ini.
Jadi, apasih perawatan paliatif itu? Perawatan paliatif merupakan jenis perawatan yang dilakukan pada pasien terminal yang mana pasien tersebut memiliki penyakit yang tidak lagi merespon terhadap pengobatan maupun intervensi lain yang dapat memperpanjang masa hidup pasien (Yodang, 2018).
Contoh-contoh pasien terminal antara lain pasien penderita kanker stadium akhir, stroke, Alzheimer dan penyakit-penyakit lain yang sulit disembuhkan atau bahkan tidak ada harapan untuk sembuh yang mana penyakit ini semakin membawa pasien dekat dengan proses kematian.
Dikutip dari sebuah artikel yang ditulis oleh Arthur L. Caplan, PhD (2020) dengan judul “Hope Is Fine, but Reality Is Best in End-of-Life Care” yang berarti kurang lebih “Berharap itu baik, tapi realitas adalah yang terbaik dalam perawatan akhir hayat”.
Terdapat seorang bernama Zeke yang menulis esai mengenai kematian ayahnya yang berusia 92 tahun di sebuah rumah sakit yang luas, berkualitas tinggi, serta berafiliasi dengan badan akademik.
Setelah dirawat dengan dugaan pneumonia, ayahnya didiagnosis dengan tumor otak yang besar yang mana tidak ada seorangpun bisa mengatasi ini.
Namun demikian intervensi yang berbeda tetap dilakukan walaupun hal tersebut tidak akan menyelamatkan ayah Zeke. Intervensi tersebut dinilai malah mengganggu, tidak perlu, dan malah memberatkan pasien.
“Saya bahkan menjadi kesal ketika melihat orang-orang yang kita tahu akan menemui ajalnya namun mereka masih terbangun di tengah malam untuk diambil tanda-tanda vital mereka. Kita tahu tanda-tanda ini bagaimanapun akan tetap menjadi buruk karena kita seharusnya membiarkan mereka meninggal dengan damai. Namun demikian kita masih melakukan pengukuran atau tes ini dengan cara yang tidak menyenangkan” Zeke mengungkapan.
Dalam kasus lain disebutkan, Dokter dan masyarakat umum biasanya cenderung melebih-lebihkan efektivitas dari Resusitasi Jantung Paru (RJP). Sedikit informasi, Resusitasi adalah suatu usaha kegiatan penyelamatan yang dilakukan untuk mengembalikan detak jantung dan napas yang terhenti.
Pada kenyataannya, kemungkinan seorang pasien selamat dan bertahan hidup melalui tindakan penyelamatan ini hanyalah sekitar 15%, untuk pasien yang berusia di atas 65 tahun kemungkinan sekitar 10-11%, bahkan pada pasien diatas 85 tahun kemungkinan untuk bertahan hidup hanyalah 3,5%.