Mohon tunggu...
Urbanus H. A.No
Urbanus H. A.No Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Bertutur Dalam Kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suamiku Politikus

22 Januari 2016   23:46 Diperbarui: 22 Januari 2016   23:54 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun demikian, Aku berusaha untuk menerima SK pemindahan yang terkesan tiba-tiba dan tanpa alasan mendasar. Kata-kata kepala yang diutarakan di awal penempatan seakan jadi oasis di tengah gurun kehidupanku. "Ina, rasanya berat kami harus kehilangan kamu. Tetapi ada misi besar di tempat baru ini. Masyarakat di sana membutuhkan orang seperti kamu. Keputusan ini bukan sekedar nipi kobhe tetapi melalui pertimbangan yang matang. Kamu sangat layak bertugas di sana," tukasnya.

 

****

Kini sudah enam tahun saya melewati waktu di tebing-tebing ngarai yang berjejer di Mae Rebho dengan pegunungan yang diselimuti pohon-pohon keramat. Narasi klasik tentang kegersangan sabana di dataran ratanya bersama orang-orang yang masih sangat kuat menghidupi  warisan primitif kini berubah menjadi rasa cinta.

Mae Rebho telah menghempaskan pandangan saya tentang mereka. Mereka bukanlah orang-orang primitif. Masyarakatnya adalah pewaris leluhur yang handal. Mereka bersahabat dengan alam. Memahami arti pekikan dari binatang-binatang liar dan mampu membahasakannya. Mereka mampu  berjalan malam bukan dengan melihat tetapi mendengar. Bukan karena buta tetapi karena alam.Hari-hari hidupku dihabiskan dengan masuk dalam kehidupan mereka. Kadang saya bukan lagi sebagai perawat di tempat ini.

Tetapi sebagai antropolog walau memang tidak sekaliber Pater  Paul Arendt. Atau segemilang kisah Wint Sargent yang nekat nikah kepala suku Dani,  Obahorok hanya untuk mengetahui berapa besar daya dorong yang memiliki banyak istri itu. "Saya sudah menikah dan suamiku seorang politikus ulung. Itu saja," titik.

Mae rebho kini telah merampas setengah hatiku. Meskipun aku tahu suamiku tetap menolak untuk terus bertahan di tempat ini. "Ini bukan surga tetapi ini tempat buangan,"berkali-kali ia berusaha menyadarkan aku ketika ku kisahkan kebahagiaanku sepulang mengunjungi masyarakat. Entah kenapa ia terus mengingatkanku. Mungkin ia mendapatkan cahaya kegembiraan dalam wajah ku. ah aku tak mau memaksanya. Entah kenapa!

Aku terus berusaha memaksa suamiku agar bisa masuk dan menghabiskan waktu dengan masyarakat di Mae Rebho ini. Tetapi ia lebih memilih menghabiskan waktunya di kota kabupaten dengan idealisme dan cita-citanya yang tinggi. Sekali seminggu ia mengunjungi aku dan menghabiskan  kebersamaan itu hanya untuk mencicipi tubuhku dengan erangan-erangan erotis dari pagi, malam hingga pagi lagi. Ketika ku ajak untuk turun kampung selalu ada alasan.

"Aku capai. aku butuh refresing dan lebih penting lagi aku tidak mau melewatkan kebersamaan kita hanya dengan orang-orang kampung," katanya sambil mengajak ku untuk bertarung di dipan-dipan yang mulai keropos ini. Ya suamiku politikus. Ia hanya memikirkan strategi untuk jadi pemenang. Andai saja ia mau ada bersama masyarakat mungkin ia akan jadi pemenang sejati bukan terus-terus jadi petarung.

Ya, Mae rebho mungkin terisolasi dan menjadi daerah buangan. Tetapi ia dibaluti dengan tanah yang mengandung emas. Namun masyarakat di sini tidak serakah. Mereka berjalan dan tinggal di atas emas. Mereka tidak mau menjualnya. Baginya tanah adalah rumahnya.

Kini, Mae Rebho menjadi buruan banyak daeng-daeng bugis. Ya bukan dagangan yang dijajakan di sana. Tetapi karena di sana bertaburan batu-batu akik yang katanya harganya telah memecahkan rekor muri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun