(Sebuah refleksi peringatan Hari Kartini)
Media sosial Indonesia hari ini dipenuhi dengan gambar wajah seorang perempuan ningrat asal Jepara bernama R. A. Kartini. Ya, hari ini (21 April) hari yang ditetapkan pemerintah sebagai hari Kartini, wujud penghormatan atas jasa-jasanya bagi Indonesia.Â
Hal ini ditetapkan secara resmi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang ditandatangani pada tanggal 2 Mei 1964, sekaligus penobatan R. A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan.
Hampir seluruh flyer yang beredar menulisan "Habis Gelap, Terbitlah Terang". Jargon ini dilekatkan pada sosok Kartini. Padahal, itu adalah sebuah judul buku terjemahan dari kumpulan surat-surat Kartini yang awalnya diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul Door Duisternis tot Licht atau yang jika diindonesiakan berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Buku ini diterbitkan 1911, tujuh tahun setelah Kartini meninggal.
Sebelas tahun kemudian  (1922) buku ini digarap ulang lewat penerjemahan ke dalam bahasa Melayu oleh Armin Pane, seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Tidak berhenti di situ, tahun 1938 Armin menuliskan ulang surat-surat Kartini dalam bentuk buku dengan sajian yang berbeda.
Itu hanya sebagai gambaran singkat. Banyak orang telah mengenal Kartini lewat judul buku di atas---meskipun banyak yang tidak pernah membaca bukunya---minimal tahu bahwa yang dimaksud dengan Habis Gelap Terbitlah Terang adalah sosok R.A. Kartini.
Beberapa buku lain yang terkenal berkisah atau menyajikan sosok Kartini di antaranya:
- "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya" (1979) dan  "Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya" (1989) karya Sulastin Sutrisno,Â
- "Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904" (1992) dan "Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903" (2005) karya Joost Cot.
- "Panggil Aku Kartini Saja" (1962) oleh Pramoedya Ananta Toer.
Apakah semua perempuan Indonesia adalah "Kartini"?
Merujuk pada perjuangan Kartini, menurut saya tidak semua perempuan Indonesia adalah Kartini. Mungkin saja ada yang tidak setuju dengan pandangan saya, seakan menurunkan harga diri perempuan dan Kartini.Â
Sebaliknya, apakah ada pria yang bisa juga merupakan "Kartini"? Menurut saya, iya. Sepanjang ia juga turut mewarisi nilai-nilai perjuangan Kartini seperti kesetaraan dan kebebasan.
Seorang perempuan harusnya tidak menjuluki dirinya sendiri sebagai Kartini. Itu bisa saja masuk kategori narsistik. Biarkan orang lain yang menjulukimu Kartini sebagai penghargaan atas perjuangan dan peranmu.Â