Pendidikan merupakan kata kunci kemajuan sebuah bangsa, karakter sebuah bangsa secara praktis tercermin dari tingkat pendidikan dan pola pikir warga negaranya. Pendidikan tidak hanya sebuah proses pewarisan pengetahuan dari satu generasi ke generasi, lebih dari itu ia juga mencakup sebuah usaha untuk menstimulasi proses kreatif pengembangan pengetahuan yang up to date dengan kebutuhan tiap zaman yang kelak juga akan diwariskan ke generasi mendatang. Saat ini Taiwan menjadi salah satu tujuan para pelajar Internasional dari berbagai benua, baik Eropa, Amerika, Australia, Afrika maupun Asia sendiri.Â
Taiwan dianggap sukses dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dari mulai elektronik, infrastruktur, otomotif, transportasi, oseanografi, juga agrikultur. Hal itu terbukti dengan banyaknya produk-produk Taiwan yang mendunia. Keberhasilan Taiwan di dalam dunia pendidikan membuat jumlah pelajar Indonesia yang memilih dan menempuh studi di Taiwan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut data yang dikeluarkan oleh Taiwan Economic and Trade Office (TETO) Jakarta per Februari 2017, total Pelajar Indonesia saat ini mencapai 5139 pelajar.
Pada tahun 2016, perlu kita ketahui bersama bahwa pemerintah Taiwan di bawah kepemimpinan Presiden Tsai Ing-Wen mengeluarkan kebijakan Baru ke Arah Selatan (New South-bound Policy). Kebijakan ini berfokus pada pengembangan sumber daya manusia dan mendorong interaksi atau kerja sama bilateral dalam bidang industri, investasi, pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan pertanian antara Taiwan dengan negara-negara yang ada di wilayah Asia Tenggara dan Selatan, Australia, serta Selandia Baru. Selain itu, pemerintah Taiwan juga memberlakukan salah satu kebijakan dalam upaya meningkatkan jumlah pelajar dari wilayah-wilayah tersebut sebesar 20% per tahun, sehingga dapat diestimasi bahwa pelajar-pelajar Internasional akan semakin banyak yang berdatangan ke Taiwan, tak terkecuali pelajar Indonesia. Â
Beranjak dari fakta tersebut, sudah semestinya perlu adanya sebuah upaya serius dalam menjamin kualitas kehidupan pelajar Indonesia, baik yang tengah menuntut ilmu di Taiwan maupun yang nantinya akan menempuh studi di Taiwan. Akan tetapi, sebelum pembahasan lebih lanjut tentang hal itu, alangkah baiknya jika kita menengok sejenak tentang kondisi atau realita kehidupan dari pelajar Indonesia selama menempuh pendidikan di Taiwan saat ini.Â
Untuk itulah kami dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di Taiwan (PPI Taiwan) melalui perpanjangan tangan dari bidang Pengabdian Masyarakat akan mencoba memaparkan beberapa hasil survei data, observasi lapangan, serta wawancara langsung kepada beberapa sample pelajar Indonesia tentang kondisi realita mahasiswa/pelajar Indonesia yang ada di Taiwan di berbagai kampus.
Realita Kehidupan Pelajar Indonesia di Taiwan
Beasiswa menjadi masalah yang sangat penting untuk dibahas pertama kali. Beberapa kasus yang berkaitan dengan scholarship menjadi problem utama yang dikeluhkan oleh para pelajar Indonesia yang ada di Taiwan.
- Keterlambatan turunnya beasiswa hingga kurun waktu yang tidak wajar (bahkan hingga lebih dari 3 bulan).
- Terjadi pengurangan nominal beasiswa dari kesepakatan sebelumnya (tidak sesuai dengan Scholarship Letter saat awal penerimaan). Hal tersebut terjadi akibat kebijakan kampus yang mengalami perubahan. Bahkan kasus tersebut terjadi hampir di tiap semester.
- Adanya kasus "putus kuliah" akibat beasiswa dicabut di tengah jalan, hal tersebut terjadi karena mahasiswa tidak menerima beasiswa dan juga tuition waiver sama sekali di tahun keduanya (semester 3), di mana kasus tersebut tidak sesuai dengan "janji manis" kampus saat rekrutmen mahasiswa pada awalnya.
- Adanya miss dalam hal komunikasi "aturan main" beasiswa antara pemerintah Indonesia dan Taiwan. Kasus ini terjadi pada mahasiswa penerima program beasiswa doktoral "3+1", dalam program tersebut seharusnya mahasiswa mendapatkan beasiswa selama 3 tahun yang ditanggung oleh pemerintah Indonesia, dengan tambahan 1 tahun berikutnya ditanggung oleh pemerintah Taiwan (melalui perpanjangan tangan kampus yang ditempati). Akan tetapi ternyata pada tahun keempat beasiswa yang telah ada di "aturan main" tidak diterima oleh mahasiswa yang bersangkutan, yang tentunya sangat merugikan kelangsungan studi mahasiswa.
Tentang Perlindungan Jiwa
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2014, terjadi sebuah kasus yang menimpa salah satu mahasiswi asal Indonesia yang meninggal dunia karena penyakit asthma. Mahasiswa tersebut berinisial SS, dan berasal dari salah satu kampus di Taicung. Untuk memulangkan jenazah keluarga korban harus membayar biaya sebesar NT$150.000 kepada pemerintah setempat. Akan tetapi, karena minimnya anggaran dari pemerintah Indonesia yang dialokasikan untuk hal-hal darurat (semacam pemulangan jenazah mahasiswa, yang dalam hal ini masuk ke dalam ranah pendidikan), maka biaya pemulangan jenazah tersebut dilakukan dengan cara penggalangan dana, yang dilakukan oleh keluarga korban dan juga difasilitasi oleh KDEI.
Peningkatan Jumlah Pelajar Indonesia