Mohon tunggu...
L Tri WiJaya
L Tri WiJaya Mohon Tunggu... Dosen dan Peneliti Muda -

Ph.D Student National Central University, Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seberapa Perlunya Bangun Bandara Internasional di Malang?

7 Maret 2016   17:10 Diperbarui: 7 Maret 2016   20:32 2053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Menhub Jonan Peresmian Terminal Bandara Abd. Saleh Malang (sumber : Merdeka.com )"][/caption]Malang segera memiliki bandara sendiri dan bertaraf internasional yang berlokasi di lahan TNI Angkatan Laut di Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Rencana pembangunan bandara di wilayah Malang, tepatnya di Kecamatan Bantur tersebut sudah mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan Provinsi Jawa Timur. Pembangunan bandara tersebut sepenuhnya pendanaannya dari pemerintah pusat (APBN).

Jika kita melihat dari kacamata bisnis, prospek adanya bandara internasional di Malang itu sangat bagus dan cocok. Sebab, bandara yang sudah ada di Malang saat ini, yakni Bandara Abdulrachman Saleh, pesawat belum berani mendarat pada malam hari dan sering berubahnya kondisi cuaca dan jarak pandang sewaktu-waktu.

Menurut rencana, pada tahun 2019 bandara tersebut sudah bisa beroperasi melayani penerbangan komersial. Pemprov Jatim pun ikut serta mengusulkan dan mendukung wilayah Purboyo, di Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, sebagai lokasi untuk bandara baru bertaraf internasional.

Purboyo dipilih karena kawasan yang berada di wilayah Malang bagian selatan tersebut cukup strategis. Selain dekat dengan Puslatpur Marinir TNI AL, jika terwujud, Bandara Purboyo dapat melayani penumpang domestik yang berasal dari 11 daerah yang ada di selatan dan sekitarnya, yakni Malang Raya, Blitar, Tulungagung, Kediri, Trenggalek, Pasuruan, hingga wilayah Lumajang.

Dari informasi yang beredar di media, usulan tersebut disampaikan Gubernur Soekarwo kepada Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Beliau mengatakan, "Alhamdulillah, Pak Menhub setuju dengan usulan tersebut, apalagi, saat ini pemerintah juga sedang menyelesaikan pembangunan jalan lintas selatan (JLS) yang menghubungkan wilayah selatan Jatim, mulai Pacitan hingga Banyuwangi. Jadi pas sudah." 

Perlu kita ketahui bersama bahwa banyaknya bandara internasional akan berakibat pada meningkatnya penerbangan langsung dari dan ke luar negeri dari bandara- bandara tersebut. Penerbangan langsung ke kota-kota di Indonesia hampir dapat dipastikan dari Singapura, Kuala Lumpur, dan Johor, serta penerbangan lintas batas seperti Pontianak-Kuching, Pekanbaru- Melaka, Medan-Penang, dan sebagainya. Dengan adanya penerbangan langsung tersebut, tidak diperlukan lagi perjalanan dari dan ke luar negeri melalui Bandara Soekarno-Hatta. 

Dengan kata lain, pada masa mendatang, kemungkinan besar Kuala Lumpur dan Singapura-lah yang akan menjadi pintu gerbang ke wilayah Republik Indonesia melalui transportasi udara-mengingat jaringan hub and spoke transportasi udara di kawasan ASEAN saat ini sudah dipegang oleh Bandara KLIA, Kuala Lumpur dan Bandara Udara Changi, Singapura. Adanya aliansi antar-airlines, misalnya Star Alliance antara Singapore Airlines, North West, Qantas, British Air, dan sebagainya, juga akan menambah load factor pada rute dari Singapura ke kota-kota di Indonesia.

Dalam penerbangan regional antarbenua dengan pesawat besar, penumpang bisa berhenti di Singapura dan melanjutkan penerbangan ke kota-kota di Indonesia. Jika penumpang dari luar negeri (Eropa, Amerika, dan sebagainya) akan ke Indonesia, penumpang tersebut bisa ke Kuala Lumpur atau Singapura baru melanjutkan perjalanan ke Indonesia. Bagaimanakah dengan Bandara Internasioal Purboyo serta bandara internasional lainnya di wilayah Jawa Timur?

Fenomena yang menarik, misalnya Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta, Bandara Adi Sumarmo Solo, Bandara Ahmad Yani Semarang, ketiganya adalah bandar udara internasional dengan beda jarak kurang dari 100 mil. Ketiga bandar udara tersebut diterbangi dari dan ke Singapura. Itu sama saja menempatkan Singapura sebagai pintu gerbang Indonesia, dan tidak ada efisiensi dalam perencanaan antara moda darat dan udara. Masing-masing kota memiliki hubungan internasional sendiri sehingga akan mengakibatkan berkurangnya semangat negara kesatuan. Alangkah baiknya jika di antara tiga kota yang berdekatan tersebut, cukup satu saja bandara internasionalnya, sementara dua bandara lainnya dihubungkan dengan jalan KA atau jalan tol. Misalnya bandara di Jogja saja yang sudah dilengkapi stasiun KA.

Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah Jawa Timur. Di Jawa Timur sudah ada Bandara Internasional Juanda, mengapa tidak dibangun saja moda transportasi terintegrasi layaknya MRT di Singapora yang menghubungkan ke daerah sekitar terutama Malang. Bandara Purboyo akan lebih efisiensi mungkin jika diprioritaskan untuk penerbangan domestik, mendukung penerbangan domestik di Bandara Internasional Juanda yang katanya hampir overload.

Apabila nantinya bandara udara dikelola dari beberapa pihak pun akan terjadi persaingan, serta bisa dipastikan akan terjadi kompetisi antar bandar udara. Ini adalah suatu hal yang baru. Maskapai penerbangan memang memerlukan bandar udara, tetapi bandar udara yang mana?
Ilustrasinya seperti ini: Pihak A membangun dan mengelola bandar udara di dekat Surabaya, yang kemudian berkompetisi dengan Bandara Juanda. Dampak positif dari kompetisi ini: pertama, peningkatan pelayanan; kedua peningkatan kapasitas; ketiga, kedua bandar udara tersebut dapat saling menggantikan jika ada kegagalan operasi pada satu bandar udara; keempat, kompetisi akan menurunkan tarif pelayanan bandar udara. 

Namun demikian, terdapat pula dampak negatif dari kompetisi tersebut: pertama, kelebihan kapasitas jika bandara tersebut dibangun dengan kapasitas besar; kedua, dua bandara tersebut tidak hanya bersaing, tetapi dua-duanya akan menjadi spoke dan Bandar Udara Changi sebagai hub-nya; Ketiga, akan sulit untuk menyusun sistem jaringan antarmoda darat dan udara. 

Pelaksanaan otonomi daerah yang disertai euforia Pemerintah Daerah karena memiliki kewenangan lebih, pada dasarnya telah memengaruhi rasa kesatuan wilayah. Hal itu terlihat dalam sistem transportasi udara termasuk, bandar udara. 

Keinginan Pemerintah Daerah untuk menjadikan bandar udara di wilayahnya sebagai bandar udara internasional pada hakikatnya telah mengurangi rute udara domestik. Pengurangan hubungan domestik tentu akan mengurangi kesatuan wilayah. 

Jika Indonesia tidak segera menetapkan dan membangun infrastruktur yang besar dan modern untuk pelabuhan laut dan bandara di Indonesia, maka port di negara tetangga akan menjadi hub dan bahkan pintu gerbang bagi Indonesia. Dalam bidang transportasi, daerah akan lebih tergantung kepada Singapura daripada kepada Jakarta.. 

Globalisasi memang akan mengaburkan batas-batas suatu negara. Globalisasi menekan kebijaksanaan suatu negara yang menutup diri terhadap perdagangan antarnegara. Liberalisasi, kompetisi bebas akan terus mendesak sehingga dapat mengakses seluruh wilayah Indonesia demi kepentingan usaha. Deregulasi akan memaksa adanya kompetisi bebas antar maskapai penerbangan, tidak hanya domestik juga internasional. 

Hal-hal demikian tentu akan meningkatkan angkutan udara, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan pelayanan. Namun, di sisi lain akan mengurangi peran Pemerintah Pusat dan rasa kesatuan negara. 

Untuk menjaga kesatuan wilayah negara, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membangun infrastruktur pelabuhan laut dan udara besar di beberapa kota Indonesia. Pertanyaan klasiknya adalah mana yang lebih dahulu disiapkan, pembangunan infrastruktur agar diikuti pertumbuhan perdagangan, atau peningkatan perdagangan agar diikuti pertumbuhan infrastruktur (trade follow the ships or ships follow the trade), 

Dalam kondisi Indonesia saat ini, menurut saya, sebaiknya infrastruktur didahulukan. Perlu dıbangun pelabuhan laut (seaport) dan pelabuhan udara (aırport) yang besar, modern, dan lengkap, yang tidak hanya economically viable tapi juga financially feasible, sebagai gateway dan hub Indonesia. Dengan demikian, jaringan transportasi udara di dalam wilayah Indonesia tetap dilakukan di bandar udara Indonesia, dan dengan sendirinya menggunakan pesawat berbendera Indonesia.

( diambil dari berbagai sumber terutama "Transportasi Pro Rakyat" oleh Edie Haryato )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun