[caption caption="MRT"][/caption]Beberapa tahun terakhir kemacetan sering melanda Kota Malang, khususnya dibeberapa kondisi dan kawasan. By event, saat weekend banyak kendaraan hilir mudik memasuki Kota Malang, yang rata-rata mereka para wisatawan lokal dari daerah sekitar datang untuk berwisata. Sedangkan saat weekday kemacetan sering timbul dibeberapa titik khususnya wilayah sekitar kampus-kampus besar di Kota Malang.
Ketika musim hujan pun datang, malang yang sudah macet menjadi semakin macet dikarenakan jalan kota kebanjiran. Sampai sekarang solusi kemacetan tersebut belum jelas. Pemberdayaan angkutan umum dan bus sekolah khususnya adalah upaya baik, namun sepertinya tidak dikembangkan dengan optimal. Banyak pembahasan, banyak diskusi, namun sedikit implementasi untuk urusan transportasi publik di kota ini.
Barangkali sebaiknya kita tidak usah malu untuk meniru saja transportasi publik di kota di negara lain, tentu dengan beberapa penyesuian. Transportasi publik di kota besar di negara lain selalu mengedepankan angkutan masal.
Pada umumnya angkutan massal berbasis jalan rel, dan sedikit yang berbasis bus. Kecuali jakarta, tidak ada transportasi kota berbasis jalan tol dikota-kota besar dunia.
Problem Pendanaan? Sepertinya memang pembangunan transportasi publik di Indonesia selalu dihadapkan pada permasalahan pendanaan. Sebenarnya soal pendanaan hanya masalah penetapan prioritas anggaran, bukan masalah besarnya dana yang diperlukan.
Sekedar sharing gambaran bahwa KA Metro Paris telah beroperasi sejak tahun 1900 ketika pendapatan per kapita Prancis US$ 2.849 per tahun. Seoul mulai mengoperasikan jaringan subway-nya pada tahun 1974 ketika pendapatan per kapitanya masih sekitar US$ 555. Pendapatan per kapita Kabupaten Malang tahun 2015 adalah US$ 2084. Jadi menurut kami, semua itu hanya masalah penetapan prioritas penggunaan anggaran (APBN/APBD).Â
Jika kita melihat sebagai contoh Kota jakarta, bayangkan saja jika 500.000 orang per hari yang di angkut KA Jabodetabek semua pindah naik bus atau mobil, bagaimana dampaknya terhadap kemacetan lalu lintas ? Berapa kerugian man-hours masyarakat pada jam produktifnya yang terbuang ? Berapa kerugian karena polusi udara ? Berapa subsidi BBM yang harus dibayar ?
Jika kita melihatnya hanya dari kacamata internal bahwa perusahaan transportasi publik untuk malang akan merugi, maka angkutan KA urban berbasis jalan rel tidak akan pernah dibangun, karena eksternalisasi KA ini justru jauh lebih besar daripada manfaat internal bisnis perusahan.
Angkutan moda transportasi yang terintegrasi merupakan salah satu langkah yang menjanjikan dalam mewujudkan tranportasi publik yang nyaman dan cepat. Ada berbagai cara untuk mendapatkan pendanaan bagi investasi transporatsi publik perkotaan, walaupun sumber utamanya tetap dari APBN/APBD. Cara tersebut, antara lain Road user Charges (RUC). Contoh di Belanda, ketika suatu kota satelit dibangun, langsung dibuat jalan KA lingkar yang disambungkan ke main line jaringan KA. Pendanaannya dengan penetapan RUC di jalan utama kota tersebut, dan seluruh pendapatan dari RUC langsung digunakan untuk investasi jalan rel lingkar kota satelit tersebut.
Di Singapore diterapkan Electronic Road Pricing (ERP) pada jalan tertentu dan jam tertentu, tujuannya agar mengurangi kemacetan. Seluruh pendapatan ERP dapat digunakan untuk membangun Mass Rapid Transit (MRT).
Ide-ide terkait pengembangan transportasi publik masal di malang harus terus disupport karena lambat laun kemacetan akan menjadi problem yang berkepanjangan dan tak jelas arahnya. Penambahan kapasitas jalan raya bukan solusi ke arah lebih baik, jika dilain sisi volume kendaraan terus meningkat seiring peningkatan pertumbuhan dan pengembangan kawasan permukiman penduduk. Langkah kokrit lebih baik segera dilakukan daripada hanya sekedar diseminarkan, dibahas, dan dirancang oleh berbagai kepentingan tanpa tindakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H