Mohon tunggu...
Elson Serena
Elson Serena Mohon Tunggu... -

184 cm\r\n\r\nSedang menggeluti Hukum & Dunia Rimba

Selanjutnya

Tutup

Money

Konvensi PBB Tahun 1990: Suatu Keniscayaan Dalam Perwujudan Emansipasi TKI

11 Mei 2014   11:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 12 April 2012 Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya,(selanjutnya disebut Konvensi Pekerja Migran). Konvensi ini pertama kali dideklarasikan di New York pada tanggal 18 Desember 1990 dan diberlakukan sebagai hukum internasional pada tanggal 1 Juli 2003. Indonesia telah menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 2004. Sejauh ini Negara yang telah meratifikasi Konvensi ini hanya berjumlah 35negara dan di wilayah ASEAN hanya baru Philipina dan Indonesia.

Indonesia sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar ke luar negeri sudah selayaknya meratifikasi Konvensi ini, meskipun negara-negara tujuan penempatan pekerja migran Indonesia belum ada yang meratifikasi, seperti Malaysia dan Arab Saudi. Ratifikasi Konvensi ini sangat penting karena dapat menunjukkan pada dunia internasioal tentang komitmen suatu negara dalam melakukan perlindungan bagi pekerjanya yang bekerja di luar negeri.

Di sisi lain, dengan meratifikasi Konvensi berarti Pemerintah berkewajiban untuk memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja asing/pekerja migran dan anggota keluarganya yang bekerja di Indonesia termasuk apabila mereka terkena PHK dan berkewajiban untuk memberikan tunjangan pengangguran. Konvensi ini juga mengatur permasalahan minimnya standar perlindungan hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya pekerja migran dan anggota keluarganya. Oleh karena itu Konvensi ini sebagai langkah awal besar guna perbaikan menyeluruh tentang penyelenggaraan perlindungan pekerja migran.

Konvensi ini mengatur beberapa hal penting, seperti:

1.Mengatur mengenai standar minimum perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi ini mendorong negara agar menyelaraskan perundang-undangannya dengan standar universal yang termaktub dalam Konvensi.

2.Mengakui adanya kontribusi yang disumbangkan oleh pekerja migran terhadap ekonomi dan masyarakat negara tempat mereka bekerja serta pembangunan negara asal mereka.

3.Mencantumkan serangkaian standar untuk perlindungan pekerja migran dan kewajiban negara yang terkait, meliputi negara asal, transit dan negara tempat bekerja.

4.Mencegah dan menghapuskan eksploitasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya di seluruh proses migrasi, termasuk mencegah terjadinya perdagangan manusia.

5.Konvensi ini tidak hanya melindungi para pekerja migran, tapi juga melindungi kepentingan negara penerima pekerja migran terkait dengan pembatasan akses kategori pekerjaan guna melindungi warga negaranya.

Konvensi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 18 Desember 1990 melalui Resolusi No. 45/158 ini awalnya merupakan inisiatif negara-negara asal pekerja migran untuk membentuk suatu standar perlindungan dengan lebih spesifik. Konvensi merupakan hasil dari kajian, dialog dan perdebatan mendalam antara dua sisi pemikiran, baik yang mewakili kepentingan negara asal pekerja migran, maupun negara tujuan.

Diratifikasinya Konvensi Pekerja Migran merupakan puncak 13 tahun proses perjuangan Pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia dalam upaya mencapai pemahaman yang sama. Selama itu, terdapat perdebatan yang cukup kental mengenai perlu tidaknya Indonesia meratifikasi. Konvensi ini telah mengatur sejumlah jaminan, baik bagi tenaga kerja sendiri, maupun negara untuk mengeluarkan guideline perlindungan terhadap tenaga kerja lokalnya.Pasal 44 ayat (2) Konvensi, misalnya. Pasal ini menegaskan freedom of movement bagi para pekerja migran, termasuk hak untuk berpindah, masuk maupun meninggalkan negara apapun termasuk negara asal mereka. Pekerja migran juga diberi keleluasaan untuk berkumpul dengan keluarganya, dan negara diwajibkan untuk memfasilitasinya. Jaminan ini akan melahirkan kewajiban bagi negara untuk mengambil kebijakan yang sesuai—dalam hal ini kebijakan bidang imigrasi—untuk menjamin agar pekerja migran dapat menikmati hak tersebut.

Konvensi juga memberikan peluang kepada Pemerintah guna mengontrol arus migran yang masuk ke Indonesia. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 79 yang menegaskan bahwa ”tidak satu pun ketentuan dalam Konvensi ini boleh mempengaruhi hak setiap negara pihak untuk menetapkan kriteria yang mengatur penerimaan pekerja migran dan anggota keluarganya.” Dengan kata lain, Konvensi sendiri telah memberikan jaminan hak bagi negara untuk menetapkan suatu kebijakan penerimaan pekerja migran dan anggota keluarganya yang dipandang sesuai dan sejalan dengan hukum nasional.

Terlepas dari hal tersebut, Konvensi tetap memberikan perlindungan terhadap kepentingan negara penerima buruh migran untuk tetap memberikan jaminan lapangan pekerjaan terhadap warganya, dengan memberikan keleluasaan pembatasan akses kategori pekerjaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 52 ayat 2 (a) Konvensi yang berbunyi ”Terhadap tiap pekerja migran, negara tujuan kerja dapat membatasi akses pada kategori pekerjaan, fungsi, pelayanan atau kegiatan tertentu apabila diperlukan demi kepentingan negara tersebut dan ditetapkan oleh ketentuan hukum nasional.

Perangkat hukum HAM di Indonesia mulai dari Konstitusi hingga peraturan hukum serta berbagai Konvensi Internasional yang telah diratifikasi, telah relatif sangat baik sebagai kerangka bagi kebijakan dan program Pemerintah dalam upaya pemenuhan dan perlindungan HAM. Berbagai nilai yang terkandung dalam Konvensi Pekerja Migran sedianya telah terkandung dalam berbagai aturan hukum di Indonesia. Pemenuhan hak-hak pekerja migran yang bekerja di Indonesia perlu secara optimis disikapi sebagai tantangan yang tidak asing lagi dihadapi oleh pemerintah.

Lebih lanjut, Konvensi Pekerja Migran dapat menjadi modal dalam melengkapi dan menyempurnakan berbagai perangkat hukum nasional di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kebijakan pra-penempatan TKI yang saat ini dimiliki Indonesia masih belum secara efektif melayani TKI dalam proses persiapannya. Meratifikasi Konvensi ini berarti memperbaiki prosedur standar dalam mempersiapkan TKI yang akan bekerja di Luar Negeri.

Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran telah mendemonstrasikan komitmen Pemerintah untuk ikut serta dalam upaya global meningkatkan perlindungan terhadap pekerja migran di dunia. Indonesia sebagai salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di dunia, telah menunjukkan martabat yang tinggi dengan memberikan hak dan perlindungan terhadap pekerja migran asing yang berada di Indonesia. Bukankah itu sebuah kemajuan?

Meskipun begitu,dengan telah diratifikasinya Konvensi Pekerja Migran, maka Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah harmonisasi peraturan perundang-undangansebagai instrument atau produk hokum dalam Negeri terkait penyelenggaraan perlindungan bagi pekerja migran. Oleh karena itu, Konvensi ini harus dijadikan dasar acuan melakukan revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI yang Bekerja di Luar Negeri.

Melalui Konvensi ini, Indonesia dapat memainkan diplomasinya dan meningkatkan posisi tawar untuk mendorong negara-negara penerima agar lebih menghormati aturan Konvensi. Untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelenggaraan perlindungan pekerja migran, Pemerintah selain perlu melakukan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI yang Bekerja di Luar Negeri, juga perlu mengevaluasi 13 MOU yang selama ini sudah ditandatangani dengan negara penerima, terutama yang belum selaras dan masih banyak kelemahan-kelemahan dalam hal perlindungan HAM bagi pekerja migran.

Dalam memberikan pelayanan kepada pekerja migran Pemerintah harus mengacu Konvensi ini, sehingga tidak ada lagi kasus-kasus seperti penelantaran atau pemalsuan dokumen untuk pekerja migran. Jika selama ini pengaturan dan hukuman kepada pekerja migran bermasalah masih lemah, nantinya melalui Konvensi ini harus dijadikan momen penegakkan hukum bagi pelaku pelanggaran Pekerja Migran.

Ratifikasi ini tidak menimbulkan kerugian bagi Indonesia. Sebaliknya, ratifikasi ini dapat dijadikan modal untuk menggalang kekuatan internasional untuk menjalankan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Dan, seperti kita ketahui bahwa sebagian besar pekerja migran kita adalah perempuan, dan sebagian besar dari TKI yang bermasalah ketika hubungan kerja berlangsung. Oleh karena itu, selain meratifikasi Pemerintah harus terus melakukan upaya revisi terhadap UU No.39 Tahun 2004 sehingga keadaan TKI terutama kaum pekerja wanita tidak terus-menerus dihantui berbagai permasalahan dan diskriminasi, sehingga dapat terselenggaranya emansipasi terhadap TKI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun