Teringat kembali pada tahun 2013, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Pemerintah yang cukup kontroversial dan banyak menimbulkan pro-kontra di kalangan dunia usaha dan masyarakat Indonesia. Peraturan ini mulai diberlakukan pada bulan Juli 2013. PP ini disosialisasikan melalui media massa baik elektronik maupun cetak sebagai “Pajak UMKM” dengan tarif sebesar 1% dari Omzet. Dengan pemakaian istilah “UMKM”, PP ini ternyata cukup sukses mencuri perhatian, mengundang pertanyaan, kebingungan, atau mungkin kekhawatiran dikalangan masyarakat pajak kelas menengah ke bawah di Indonesia.
Sesuai dengan awal diundangkan dan disosialisasikannya, yang dikenakan PP ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dimana UMKM mendapat prioritas yang sangat besar dari Pemerintah, sampai-sampai dibentuk sebuah kementerian yang mengurusi UMKM tersebut. Alasannya tentu karena merupakan sumber penerimaan Negara yang besar (sekitar 61% dari PDB) dan tidak rentan terhadap krisis ekonomi global.
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pengertian UMKM dapat kita simak sebagai berikut :
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Mikro memiliki kriteria asset maksimal sebesar 50 juta dan omzet sebesar 300 juta.
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Usaha Kecil memiliki kriteria asset sebesar 50 juta sampai dengan 500 juta dan omzet sebesar 300 juta sampai dengan 2,5 miliar.
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Menengah memiliki kriteria asset sebesar 500 juta sampai dengan 10 miliar dan omzet sebesar 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar.
Kalau dibaca PP ini ternyata tidak terdapat kata-kata UMKM sesuai pengertian diatas dan batasan omzetnya juga tidak mengikuti ketentuan UU tentang UMKM diatas meskipun masih dalam ruang lingkupnya karena kurang dari 50 Milyar. PP ini mengatur tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap) dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Milyar.
Dikecualikan dari pengenaan PP ini adalah adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang diperoleh :
- tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
- pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
- olahragawan;
- penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
- pengarang, peneliti, dan penerjemah;
- agen iklan;
- pengawas atau pengelola proyek
- perantara
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
- menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
- menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan
Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud diatas adalah :
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Yang menjadi dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebesar 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak dan bersifat final.
Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4,8 Miliar ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari setiap bulan, tidak termasuk peredaran bruto dari:
- penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
- usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
- penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Terkait dengan UMKM, sebelumnya sudah ada ketentuan perpajakan yang mengatur tarif khusus PPh untuk UMKM tetapi hanya berlaku untuk yang berbentuk badan usaha. Dalam Undang-undang No.36 Tahun 2008 (UU PPh) pasal 31 E dinyatakan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.50 milyar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (2) UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.4,8 milyar. Dengan tarif PPh Badan yang berlaku saat ini yaitu 25%, maka bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang memenuhi syarat, tarif efektifnya menjadi 12,5% atas penghasilan sampai dengan Rp.4,8 milyar. Pengenaan PPh dalam hal ini dilakukan terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari perhitungan laba-rugi akuntansi (pembukuan) setelah dilakukan koreksi fiskal karena berdasarkan pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP),
Ditinjau dari segi keadilan dalam perpajakan (equity principle), pengenaan pada PPh Final tidak sesuai denganprinsip keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Ini disebut dengan keadilan vertikal atau vertical equity (Musgrave & Musgrave, 1976). Penghasilan yang dimaksud disini adalah penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan biaya-biaya pengurang penghasilan bruto yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan yang berlaku (Mansury R, 1996). Berhubung PPh Final dihitung langsung dari peredaran bruto maka pemajakan tersebut tidak sesuai dengan konsep keadilan dalam pemajakan. Betapa tidak, besar kecilnya penghasilan neto seseorang atau badan usaha tidak akan mempengaruhi besarnya pajak yang akan dibayar karena pajak dihitung dengan mengalikan tarif langsung terhadap peredaran bruto. Bahkan di dalam keadaan rugi pun, dengan pengenaan PPh Final seseorang atau badan usaha tetap harus membayar pajak.
Efisien Tetapi Mundur Dari Sistem Self-Assessment
Penerapan PPh Final 1% terhadap UMKM yang mempunyai peredaran bruto tidak lebih dari Rp.4,8 milyar setahun adalah tepat jika hanya dilihat dari sisi kemudahan dalam penghitungan pajak bagi kelompok perorangan dan badan usaha yang selama ini kesulitan menyelenggarakan pembukuan. Namun bagi UMKM perorangan atau badan usaha yang selama ini telah menyelenggarakan pembukuan dengan tertib dan menghitung PPh dari penghasilan kena pajak yang senyatanya dari hasil pembukuan setelah dilakukan koreksi fiskal, ketentuan ini menjadi suatu kemunduran bagi mereka. Betapa tidak, untuk kelompok ini, konsep self – assessment yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya jelas menjadi tidak bermakna. Kebijakan pengenaan PPh Final terhadap UMKM mundur dan tidak selaras dengan tujuan utama dari sistim self – assesment yaitukepatuhan membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance).
Dengan mengenakan PPh Final berdasarkan tarif 1%, UMKM yang berbentuk badan usaha tidak diuntungkan dan tidak pula dirugikan apabila persentase Penghasilan Kena Pajak terhadap peredaran bruto dapat mencapai 8%. Hal tersebut dapat dirumuskan dengan: 1% x peredaran bruto sebulan = 12,5% x 8% x peredaran bruto sebulan. Tarif 12,5% adalah merupakan tarif pasal 31 E dari UU PPh. Apabila UMKM dalam bentuk badan usaha mampu meraih persentase penghasilan kena pajak di atas 8%, maka UMKM dalam bentuk badan usaha akan diuntungkan karena membayar PPh lebih kecil dari ketentuan sebelumnya. Demikian sebaliknya akan membayar PPh lebih besar apabila persentase penghasilan kena pajak kurang dari 8% terhadap peredaran bruto, bahkan akan tetap membayar PPh Final meskipun dalam keadaan merugi. Persentase minimum atas penghasilan kena pajak yang harus dicapai oleh UMKM perorangan akan lebih besar dari 8% agar tidak dirugikan dengan berlakunya pengenaan PPh Final 1% dari peredaran bruto, sebab dengan berlakunya PP No.46 Tahun 2013 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak lagi menjadi faktor pengurang dalam menghitung kewajiban PPh UMKM orang pribadi.
Lalu ada hal menarik pula untuk dikaji, yakni karena dikenakan PPh Final, maka akan berimbas pula kepada mekanisme Pemotongan/Pemungutan Pajak terhadap WP yang dikenakan PPh berdasarkan PP ini. Kalau dilakukan Pemotongan/Pemungutan oleh pihak lain, PPh ini tentu tidak dapat dikrefitkan oleh WP bersangkutan. Oleh karena itu, telah dikeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER – 32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi WP yang dikenai PPh Berdasarkan PP No.46 Tahun 2013. Dalam peraturan ini WP harus mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak. Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas (SKB)
Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud diatas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
- telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
- menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
- menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
- ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
- menunjukkan Surat Keterangan Bebas.
- menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa Surat Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas : impor, pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industry farmasi, pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri.
- mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
- ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Dari ketentuan tentang SKB ini jelas ternyata Wajib Pajak akan membutuhkan tambahan beban yang cukup besar untuk melaksanakan administrasi perpajakan dimaksud, apalagi yang bertransaksi dengan bendaharawan pemerintah yang tidak cukup diberikan pemahaman oleh DJP sendiri.
Bagi Direktorat Jenderal Pajak, pemberlakuan PP ini berpotensi untuk mengalami kesulitan dalam pengawasan karena Wajib Pajak yang “nakal” dapat lebih leluasa dalam melakukan aksi untuk menyembunyikan omzet, apalagi dengan tidak dapat diberlakukannya withholding tax atas WP dalam cakupan PP No.46 Tahun 2013 ini, cenderung menimbulkan potensial loss bagi DJP sendiri.
Dari tulisan diatas, menurut Penulis dalam hal ini PP No. 46 Tahun 2013 memang baik dari sisi kemudahan maupun untuk meningkatkan penerimaan pajak bagi DJP. Namun, menurut Penulis, ternyata ada beberapa kesulitan yang dapat dihadapi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai PP ini dan juga kesulitan bagi DJP sendiri. Oleh karena itu dalam persoalan ini, menurut Penulis yang dimasukkan dalam cakupan pengenaan PPh sesuai dengan PP No. 46 tahun 2013 ini sebaiknya perlu dibatasi kembali. Misalnya bagi kelompok UMKM orang pribadi maupun badan usaha yang selama ini telah sanggup menyelenggarakan pembukuan dengan tertib seyogyanya tidak perlu dimasukkan dalam cakupan ketentuan PP No.46 Tahun 2013. Dengan memasukkan kelompok ini dalam ketentuan PP No.46 Tahun 2013, dorongan agar Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan sebagai bagian dari sasaran sistem self-assessment ini menjadi berkurang, yang mana padahal salah satu tugas Fiskus adalah pembinaan Wajib Pajak termasuk dalam hal kepatuhan penyelenggaraan pembukuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H