Mohon tunggu...
Samuel Handy Purba
Samuel Handy Purba Mohon Tunggu... Nelayan - Mahasiswa

Saya sangat kreatif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Kekuatan dan Keindahan Debus

27 Februari 2024   12:32 Diperbarui: 27 Februari 2024   12:46 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menggali Kekuatan dan Keindahan Debus:
Antara Tradisi dan Keajaiban
Samuel Handy Purba


Asal-Usul Debus
Kata Debus, sebenarnya adalah nama sebuah alat yang terbuat dari besi sepanjang 40
cm dengan ujung yang runcing. Pada pangkalnya diberi alas (dudukan) dari kayu yang
diperkuat dengan lilitan pelat baja, agar tidak cepat terbelah jika dipukul. Di dalam permainan
besi itu ditusukan kebagian-bagian tubuh, bahkan dipalu bagian pangkalnya, agar bisa
menembus bagian-bagian tubuh yang ditusuk. Anehnya, walaupun tubuhnya tertembus alat itu
pemain tidak merasa sakit dan tidak mengalami cedera, padahal dialaminya dalam keadaan
sadar. Kata Debus merupakan perubahan arti dari kata "Tembus".
Pada abad XVII Masehi (tahun 1651 -1652) ketika Sultan Agung Tirtayasa memegang
tampuk pemerintahan di Kesultanan Banten, sengaja diciptakan satu bentuk latihan bagi
prajurit Banten ialah latihan perang atau perkelahian dengan menggunakan alat yang disebut
Debus, selain alat-alat lain seperti pedang, golok, keris, tombak, dan sebagainya. Dalam latihan
itu mereka berpasang-pasangan, kadang perang campuk. Dengan ketabahan, keuletan, dan
keimanan yang kuat kepada Tuhan mereka dapat mengatasi segala ujian itu. Jadi pada mulanya
debus diciptakan untuk mempertahankan negara (peperangan). Karena debus sudah ada sejak
abad ke 17 tentu saja debus termasuk permainan rakyat yang berusia cukup tua.
Konon, kesenian yang disebut sebagai debus ini ada hubungannya dengan tarikat
Rifaiah yang dibawa oleh Nurrudin Ar-Raniry ke Aceh pada abad ke-16. Para pengikut tarikat
ini ketika sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena "bertatap
muka" dengan Tuhan) kerap menghantamkan berbagai benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi
yang mereka gunakan adalah laa haula walla Quwata ilabillahil 'aliyyil adhim atau tiada daya
upaya melainkan karena Allah semata. Jadi, kalau Allah mengizinkan, maka pisau, golok,
parang atau peluru sekalipun tidak akan melukai mereka.
Para pemain debus terdiri dari seorang syeh (pemimpin permainan), beberapa orang
pezikir, pemain, dan penabuh gendang. satu sampai dua minggu sebelum diadakannya
pertunjukan debus biasanya para pemain akan melaksanakan pantangan-pantangan tertentu
yang harus dilakukan yaitu tidak boleh minum-minuman keras, tidak boleh berjudi, tidak boleh
mencuri, tidak boleh tidur dengan isteri atau perempuan lain, dsb.Debus di Berbagai Zaman

Pada awalnya di Banten kesenian ini berfungsi untuk menyebarkan ajaran Islam.

Namun, pada masa penjajahan Belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa,

seni ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat Banten untuk melawan

Belanda. Seiring dengan perkembangan zaman, pada era globalisasi kesenian ini hanya

berfungsi sebagai sarana hiburan semata dan pertunjukan budaya lokal serta internasional.

Hilangnya Nilai-Nilai Keunikan Debus

Globalisasi membawa berbagai peluang baru bagi seniman debus, seperti peningkatan

aksesibilitas pasar global, pertukaran budaya yang lebih luas, dan kesempatan untuk

berkolaborasi dengan seniman dari berbagai belahan dunia. Namun, di sisi lain ada juga

tantangan yang timbul akibat globalisasi. Salah satunya adalah risiko homogenisasi budaya, di

mana aspek-aspek unik dari seni debus dapat terancam oleh dominasi budaya global yang lebih

dominan. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya keaslian dan identitas lokal dalam seni debus.

Selain itu, pengaruh globalisasi juga dapat memengaruhi tema dan naratif yang

diangkat dalam pertunjukan debus. Seniman debus mungkin cenderung menyesuaikan karya

mereka dengan preferensi pasar global, mengorbankan kadang-kadang esensi dan substansi

dari cerita-cerita lokal yang mungkin lebih penting bagi masyarakat lokal.

Ada risiko bahwa nilai-nilai dan makna tradisional dari debus dapat terkikis atau diubah

untuk menyesuaikan dengan selera global yang mungkin berbeda. Selain itu, kemungkinan

adopsi unsur-unsur asing dalam pertunjukan debus juga dapat mempengaruhi keaslian dan

integritas budayanya.

Dalam konteks ini, penting bagi para pemangku kepentingan dalam seni debus untuk

tetap mempertahankan nilai-nilai dan keaslian budaya lokal sambil tetap terbuka terhadap

pengaruh global yang positif. Kolaborasi antara seniman debus dengan praktisi seni dari

berbagai belahan dunia dapat menjadi cara yang baik untuk memperkaya dan memperluas

pemahaman tentang seni ini tanpa mengorbankan identitasnya.

Dengan demikian, dalam era globalisasi ini, debus tidak hanya menjadi bagian dari

warisan budaya lokal, tetapi juga berperan sebagai representasi dari keanekaragaman budaya

yang dihargai secara global. Melalui pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai tradisional dan adaptasi terhadap perubahan zaman, debus dapat terus berkembang sebagai aset budaya

yang berharga bagi Indonesia dalam konteks global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun