Mohon tunggu...
Mimi L-sha
Mimi L-sha Mohon Tunggu... profesional -

Aku adalah diriku yang apa adanya, menulis karena aku memang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Marrengge-rengge Demi Rokokmu dan Sekolah Anakku

5 September 2011   06:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:13 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak pernah menganggap serius penyakitku. Penyakit karena jamur di kaki sudah menjadi sahabat sejati tiga tahun ini. Tepatnya setelah aku aktif menapaki tanah becek berlumpur di pasar tradisional. Orang-orang mungkin jijik melihat kakiku, karena aku sendiri juga bergidik melihat penyakit di kedua kakiku itu, mulanya hanya di sela-sela jari kaki namun sekarang sudah mendekati ke lutut. Pernah satu kali aku periksakan kakiku ini ke puskesmas, kata dokter itu karena jamur. Dan setelah ia memberikan aku obat, ia katakan aku mesti kontrol lagi setelah obat itu habis, memang berangsur berkurang namun aku tak bisa tepati kalau aku harus kontrol lagi kesana.

Saat itu, aku benar-benar tidak ada uang, karena bertepatan dengan waktu pendaftaran masuk sekolah anak ku yang paling bungsu. Jutaan uang mesti terkuras dari kantongku, sehingga aku mengabaikan penyakit yang kuanggap tidak seberapa itu. Setelah beberapa bulan penyakit itu bukan hanya meluas tapi sudah menimbulkan bau busuk. Dan karena makin banyak orang yang memandang jijik dan ngeri aku terpaksa kembali ke puskesmas, kata dokter sakit itu sudah ada infeksi lain, kalau tidak salah infeksi sekunder namanya. Ia sangat menyayangkan kenapa aku baru sekarang datang kembali ke sana.

Ia mungkin tidak mengerti, ada banyak alasan yang rasanya tak perlu kuuraikan satu persatu padanya. Ia juga berkata supaya aku jangan berkontak lagi dengan lumpur, tanah dan debu jalanan yang kotor. Ini satu hal yang lagi-lagi tidak bisa kutepati, meskipun aku menganggukkan kepala dalam untuk menjawab anjurannya. Dalam hatiku aku berkata " tak taukah dokter, sudah aku katakan aku marrengge-rengge di pasar, jadi kalau aku tak berkontak dengan kotor bagaimana aku bisa hidup, bagaimana anakku bisa makan dan bagaimana pula dengan suamiku yang setiap hari memeriksa setiap kantong celana atau bajuku untuk menemukan lembaran uang yang katanya untuk menyambung nafasnya itu ?".

Tak satu kalipun aku meneteskan air mata, meskipun kata orang aku pastilah amat tertekan bathin. Tertekan bathin, gak tertekan bathin yang ku tahu badanku tetap saja gemuk. Aku tak perlu terlihat cantik, seperti keinginan wanita pada umumnya. Bisa tertidur pulas untuk beberapa jam di waktu malam saja sudah hal yang amat membahagiakan olehku. Tidak perlu ada sisir, kaca, bedak ataupun lipstik di rumah, karena aku adalah wanita perkasa...lihatlah otot tanganku amat besar dan betis kakiku juga kekar. Aku bisa mengangkat apa saja, untuk mendatangkan rupiah di kantongku.

" Hei mak butet, buka pintunya! " suara seperti inilah yang sebenarnya lebih menyakitiku dari pada sakit karena kerasnya hidup ini. Seandainya dua atau tiga kali saja panggilan itu tidak terdengar dan dibukakan pintu karena aku ketiduran dalam lelah di malam hari maka ia akan mendobrak pintunya, dan memporak-porandakan seisi rumah. Bahkan aku tak segan-segan ditendangnya keluar di depan mata ketiga anakku.

Aku memakluminya, ia pastilah amat mabuk karena tuak yang telah masuk ke perutnya, besok setelah ia bangun ia akan berkata dengan amat manis, kata-kata maaf yang indah agar kembali mendapatkan simpatiku dan juga mendapatkan uang untuk membeli rokoknya. Katanya meskipun susah seorang laki-laki harus terlihat gagah dengan sebatang rokok di bibirnya. Gagah-gagahannya itu, sungguh menusuk hatiku.

Aku berkata " Nak, kalau mamak tak bisa memberimu uang jajan hari ini, jangan memandang orang lain makan di sekolah ya, moga besok Tuhan beri untuk kita".

Anakku sungguh baik, mereka tidak pernah bertanya atau meminta dengan tangis. Ia amat mengerti demikianlah nasib anak dari ibu yang kerjanya hanya serabutan (marrengge-rengge ) di pasar, dan ayah yang selalu mengaku bekerja sebagai pengacara (pengangguran banyak acara).

Ketika hujan, rintik-rintik airnya menembus atap rumah kami yang berpori-pori kasar...saat itu aku hanya bisa merangkul ketiga anakku di sudut rumah yang tak berkamar itu. Saat itu aku katakan " nak sabarlah...semoga kita punya uang besok untuk menutupi atap yang berpori itu. Kalaupun ibu atau ayahmu tak punya kesempatan untuk menutupnya...setidaknya sekolahlah yang tinggi karena itu akan mengobati segalanya, jangan berkeluh dengan kesusahan ini tapi tertawalah karena meskipun kita seperti ini Tuhan masih melindungi kita. Kita masih punya sebuah tempat yang sedikit layak disebut rumah, kita harus bersyukur dengan yang sedikit itu agar bisa mendapat yang besar dan banyak ".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun