Indonesia memiliki beragam kampung adat yang tersebar di setiap wilayahnya. Setiap daerah memiliki keunikan kampung adatnya. Termasuk kampung yang ada di Kota Cimahi Jawa Barat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, mahasiswa PMM dari kelompok Reak berkesempatan mengunjungi kampung ini pada Minggu, 03 Maret 2024 menggunakan dua mobil angkot.
Kampung Adat Cireundeu dikelola oleh pemerintahan setempat seperti l, RT dan RW karena merupakan tingkatan tertinggi di desa Adat Cireundeu Sedangkan secara tradisional Cireundeu memiliki orang yang 'dituakan', atau biasa disebut oleh masyarakat dengan Sesepuh.Â
Masyarakat adat Kampung Cireundeu merupakan bagian dari Sunda Wiwitan yang tersebar di daerah Cigugur-Kuningan-Cirebon. Mayoritas dari mereka menganut dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan sampai saat ini. Masyarakat adat Cireundeu memiliki prinsip yakni "Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman". Arti kata dari "Ngindung Ka Waktu" ialah warga kampung adat memiliki cara, ciri, dan keyakinan masing-masing. Sedangkan "Mibapa Ka Jaman" memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman melainkan mengikuti perubahan zaman tersebut, termasuk beradaptasi dengan adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa handphone, dan penerangan.
Kampung Adat Cireundeu mempunyai identitas dan ciri khas yang kuat dimana masyarakat asli Kampung Adat Cireundeu dikenal sebagai masyarakat yang mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan olahan lainnya dalam kesehariannya. Beberapa pertunjukkan seni juga sering  dipentaskan terutama di masyarakat luar Kampung Adat Cireundeu seperti  wayang golek, kesenian gondang, karinding, dan angklung buncis.
Kami pun sempat melakukan diskusi bersama salah satu masyarakat desa ini, beliau menceritakan dengan lengkap bagaimana adat dan tradisi kampung Cirendeu yang masih dilestarikan hingga hari ini, berbagai macam upacara mulai dari upacara pernikahan sampai pada upacara ketika akan menanam atau memanen singkong dihutan. " Kampung adat Cirendeu sangat mengutamakan rasa kemanusiaan", pungkas kang Yayat. Beliau mengatakan masyarakat adat dapat melakukan profesi apapun diluar sana namun, tidak boleh meninggalkan profesi sebagai seorang petani. Mereka memiliki kebun singkong yang mana terdapat beberapa adat yaitu ketika mereka memasuki hutan tidak boleh menggunakan alas kaki. Hal ini menurut kepercayaan mereka bahwasanya hutan merupakan ibu sehingga tidak boleh ada jarak antara ibu dan anak. Lalu, ketika ingin mengunjungi hutan para wisatawan tidak diperkenankan memakai baju yang berwarna merah. Alasannya karena terdapat beberapa kali wisatawan yang memakai baju merah akan kesurupan sehingga masyarakat tidak ingin hal tersebut terulang kembali.
Reporter : Elsa Zhalfa
Editor : Salsha Solli Nafsika,M.Pd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H