Mohon tunggu...
Elsa Sipayung
Elsa Sipayung Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiwi

NIM : 190904117

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lawan Budaya Patriarki di Media Sosial

30 Oktober 2022   21:59 Diperbarui: 30 Oktober 2022   22:29 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era digital ini, media sosial sudah seperti salah satu kebutuhan manusia. Khususnya untuk pengguna media sosial di kelompok usia remaja hingga pemuda. Ada yang menjadikan media sosial sebagai platform untuk mempromosikan produk jualannya, ada yang memanfaatkannya untuk personal branding alias menciptakan citra diri yang baik, dan ada juga yang menjadikan media sosial sebagai salah satu sumber pendapatan. Mereka sering disebut dengan content creator. Para kreator tersebut biasanya mengunggah video yang berisi hiburan ataupun edukasi.

Para kreator tersebut memilih topik konten apa yang akan dibicarakan pada akun media sosial, mulai dari konten yang berisi candaan, konten yang berisi pembahasan politik, konten yang berisi pembahasan soal hukum, dan masih banyak lagi. Uniknya, belakangan ini cukup banyak content creator yang membahas soal kesetaraan gender yang muncul ke permukaan, khususnya pada platform Tiktok. Mereka menyuarakan pendapat dan pandangan mereka terhadap kejadian di kehidupan sehari-hari dan menghubungkannya pada topik kesetaraan gender. Bisa dikatakan, semua kreator tersebut selalu menyuarakan "Lawan Patriarki" melalui tagar serta diucapkan secara langsung.

Topik patriarki sepertinya tengah menjadi topik perdebatan yang cukup panas untuk dibahas. Namun, taukah kamu apa itu budaya patriarki? Budaya patriarki adalah budaya dan sistem sosial yang memandang dan menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan. Baik itu dalam bidang politik, rumah tangga, dan lainnya. Selain itu, dalam budaya patriarki juga pria dianggap memiliki hak sosial yang lebih dibanding wanita.

Ketimpangan sosial terhadap pria dan wanita menjadi faktor pemicu para kreator tersebut untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki melalui edukasi yang mereka sebarkan kepada para pengikut mereka di media sosial. Umumnya, mereka menyatakan bahwa tindakan paling minimal yang dapat dilakukan untuk memerangi budaya patriarki adalah dengan memberikan  wanita tempat untuk menyampaikan pendapat dan menyuarakan pemikiran mereka terhadap isu yang terjadi, atau sering disebut melakukan gerakan emansipasi wanita.

Topik pembicaraan yang cukup panas di platform Tiktok beberapa bulan lalu, mengenai peran saat menjalani hubungan. Para pejuang kesetaraan gender dengan jelas mengatakan bahwa tidak masalah jika pihak wanita yang membayar biaya kencan, dengan syarat telah melakukan komunikasi terlebih dahulu. Namun, para penganut patriarki mengatakan bahwa harus pihak laki-laki yang mengeluarkan biaya saat melakukan kencan. Jika ditanya alasan, para pejuang kesetaraan gender mengatakan bahwa bukan hanya pria yang memiliki pekerjaan, tetapi wanita juga memiliki pekerjaan yang penghasilannya cukup besar. Berbeda dengan alasan para penganut patriarki, mereka mengatakan bahwa untuk terlihat seperti gentleman, pria harus membayar semua biaya untuk kencan. Jika pihak pria tidak memiliki cukup uang, maka para penganut patriarki akan memandang rendah dan menganggapnya sebagai 'cowok kere'.

Julukan 'cowok kere' ini muncul karena pada budaya patriarki, pria dituntut untuk menjadi sosok yang kuat dan dapat melindungi wanita baik dari segi fisik maupun ekonomi. Pandangan ini menjadi alasan para wanita untuk menilai pria melalui kondisi keuangan mereka.

Salah satu contoh budaya patriarki paling sederhana adalah, ketika kelahiran anak. Hampir semua keluarga di Indonesia lebih mengharapkan anak laki-laki dibanding anak perempuan. Bahkan di era digital ini, masih ada keluarga yang menyalahkan wanita jika dia tidak dapat mengandung. Wanita bahkan dinilai dari keperawanannya, padahal pada dunia medis, tidak ada istilah keperawanan.

Selain itu, tidak sedikit pula content creator yang membagikan kisah mereka yang berhubungan dengan patriarki. Beberapa kreator wanita mengutarakan bahwa sebesar apapun usaha mereka untuk menyentuh hati orang tua mereka lewat prestasi, pada akhirnya anak laki-laki lah yang mendapatkan pujian hanya karena satu perbuatan baik. Beberapa pengalaman mereka di dunia kerja juga tak lupa dibagikan. Kisah yang mereka bagikan menunjukkan bagaimana wanita hanya dipandang sebagai pasangan laki-laki dan objek seks.

Pandangan terhadap wanita yang seperti ini karena budaya patriarki, perempuan adalah pihak yang lebih banyak menginvestasikan energi dalam menghasilkan keturunan dibandingkan dengan laki-laki.

Patriarki dalam rumah tangga sering menjadi topik pembicaraan para content creator juga. Biasanya, topik patriarki dalam rumah tangga disangkut pautkan dengan topik perselingkuhan. Dimana pada setiap kasus perselingkuhan suami, justru pihak yang disalahkan adalah istri. Ada yang mengatakan, jika anak-anak dari keluarga tersebut menorehkan prestasi ataupun melakukan hal baik, maka ayah adalah pihak yang akan dipuji. Namun jika anak-anak dari keluarga tersebut melakukan kesalahan ataupun kenakalan, maka lingkungan sosial akan meragukan ajaran sang ibu.

Pandangan seperti ini secara eksplisit telah dijelaskan lewat julukan terhadap posisi dalam rumah tangga. Dimana ayah mendapat posisi kepala keluarga, yang artinya masalah keuangan dan masalah keluarga terhadap dunia luar adalah tugas sosok suami dan ayah. Lalu ibu mendapat posisi sebagai kepala rumah tangga, yang artinya segala urusan rumah tangga mulai dari mengurus anak, pekerjaan rumah tangga, mengurus suami adalah tugas istri dan ibu.

Dalam pembicaraan patriarki di media sosial ini, sejujurnya cukup menunjukkan bagaimana lingkungan yang ditinggali, dan bagaimana keluarga yang membesarkan seseorang.

Besar kemungkinan para content creator tinggal -- dulunya -- dalam lingkungan yang menganut budaya patriarki, dan saat ini sudah tinggal di lingkungan yang cukup sehat dan jauh dari budaya patriarki sehingga pemikiran mereka mengenai patriarki terbuka dengan baik. Namun, untuk para pengguna media sosial yang masih menganut budaya patriarki juga menunjukkan bahwa saat ini mereka tinggal dan tumbuh di lingkungan yang menganut budaya patriarki dengan cukup keras.

Lingkungan tempat tinggal seseorang memang mempengaruhi pola pikir seseorang. Meskipun begitu, beberapa pengguna media sosial dan bahkan content creator yang menyuarakan perlawanan pada patriarki juga sampai saat ini masih tinggal di lingkungan yang menganut patriarki. Alasan terbesar mengapa mereka dapat berpikir bahwa budaya patriarki tidak seharusnya dianut adalah, karena mereka tidak menyukai perlakuan tidak adil yang mereka dapatkan dan mulai menyuarakan kesetaraan gender. Hingga akhirnya mengenal apa itu budaya patriarki.

Hal ini menunjukkan bahwa, lingkungan memang berpengaruh namun apa yang ada di pikiran seseorang lah yang menjadikan suatu reaksi menjadi nyata. Misalnya pada para penganut patriarki. Mereka mungkin tidak nyaman dengan perlakuan tidak adil, namun mereka berpikir bahwa perlakuan tersebut adalah hal yang wajar. Maka pola pikir seperti inilah yang membuat mereka berpikir bahwa budaya patriarki bukanlah hal yang buruk. Berbeda dengan para pejuang kesetaraan gender. Mereka mendapat perlakuan tidak adil dan membuat mereka tidak nyaman, dan mereka berpikir bahwa perlakuan tidak menyenangkan tersebut tidak seharusnya terjadi. Pola pikir seperti inilah yang membuat mereka berpikir bahwa budaya patriarki bukanlah hal yang baik untuk dianut.

Untuk saat ini, pejuang pergerakan kesetaraan gender dan emansipasi wanita mendapat banyak perhatian dan cukup membuka pemikiran para pengguna media sosial, khususnya Tiktok, untuk mengenal apa itu budaya patriarki, dan bagaimana pengaruhnya baik terhadap laki-laki dan terhadap perempuan.

Meski begitu, pada dasarnya semua orang memiliki pola pikir yang berbeda, dan kita tidak memiliki hak untuk menghakimi orang lain. Hal yang dapat kita lakukan hanyalah membantu mereka memahami apa yang mereka utarakan, dan menerima fakta bahwa orang lain tidak harus setuju terhadap pemikiran kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun