Mohon tunggu...
Elsa Ryan Ramdhani
Elsa Ryan Ramdhani Mohon Tunggu... -

silent and deadly

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bom Waktu Kehancuran Indonesia

16 Agustus 2010   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:58 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

tulisan seseorang yang mungkin bisa menginspirasi.

semoga bermanfaat !

Pendidikan merupakan sektor utama penopang masa depan bangsa. Disinilah proses “dibentuknya” manusia untuk menghasilkan generasi muda berkualitas sebagai penerus bangsa. Akan tetapi, suatu hal yang sangat memprihatinkan bahwa menurut laporan ‘United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization’ (UNESCO) posisi Indonesia dalam peringkat indeks pendidikan dunia berada di rengking 62 dari renking 58 dari 130 negara. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu membuat kita terkejut.  Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah minimnya alokasi dana APBN untuk pendidikan. Di Indonesia anggaran pendidikan seharusnya sebesar 20% sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945. Hal ini dipertegas lagi dengan UU No 20/2003 mengenai Sisdiknas yang menekankan alokasi minimum 20% dari APBN dan APBD adalah tidak termasuk gaji untuk guru. Berdasarkan kesepakatan DPR dan pemerintah tahun 2005, anggaran pendidikan secara bertahap akan ditingkatkan sebesar 2,7% per tahun, dimana untuk tahun 2008 sebesar 17,40%. Tetapi, pada kenyataannya realisasi anggaran tersebut jauh dari apa yang terjadi di lapangan. APBN untuk pendidikan hanya dialokasikan sebesar 12% yaitu senilai dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun. Dapat dibayangkan bagaimana kualitas pendidikan negeri saat ini.

Dari situasi dan kondisi saat ini, segala macam cara telah diupayakan oleh pemerintah dengan dalih “menyelamatkan APBN” akan tetapi hal ini justru sangat menyengsarakan rakyat. Menyelamatkan APBN tetapi menyerahkan sebagian besar sektor pemasukan negara kepada asing, dimana keuntungan Indonesia tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh pihak asing. Keterpurukan terjadi terutama dalam sektor pendidikan, pemerintah sepertinya kurang serius untuk mencerdaskan anak bangsa. Biaya pendidikan yang kian melambung, sarana dan prasarana yang tidak memadai, belum lagi sistem yang digunakan sering berevolusi, memang itu bertujuan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tetapi yang terjadi dilapangan tidak sepenuhnya demikian. Penulis contohkan seperti pergantian kurikulum yang juga berarti penggantian buku pelajaran. Ada kurikulum PAKEM, KBK 2004, dan yang terbaru adalah KTSP. Disini penulis melihat ada buku-buku yang memiliki sampul berbeda, seperti ada yang bertuliskan KBK 2004 atau KTSP, padahal isinya sebagian besar sama. Sedangkan siswa dituntut untuk mempunyai, memang tidak semua guru yang menyarankan untuk membeli dalam bahasanya yaitu boleh pinjam. Tetapi bagaimana jika saat itu terjadi perubahan kurikulum, artinya siswa harus mempunyai tentunya dengan membeli, seperti yang penulis ulas sebelumnya, padahal isinya sama dengan kurikulum sebelumnya, hanya beberapa halaman yang mengalami perubahan, tentu ini sangat memberatkan bagi mereka yang kurang mampu. Ditingkat SD dan SMP memang masih ada dana BOS, tapi yang penulis lihat disini adalah ketidakadilan. Penulis ingat waktu SMP dulu sekitar tahun 2004 sampai 2006. SMP penulis mendapat dana BOS, dana BOS ini digunakan untuk berbagai keperluan sekolah. Yang akan penulis ulas disini lebih dikhususkan pada penggunaan dana BOS untuk pembayaran SPP. Saat itu SPP penulis dan semua teman-teman gratis baik yang termasuk orang kaya, cukup maupun kurang mampu semua sama. Begitupun pembayaran buku berlaku semua sama. Jika mereka yang termasuk golongan kaya dan mampu, maka bukan sesuatu yang memberatkan, tetapi bagi mereka yang kurang mampu pastilah akan sangat memutar otak untuk mencari uang demi mempunyai buku. Menurut penulis, keadilan tidak harus sama. Sesuatu yang sangat tidak adil disini adalah bagi mereka yang mampu diberlakukan SPP gratis. Akan lebih bijaksana, jika bagi yang mampu tetap membayar SPP tetapi dibawah pembayaran biasanya, maksudnya bisa dilakukan pembayaran sebesar 50% dari biaya SPP awal, sisanya ditanggung dana BOS. Sehingga dana BOS yang seharusnya untuk semua siswa dapat dipangkas penggunaannya agar dapat diperoleh surplus, surplus ini dapat digunakan untuk membayar biaya buku bagi siswa yang kurang mampu. Setiap kebijakan pasti ada kelebihan dan kekurangannya. BOS memang sangat membantu, akan tetapi dengan adanya dana BOS, siswa jadi kurang bersemangat untuk sekolah karena semuanya gratis. Penulis rasakan betul hal itu, dulu waktu di SMP, jika ada guru yang meninggalkan kelas, itu adalah hal yang sangat mengembirakan. Sekolah saja gratis jadi tidak ada perasaan rugi tidak mendapat materi pelajaran dari guru. Berbeda saat penulis duduk di bangku SMA apalagi di SMA swasta yang menurut banyak orang sekolah ini adalah sekolah favorit. Di sini lebih adil, biaya SPP tergantung dari keadaan perekonomian orang tua siswa. Selain itu, tidak pernah ada guru yang membolos, sehingga materi selesai tepat waktu bahkan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan. Jika ada guru yang izin, siswa diberi tugas dan mereka paham betul bahwa tugas itu harus dikerjakan, karena ada perasaan rugi jika sekolah dengan membayar SPP yang tidak murah ini, malah membuang waktunya di sekolah untuk bersantai-santai. Dengan demikian akan terbentuk pribadi yang lebih bertanggung jawab dan disiplin waktu.

Pendidikan merupakan hak seluruh anak bangsa. Sebagai negara demokrasi, seharusnya pemerintah menyadari bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat. Rakyatlah yang berkuasa memutuskan nasib bangsanya. Akan tetapi, sistem demokrasi yang dielu-elukan sebagai fasilitator suara rakyat, hanya menjadi isapan jempol belaka. Berapa banyak rakyat yang berdemonstrasi menentang kenaikan BBM, berapa banyak siswa SMA dan segenap guru yang menolak diadakannya UAN sebagai tolak ukur kelulusan siswa. Tetapi, pada akhirnya BBM pun naik, dengan begitu maka akan terjadi efek domino, yakni satu sektor mempengaruhi keadaan sektor lain. BBM yang naik dapat menaikkan biaya transportasi, akhirnya biaya distribusi barang-barang seperti kebutuhan rumah tangga, buku dan perlengkapan sekolah ikut naik, ada benarnya ungkapan ”anak miskin dilarang sekolah.” Biaya hidup yang semakin mahal membuat masyarakat yang tidak mampu berpikir keras bagaimana cara agar dapat menyekolahkan anaknya. Jika seorang kepala rumah tangga yang lemah imannya maka dimungkinkan dapat melakukan tindakan yang melanggar hukum, hanya karena ingin anaknya sekolah. Tidak heran jika angka kriminalitas semakin meningkat setiap tahunnya. Keadaan yang mendesak merupakan faktor seseorang melakukan tindakan kriminal, kejahatan bukan karena niat pelakunya saja, tetapi juga partisipasi sistem pemerintah yang memaksa mereka menjadi seorang kriminal.

UAN pun seirama, tetap dilaksanakan walaupun kita ketahui bersama bahwa UAN hanya mencetak generasi gagal. Karena UAN bukan jalan yang efektif dalam menentukan kelulusan siswa, bayangkan sekolah 3 tahun hanya ditentukan 3 hari dengan harapan 5 huruf, yaitu LULUS. Akan tetapi, pada akhirnya siswa masih belum bisa bernafas lega, karena nilai UAN tidak berguna lagi untuk diajukan ke perguruan tinggi. ‘Toh’ para siswa harus mengikuti serangkain tes lagi agar dapat diterima di perguruan tinggi yang dituju. Belum lagi kebrobrokan moral akibat UAN. Banyak peristiwa terjadi seperti kebocoran soal, upaya guru di berbagai daerah dengan melonggarkan pengawasan UAN agar para siswa dapat saling “membantu”. Dimanakah letak kejujuran berada? Semua hal yang terjadi ini juga bukan sepenuhnya salah sekolah, guru dan siswa. Mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit, disisi lain jika tidak ada “upaya” tersebut dari pihak guru, maka kemungkinan akan ada siswa yang tidak lulus. Sementara bagi siswa, kelulusan hanya “berguna” untuk dapat mengikuti tes perguruan tinggi, ditambah lagi suatu kerugian yang besar jika sekolah selama 3 tahun, lalu ditentukan dalam 3 hari dan ternyata tidak lulus. Hanya ada 2 pilihan yang sama-sama menyesakkan dada, yaitu mengulang 1 tahun lagi atau mengikuti ujian susulan dengan program kejar paket C yang selama ini sering dipandang sebelah mata. Bahkan kabar terbaru yang penulis dapat dari berita ditelevisi, dalam ujian susulan dengan program kejar paket C juga terjadi banyak kecurangan. Belum lagi sarana dan prasarana yang disediakan pemerintah sangatlah minim dalam menunjang keberhasilan pendidikan. Sedangkan nilai minimal UAN dipukul sama rata untuk semua sekolah baik berfasilitas lengkap ataupun tidak, padahal setiap siswa dihadapkan pada keadaan proses belajar-mengajar yang berbeda.

Berkaitan dengan UAN, penulis akan memaparkan dua kisah yang memberikan pelajaran berharga kepada penulis untuk selalu mensyukuri kenikmatan yang telah Allah berikan. Kisah yang pertama penulis peroleh ketika membaca Radar Bromo 18 Juni 2008. Dapat dilihat disini ada dua keadaan yang sangat kontradiksi di halaman depan, pada foto A (lihat lampiran) mengambarkan betapa kinclongnya mobil baru 12 camat di lingkungan Kabupaten Probolinggo yang diserahkan oleh Bapak Bupati Hasan Aminudin tanggal 17 Juni 2008. Sementara dibagian paling bawah ada features yang berjudul Terbentur Biaya,Terancam Tak Bisa Kuliah. Disini diberitakan seorang siswa SMAN 1 Kraksaan peraih nilai UAN tertinggi di Kabupaten Probolinggo pada jurusan IPS, yang bernama Fiqih Eka Putri Wijarnako, tidak dapat melanjutkan kuliah di perguruan tinggi yang ia cita-citakan karena ketiadaan biaya. Sehingga cita-citanya yang ingin menjadi seorang akuntan hebat harus ia kubur dalam-dalam, akhirnya Akademi Keperawatan Genggonglah yang menjadi pilihan keluarganya. Selain lokasinya tidak jauh dari rumah sehingga bisa menekan biaya kos jika memilih ke perguruan tinggi diluar kota, dan bisa lebih mudah mendapatkan pekerjaan agar dapat membantu kedua orang tuanya. Walaupun jurusan akademi keperawatan berseberangan dengan jurusan IPS yang ia ambil ketika di SMA.

Kisah kedua yang akan penulis ceritakan disini adalah salah satu teman satu kos, kakak kelas, dan saudara seperjuangan penulis di SMA yang sama dengan penulis. Dia adalah seorang yang ulet, rajin dan pantang menyerah. Semangatnya begitu besar untuk menuntut ilmu, walaupun ia sering sakit, tetapi ia tidak pernah absen untuk sholat berjamaah di masjid, tidak pernah absen mengikuti bimbingan belajar setiap hari minggu di sekolah, walaupun tempat tinggal aslinya di Surabaya. Dapat dibayangkan bagaimana kerindunya terhadap keluarga karena berbulan-bulan tidak pulang ke Surabaya. Ketika musim praktik tiba, di kos kedatangan banyak mahasiswa dari berbagai kota di Pulau Jawa untuk praktik di PT Kertas Leces. Sering kali saat malam tiba, yang merupakan waktu belajar untuk anak SMA, anak PKL membuat gaduh. Beruntung saat itu penulis berada di kamar lantai atas yang seluruh kamarnya berisi anak-anak SMA, rasa semangat satu perjuangan yang membuat penulis dan teman-teman SMA yang berada di lantai atas saling mendukung. Kami mempunyai waktu belajar yang disiplin sehingga proses penyerapan materi pelajaran mudah sekali tercerna. Berbeda dengan teman yang penulis paparkan sebelumnya. Selama di kos, jam belajarnya terganggu, akan tetapi ia masih berusaha fokus belajar menjelang UAN dan UAS. Kejujuran merupakan harga mati untuknya, dalam kondisi apapun kejujuran tetap menjadi pilihan. Saat menghadapi UAN, ia mengaku kesulitan mengerjakan soal. Tapi ia tetap pada prinsipnya, jujur. Tanggal 14 Juni kemarin, kabar mengejutkan penulis peroleh tentangnya. Ia tidak lulus UAN, hanya karena kurang mengerjakan satu soal dengan benar. Padahal penulis yakin, di sekolah lain atau mungkin di sekolah penulis sendiri masih ada segelintir orang yang terpaksa harus menyontek agar lulus UAN, dan akhirnya lulus. Ternyata setelah dimintai keterangan lebih lanjut oleh sekolah, dengan penuh ikhlas dia menjawab bahwa apa yang dia alami adalah hal terbaik yang Allah berikan  untuknya. Belakangan diketahui bahwa ia adalah seorang yatim yang diangkat menjadi anak asuh oleh paman dan bibinya. Dia bercerita bahwa ada suatu perjanjian yang disepakati olehnya dan kedua orang tua angkatnya. Perjanjiannya adalah jika ia lulus, maka semua biaya pendidikan yang ia peroleh selama ini harus dikembalikan kepada kedua orang tua angkatnya. Maka, ketidaklulusan adalah benar-benar keputusan yang terbaik untuknya, dengan begitu ia tidak perlu mengembalikan biaya pendidikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Karena sesungguhnya ia memang bukan dari kalangan orang mampu. Dari dua kisah tadi, banyak pelajaran yang diperoleh. Pertama, kedua siswa tersebut adalah generasi penerus bangsa yang memiliki potensi luar biasa, akan tetapi dunia pendidikan tidak memberi mereka kesempatan untuk meraih cita-cita yang diimpikan. Biaya menjadi faktor kendala utama. Terbukti bukan bahwa pendidikan masa kini telah dimasuki paham kapitalis, siapa yang beruang dialah yang memperoleh pendidikan. Ini sangat berseberangan dengan 31 Hak Anak dalam Konvensi Hak Anakyang sesuai UU No. 23 Tahun 2002 pada nomor 31 yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma. Kedua, kejujuran yang kini semakin mahal harganya, ternyata masih ada sebagian orang yang tetap memegang teguh kejujuran. Walaupun ia harus tidak lulus ujian, sedangkan teman-teman lain yang menyontek bisa lulus. Padahal dari tangan orang yang jujur, akan ada berapa banyak perubahan yang terjadi di Indonesia di masa mendatang. Tetapi, mengapa mereka tidak memperoleh kesempatan meraih pendidikan yang lebih layak? Lalu, dimanakah letak kedaulatan rakyat dalam negara? Seharusnya suara rakyatlah penentu nasib negara, sesuai dengan sistem yang dianut pemerintah saat ini. Ada benarnya istilah ini, dari rakyat oleh rakyat untuk pejabat. Rakyat hanya “berguna” saat masa-masa pemilu, setelah itu jika pejabat pilihan mereka melakukan tindakan melanggar hukum, rakyatlah yang disalahkan karena dianggap salah memilih. Hal ini diungkapkan sendiri oleh perwakilan badan kehormatan DPR yang diundang dalam acara ‘Democrazy’ yang ditayangkan disalah satu stasiun televisi swasta.

Pendidikan yang seharusnya didapat oleh seluruh anak bangsa dari lapisan manapun ternyata hanya menjadi salah satu daftar janji-janji para calon wakil rakyat yang bersaing dalam pemilu. Belum lagi media-media masa sangat tidak mendukung pendidikan informal anak bangsa dalam pembentukan karakter diri dan kepribadian yang sesuai dengan syariat Islam. Banyaknya kasus pemerkosaan oleh dan kepada anak-anak dibawah umur tidak lain karena manifestasi dari apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar dari media-media masa Indonesia yang sangat sering memunculkan gambar, foto atau tulisan yang seharusnya hanya boleh diketahui oleh orang-orang dewasa. Akan tetapi, anak-anak dan remaja bisa sangat mudah mendapatkan informasi tersebut. Bisa melalui internet, walau kini pemerintah masih mengupayakan penutupan situs-situs porno, ditambah lagi dengan jam penayangan acara-acara dewasa yang tidak sesuai. Walaupun ada ‘Komisi Penyiaran Indonesia’ (KPI), akan tetapi masih banyak “berkeliaran” acara-acara yang tidak selayaknya dilihat oleh masyarakat terutama anak-anak. Apalagi saat ini acara-acara televisi orang dewasa bak menjadi siluman, karena banyak disisipkan keacara yang diperuntukkan untuk semua umur. Contohnya seperti acara dangdut, memang disini tidak ada adegan porno secara nyata. Tetapi, coba kita lihat bagaimana cara si artis berbusana, bergoyang yang terkadang sungguh keterlaluan, suara tidak begitu merdu tetapi laris karena goyangannya yang hot, padahal inilah sejatinya poronaksi. Ini sangat membahayakan jika ditonton oleh anak-anak terutama yang laki-laki, dalam masa pubertas dan setelahnya, laki-laki sangatlah sensitif terhadap hal-hal yang berbau wanita seksi. Mereka akan terus terbayang-bayang dengan apa yang pernah mereka lihat atau baca dan bisa jadi mereka mempraktekkannya terhadap temannya atau bahkan saudara perempuannya sendiri.

Ada lagi hal yang menyedihkan dalam dunia hiburan saat ini, anak-anak dan remaja terutama kaum perempuan menjadi barang dagangan yang sangat menggiurkan. Lihat saja dimedia elektronik, berapa banyak stasiun televisi swasta yang membuat acara yang sebenarnya mengeksploitasi anak-anak dan remaja sebagai ladang penghasil rupiah yang menggiurkan. Contohnya seperti ajang pencarian bakat. Disini anak-anak dan remaja terbentuk untuk bersaing agar menjadi orang terkenal dan mendapatkan banyak uang. Memang jika hanya dilihat dari lensa makroskop, maka disini terjadi simbiosis mutualisme. Dimana stasiun televisi swasta mendapatkan keuntungan yang besar dengan adanya program acara tersebut jika rating yang diperoleh tinggi. Dan bagi para pesertanya juga merasa untung karena mendapatkan sejumlah uang dengan cara instan, menjadi populer lagi, tentu banyak anak-anak remaja yang menginginkan hal itu. Akan tetapi, jika dilihat dari lensa mikroskop akan sangat terlihat bahwa sebenarnya acara-acara tersebut tidak lain hanya akan menghasilkan generasi bangsa yang matrealistis. Karena dimata mereka kesuksesan diukur dengan kepopuleran dan punya uang yang banyak, walaupun harus dengan tidak mengindahkan aturan agama untuk menutup aurat. Bagimanakah nasib bangsa ini dimasa mendatang jika para generasi mudanya hanya memikirkan materi? Pakaian yang minim seakan menjadi syarat untuk menaikkan “harga jual”. Kemolekan tubuh, kecantikan, kulit yang putih menjadi santapan umum hanya untuk medapatkan keuntungan, padahal ganjaran dari itu semua sangatlah mengerikan.  Ini juga pornoaksi, lebih tepatnya pornoaksi berbalut seni, lalu dimanakah keberadaan UU APP? Pornoaksi dan pornografi terus merajalela di negeri ini.

Dikoran Jawa Pos 18 Juni 2008, pada halaman utama bagianfeatures. Dikisahkan seorang wanita yang patut kita teladani, Tasmi Soeryotirto, mantan pimpinan redaksi Lipstik, tabloid yang mengusung hal-hal berbau porno. Ia mengisahkan bagaimana hidayah Allah datang kepadanya. Saat itu ia berpikir bisnisnya tersebut tidak akan pernah mati dimakan waktu. Suatu hari ada seorang ibu yang mendatanginya dan meminta agar anaknya dikontrak, bahkan si ibu rela jika sang anak difoto telanjang, ibu itu beralasan ekonomilah yang membuatnya begitu. Lalu, suatu ketika Tasmi terjebak macet di Bundaran Hotel Indonesia, kemacetan tersebut akibat adanya demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat terutama ibu-ibu yang menuntut disahkannya UU APP. Disitulah hati nuraninya terbuka, Tasmi melihat ibu-ibu yang rela berpanas-panas untuk melindungi buah hatinya agar tidak menjadi pelaku maupun korban pornoaksi dan pornografi. Sementara ia pernah membuat kontrak kerja dengan seorang gadis dimana ibunya sendiri yang menjualnya. Seperti inilah realita kehidupan saat ini. Sebagian anak-anak Indonesia tidak mendapatkan haknya dalam memperoleh pendidikan moral, padahal dari pendidikan tersebut akan mengantarkan mereka menuju kesuksesan dunia dan akhirat.

Pendidikan bukan hanya disalurkan secara formal melalui sekolah, akan tetapi dapat juga, melalui media elektronik, media cetak, radio, bahkan lingkungan merupakan sarana yang efektik dalam memberikan pendidikan terhadap masyarakat, khususnya anak. Anak adalah aset penting negara dalam membangun bangsa yang lebih maju di era mendatang. Anak seharusnya mendapatkan pelayanan dan fasilitas terbaik, agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang dapat mengemban amanah besar sebagai generasi penerus bangsa. Sepatutnya pemerintah, negara dan masyarakat bersatu padu memberikan segenap perhatian dan bukti yang nyata dalam pembentukan anak bangsa yang berkualitas imtaq dan iptek. Anak adalah pemegang kejayaan atau malah kehancuran masa depan. Bergantung dari ketiga komponen tersebut, apakah akan membuat si anak menjadi pemegang kejayaan atau kehancuran bangsa ini. Tapi para penguasa negeri ini lebih sibuk dengan masalah politik, apalagi sebentar lagi kita akan merayakan pesta demokrasi. Para elit politik sedang disibukkan dengan berbagai aktivitas untuk mendukung para calon yang akan beradu dalam pemilu. Dari mulai pemilihan kepala desa, hingga yang paling tinggi adalah pemilihan presiden yang akan digelar tahun depan. Bukan hal yang mengagetkan jika dana APBN terkuras banyak untuk terselenggaranya pemilu. Memang, konsekuensi dari pemilihan sistem demokrasi yang dianut Indonesia adalah rakyat yang memilih penguasanya, tentu saja pelaksanaan pemilihan tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi saat kampanye, para calon harus mempersiapkan dana yang besar untuk “menyogok rakyat” agar dapat meloloskan  kandidatnya. Caranya bisa bermacam-macam, mulai dari membagi-bagikan poster, kaos bergambar kandidat parpolnya yang mengikuti pemilu, hingga pemasangan baliho yang ukurannya melebihi baliho iklan komersil, bahkan orang-orang yang dianggap bepengaruh juga nimbrung dalam gambar kaos maupun baliho yang dipasang di sepanjang jalan. Hingga yang paling mahal menurut penulis adalah mensosialisasikan kandidatnya melalui iklan televisi. Berapa banyak dana yang keluar dari tubuh partai untuk meloloskan kandidatnya dalam pemilu, padahal sering kali hasilnya sangat mengecewakan. Pertama, kandidat yang tidak lolos sering kali mengadakan tuntutan agar KPU mengadakan pencoblosan uang, bahkan yang sangat tidak patut dicontoh adalah sikap Ibu Megawati Soekarno Putri yang tidak menghadiri pelantikan Bapak Susilo Bambang Yodoyono yang terpilih sebagai presiden periode 2004-2009, ini mengesankan bahwa Ibu Megawati Soekarno Putri belum bisa menerima kekalahannya dalam pemilu 2004. Kedua, kandidat yang lolos pada akhirnya sering mengecewakan rakyat. Lihat saja para penguasa Indonesia saat ini, berapa banyak demonstrasi yang dilakukan rakyat untuk menyuarakan suaranya, meminta hak-haknya, menagih janji-janji para penguasa yang diumbar ketika pemilu,  tapi pemerintah tutup telinga dengan tetap melakukan tindakan yang tidak sesuai kehendak rakyat. Ketiga, dana kampanye yang begitu besar ternyata tidak bisa menjadi tolak ukur terhadap kesuksesan kerja para penguasa. Sangat terlihat tidak seimbang, dimana satu sisi para elit politik mengeluarkan dana sebesar-besarnya untuk memenangkan pemilu, sementara rakyatnya dihimpit kemiskinan yang berkepanjangan. Padahal, jika dana tersebut dialokasikan untuk pendidikan bangsa ini, berapa banyak anak bangsa yang mendapatkan haknya untuk bersekolah secara gratis. Tapi kenapa sistem yang telah banyak menorehkan kegagalan ini masih tetap dipertahankan?

Hanya ada satu solusi untuk Indonesia yaitu revolusi sistem sampai ke akar-akarnya. Dimana sistem yang baru memihak pada kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Tapi bukan berarti rakyat yang menentukan segala keputusan, karena suara terbanyak belum tentu menghasilkan kesepakatan yang baik dari segi agama, bangsa dan negara. Seperti yang tertulis dalam surat al-Maidah ayat 49 “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yan telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yan telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan, sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik.”Sistem yang tepat akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang disegani, dihormati, dan diperhitungkan dalam kancah pergaulan dunia. Tentu saja, hal ini tidak terlepas dari peran pendidikan sebagai jembatan menuju kejayaan negara. Indonesia membutuhkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Berkualitas tidak hanya pada penguasaan ilmu pengetahuan, akan tetapi perlu adanya keseimbangan antara ilmu akhirat dan ilmu dunia.  Dengan begitu akan tercipta manusia yang memiliki kesadaran akan tiga perkara dalam kehidupannya. Pertama, sadar bahwa ia berasal dari sari patih air yang hina, sehingga akan terbentuk kepribadian yang rendah hati dan tidak sombong dengan segala hal yang telah diraih, tidak merasa puas dengan keberhasilan yang telah dicapai, tidak akan ada perbedaan perlakuan antara rakyat kecil, orang kaya bahkan pejabat-pejabat penting dalam memperoleh haknya sebagai warga negara karena semuanya sama. Lalu, apa yang harus dibanggakan atau disombongkan? Kedua, sadar akan tujuan hidupnya di dunia ini, dengan pedoman tersebut, manusia akan senantiasa berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupnya, terbaik untuk agama, bangsa dan negara. Kepentingan negara harus menjadi prioritas, bukan kepentingan individu, kelompok, apalagi kepentingan partai seperti yang terjadi selama ini. Ketiga, sadar akan kemana ia setelah kehidupan ini berakhir, sehingga terbentuk manusia yang selalu ingat bahwa semua yang dilakukan akan dimintai pertanggung jawabannya di pengadilan Allah. Dengan begitu, tidak akan ada lagi pejabat yang korupsi, penyanyi dangdut maupun artis sinetron bahkan masyarakat biasa yang mengumbar auratnya, tidak dibuka lagi tempat-tempat prostitusi dan segala bentuk perilaku-perilaku yang menyimpang dari agama karena mereka sadar bahwa apa yang selama ini mereka lakukan akan mendapat azab yang pedih. Jadi, pendidikan yang wajib didapatkan oleh setiap lapisan masyarakat adalah pendidikan agama, pengetahuan dan pembentukan kepribadian. Jika pendidikan sebagai sektor utama pemegang kemajuan bangsa tidak ditangani secara serius, maka dimasa yang akan datang kehancuran Indonesia seperti bom waktu yang pada saatnya nanti akan dapat meledakkan, membinasakan dan menghancurkan bangsa ini.

GNH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun