Mohon tunggu...
Elsa Ryan Ramdhani
Elsa Ryan Ramdhani Mohon Tunggu... -

silent and deadly

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bom Waktu Kehancuran Indonesia

16 Agustus 2010   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:58 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan bukan hanya disalurkan secara formal melalui sekolah, akan tetapi dapat juga, melalui media elektronik, media cetak, radio, bahkan lingkungan merupakan sarana yang efektik dalam memberikan pendidikan terhadap masyarakat, khususnya anak. Anak adalah aset penting negara dalam membangun bangsa yang lebih maju di era mendatang. Anak seharusnya mendapatkan pelayanan dan fasilitas terbaik, agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang dapat mengemban amanah besar sebagai generasi penerus bangsa. Sepatutnya pemerintah, negara dan masyarakat bersatu padu memberikan segenap perhatian dan bukti yang nyata dalam pembentukan anak bangsa yang berkualitas imtaq dan iptek. Anak adalah pemegang kejayaan atau malah kehancuran masa depan. Bergantung dari ketiga komponen tersebut, apakah akan membuat si anak menjadi pemegang kejayaan atau kehancuran bangsa ini. Tapi para penguasa negeri ini lebih sibuk dengan masalah politik, apalagi sebentar lagi kita akan merayakan pesta demokrasi. Para elit politik sedang disibukkan dengan berbagai aktivitas untuk mendukung para calon yang akan beradu dalam pemilu. Dari mulai pemilihan kepala desa, hingga yang paling tinggi adalah pemilihan presiden yang akan digelar tahun depan. Bukan hal yang mengagetkan jika dana APBN terkuras banyak untuk terselenggaranya pemilu. Memang, konsekuensi dari pemilihan sistem demokrasi yang dianut Indonesia adalah rakyat yang memilih penguasanya, tentu saja pelaksanaan pemilihan tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi saat kampanye, para calon harus mempersiapkan dana yang besar untuk “menyogok rakyat” agar dapat meloloskan  kandidatnya. Caranya bisa bermacam-macam, mulai dari membagi-bagikan poster, kaos bergambar kandidat parpolnya yang mengikuti pemilu, hingga pemasangan baliho yang ukurannya melebihi baliho iklan komersil, bahkan orang-orang yang dianggap bepengaruh juga nimbrung dalam gambar kaos maupun baliho yang dipasang di sepanjang jalan. Hingga yang paling mahal menurut penulis adalah mensosialisasikan kandidatnya melalui iklan televisi. Berapa banyak dana yang keluar dari tubuh partai untuk meloloskan kandidatnya dalam pemilu, padahal sering kali hasilnya sangat mengecewakan. Pertama, kandidat yang tidak lolos sering kali mengadakan tuntutan agar KPU mengadakan pencoblosan uang, bahkan yang sangat tidak patut dicontoh adalah sikap Ibu Megawati Soekarno Putri yang tidak menghadiri pelantikan Bapak Susilo Bambang Yodoyono yang terpilih sebagai presiden periode 2004-2009, ini mengesankan bahwa Ibu Megawati Soekarno Putri belum bisa menerima kekalahannya dalam pemilu 2004. Kedua, kandidat yang lolos pada akhirnya sering mengecewakan rakyat. Lihat saja para penguasa Indonesia saat ini, berapa banyak demonstrasi yang dilakukan rakyat untuk menyuarakan suaranya, meminta hak-haknya, menagih janji-janji para penguasa yang diumbar ketika pemilu,  tapi pemerintah tutup telinga dengan tetap melakukan tindakan yang tidak sesuai kehendak rakyat. Ketiga, dana kampanye yang begitu besar ternyata tidak bisa menjadi tolak ukur terhadap kesuksesan kerja para penguasa. Sangat terlihat tidak seimbang, dimana satu sisi para elit politik mengeluarkan dana sebesar-besarnya untuk memenangkan pemilu, sementara rakyatnya dihimpit kemiskinan yang berkepanjangan. Padahal, jika dana tersebut dialokasikan untuk pendidikan bangsa ini, berapa banyak anak bangsa yang mendapatkan haknya untuk bersekolah secara gratis. Tapi kenapa sistem yang telah banyak menorehkan kegagalan ini masih tetap dipertahankan?

Hanya ada satu solusi untuk Indonesia yaitu revolusi sistem sampai ke akar-akarnya. Dimana sistem yang baru memihak pada kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Tapi bukan berarti rakyat yang menentukan segala keputusan, karena suara terbanyak belum tentu menghasilkan kesepakatan yang baik dari segi agama, bangsa dan negara. Seperti yang tertulis dalam surat al-Maidah ayat 49 “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yan telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yan telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan, sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik.”Sistem yang tepat akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang disegani, dihormati, dan diperhitungkan dalam kancah pergaulan dunia. Tentu saja, hal ini tidak terlepas dari peran pendidikan sebagai jembatan menuju kejayaan negara. Indonesia membutuhkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Berkualitas tidak hanya pada penguasaan ilmu pengetahuan, akan tetapi perlu adanya keseimbangan antara ilmu akhirat dan ilmu dunia.  Dengan begitu akan tercipta manusia yang memiliki kesadaran akan tiga perkara dalam kehidupannya. Pertama, sadar bahwa ia berasal dari sari patih air yang hina, sehingga akan terbentuk kepribadian yang rendah hati dan tidak sombong dengan segala hal yang telah diraih, tidak merasa puas dengan keberhasilan yang telah dicapai, tidak akan ada perbedaan perlakuan antara rakyat kecil, orang kaya bahkan pejabat-pejabat penting dalam memperoleh haknya sebagai warga negara karena semuanya sama. Lalu, apa yang harus dibanggakan atau disombongkan? Kedua, sadar akan tujuan hidupnya di dunia ini, dengan pedoman tersebut, manusia akan senantiasa berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupnya, terbaik untuk agama, bangsa dan negara. Kepentingan negara harus menjadi prioritas, bukan kepentingan individu, kelompok, apalagi kepentingan partai seperti yang terjadi selama ini. Ketiga, sadar akan kemana ia setelah kehidupan ini berakhir, sehingga terbentuk manusia yang selalu ingat bahwa semua yang dilakukan akan dimintai pertanggung jawabannya di pengadilan Allah. Dengan begitu, tidak akan ada lagi pejabat yang korupsi, penyanyi dangdut maupun artis sinetron bahkan masyarakat biasa yang mengumbar auratnya, tidak dibuka lagi tempat-tempat prostitusi dan segala bentuk perilaku-perilaku yang menyimpang dari agama karena mereka sadar bahwa apa yang selama ini mereka lakukan akan mendapat azab yang pedih. Jadi, pendidikan yang wajib didapatkan oleh setiap lapisan masyarakat adalah pendidikan agama, pengetahuan dan pembentukan kepribadian. Jika pendidikan sebagai sektor utama pemegang kemajuan bangsa tidak ditangani secara serius, maka dimasa yang akan datang kehancuran Indonesia seperti bom waktu yang pada saatnya nanti akan dapat meledakkan, membinasakan dan menghancurkan bangsa ini.

GNH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun