politik yang sudah lama diperjuangkan.
Mengawali bulan Desember 2024 telah terjadi aksi demonstrasi di Yogyakarta tepatnya di Jalan Kusumanegara. Aksi Demonstrasi tersebut dikenal sebagai Demo Free West Papua, aksi ini muncul sebagai ungkapan dari berbagai kekecewaan dan tuntutan masyarakat Papua yang selalu terpinggirkan. Demonstrasi ini didominasi oleh para mahasiswa Papua yang menyuarakan keadilan dan pengakuan identitas mereka. Di tengah aksi tersebut dikibarkan Bendera Bintang Kejora yang melambangkan perjuangan identitasBerangkat dari hal tersebut, menunjukkan bahwa kemunculan dari Demo Free West Papua ini buka hanya sebagai aksi demonstrasi biasa namun aksi tersebut mencerminkan bentuk dari representasi yang cukup luas. Aksi tersebut menunjukkan politik representasi jalur masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak yang selalu terpinggirkan sesuai yang dikemukakan oleh Dibble dan Ford. Tak hanya itu, aksi ini mengandung dimensi representasi substantif dan simbolik yang menunjukkan bahwa begitu kompleksnya aksi ini untuk dianalisis lebih lanjut.Â
Politik Representasi dalam AksiÂ
Berdasarkan pandangan dari Dibble dan Ford dalam bukunya yang berjudul Activists in transition: Progressive politics in democratic Indonesia, kehadiran representasi dari jalur masyarakat sipil dapat menjadi salah satu jalur yang dapat mendorong perubahan sosial dan politik serta meningkat demokrasi. Dalam hal tersebut, masyarakat sipil itu yaitu kumpulan individu yang memiliki tuntutan kolektif yang bertujuan untuk mendorong atau menentang perubahan sosial. Tentunya, peran dari masyarakat sipil ini cukup penting karena akan mendorong demokrasi dan membuka ruang sosial dan politik bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.Â
Dalam konteks Demo Free West Papua yang baru-baru ini terjadi di Yogyakarta menjadi sarana bagi masyarakat Papua untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap ketidakadilan kebijakan pemerintah yang dibuat. Beberapa tuntutan dalam aksi tersebut yaitu penolakan program transmigrasi reguler Papua yang direncanakan pada pemerintahan Presiden Prabowo. Perencanaan program tersebut dianggap akan menghancurkan secara perlahan keberadaan asli orang Papua dan pemerintah lepas tangan terhadap kemiskinan struktural yang terjadi. Selain itu, para demonstran juga menuntut program yang berjalan sejak masa Presiden Jokowi yaitu Proyek Strategis Nasional (PNS) yang hanya memberikan keuntungan kepada pemerintah dan oligarki saja. (Heizer, 2024)
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) bersama dengan Front Rakyat Indonesia menyuarakan beberapa tuntutan yaitu penghentian program transmigrasi ke Papua, penolakan terhadap kebijakan Otonomi Khusus, dan penghentian pembentukan daerah otonomi baru. Hal tersebut mencerminkan bahwa representasi masyarakat sipil memainkan peran penting dalam memobilisasi isu-isu publik yang belum diakomodasi dalam politik formal. Â Selain itu, tuntutan yang ada dalam aksi termasuk dari representasi substantif. Sesuai dengan perspektif dariHanna Pitkin dalam bukunya yang berjudul The Concept of Representation (1967), representasi ini berfokus pada kepentingan dan aspirasi yang mewakili kelompoknya. Dalam kasus tersebut, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia bertindak sebagai representasi substantif yang memiliki kesempatan untuk mewakili dan bersuara aspirasinya dalam lingkup yang lebih luas.Â
Berjalannya aksi demonstrasi tersebut, para demonstran tersebut juga berusaha untuk mengibarkan Bendera Bintang Kejora. Bendera ini bukan hanya sekedar kain biasa namun ada makna yang mendalam dari bendera tersebut. Bendera tersebut melambangkan persatuan rakyat Papua dan harapan serta pencerahan bagi masa depan Papua merdeka. Akan tetapi, bendera tersebut dilarang berkibar saat Pemerintah Indonesia mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang menentukan status Irian Barat. Selain itu, pelarangan dikibarkan Bendera Bintang Kejora dikarenakan bendera tersebut dijadikan sebagai simbol utama Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1970-an. Organisasi tersebut ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai organisasi teroris yang terlarang dan hal tersebut diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Adanya usaha dikibarkannya Bendera Bintang Kejora ini menunjukkan munculnya representasi simbolik dari aksi demonstrasi tersebut. Menurut Pitkin, representasi simbolik berfokus dengan mencerminkan identitas dan nilai-nilai tertentu yang bersifat simbolis terhadap kelompok tertentu Sebagai bentuk simbolik, bendera ini memberikan dimensi emosional dan solidaritas kuat dalam internal masyarakat Papua. Selain itu, bendera ini menjadi simbol yang akan menarik perhatian luas bagi publik terhadap isu yang disuarakan dalam aksi tersebut. Namun, simbol ini tentu akan membawa risiko dan menjadi tantangan terhadap integrasi dalam lingkup nasional.
Kemunculan dari aksi ini menggambarkan bahwa pentingnya representasi jalur masyarakat sipil dengan menggunakan dimensi substansi ataupun simbolik. Dalam konteks tersebut, representasi ini akan mendukung dalam memobilisasi aspirasi serta mewujudkan ruang untuk dialog dan diskusi sosial politik yang lebih luas. Akan tetapi, respon dari pemerintah terhadap aksi tersebut juga mencerminkan bahwa lemahnya pemahaman representasi ini sebagai bagian dari demokrasi. Hal tersebut didukung dengan stereotip atau tambahan narasi yang negatif yang sering dilekatkan dengan aksi Demonstrasi Free West Papua yang menjadi salah satu faktor penghambat dalam mendapatkan perhatian dan dukungan yang lebih luas.Â
Selain itu, hal yang menarik dari hadirnya aksi ini yaitu keterlibatan dari berbagai kalangan masyarakat. Keterlibatan dari masyarakat ini menunjukkan bahwa masih ada perhatian dan kepedulian yang berfokus pada isu-isu kemanusian dan seharusnya semua ini menjadi perhatian semua pihak. Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang skeptis terkait berjalannya aksi-aksi yang memperjuangkan hak kemanusiaan dan membawa perubahan yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan banyak sekali orang yang berpendapat bahwa suara dari masyarakat sipil tanpa adanya dukungan dari dukungan politik secara formal yang kuat akan diabaikan.
Oleh karena itu, Demo Free West Papua yang terjadi di Yogyakarta merupakan fenomena yang mencerminkan perjuangan masyarakat sipil dalam meningkatkan demokrasi yang adil dan inklusif. Sinergi dari representasi substantif dan simbolik mengakomodasi tuntutan bagi masyarakat yang selalu termarjinalkan. Namun, sayangnya direspon dengan tindakan represi yang semakin memperlihatkan lemahnya pemahaman dari terbagunnya ruang demokrasi. Bukan dengan tindakan represi namun dengan membuka dialog dan diskusi yang terbuka dan inklusif demi mewujudkan Indonesia yang demokratis, adil dan inklusif. Suara dari Timur bukanlah suatu ancaman melainkan panggilan untuk Indonesia memperbaiki dan bertumbuh menjadi bangsa yang sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H