"Sebesar-besar harapanmu akan selalu berbanding lurus dengan lara yang kau derita". Demikian bisik Canos pada dirinya yang tengah dilanda kegundahan.
Pertemuannya dengan Nara Sabtu malam lalu menyisahkan luka yang parah. Luka tak nampak. Luka yang kerap disebut galau, sakit tak berobat.
Empat tahun silam seperti baru dua hari yang berlalu bagi Canos.
Nara, wanita impian bagi Canos. Nara, wanita yang pandai menyimpan rasanya sendiri, tapi sanggup meluluhkan hati Canos, pria masa bodoh yang kerapkali memandang wanita hanya sebagai pemuas nafsu mata pria. Karena itu setiap wanita yang merajuk, merayunya selalu kalah dengan sikapnya. Kau tahu 'kan wanita tak suka diacuhkan meski mereka telaten dalam mengabaikan pria?
Canos memandangi paras cantik Nara malam itu dengan permainan mata yang menyiratkan sebuah permintaan untuk dikabulkan Nara. Â Setidaknya permintaan untuk duduk, menikmati segelas kopi, kue kismis dan keluh kesah masa lalunya.
"Nara, kepergianmu empat tahun lalu menjadikanku pria paling merana di dunia. Kau tahu? Tak pernah ada wanita yang berani singgah dalam hidupku. Aku tahu, mungkin karena sikapku. Mereka juga tahu, aku tak suka dengan cara mereka melewatiku, menggodaiku dan kau tahu aku... " beber Canos belum usai
"Canos, kita pernah saling jatuh cinta. Tatap matamu sudah cukup membuktikan bagiku" ucap Nara mengeja seluruh wajah Canos, lebih tepatnya ke dalam bola matanya.
"Tapi kenapa kau tidak pernah bicara padaku, Nara?"
"Jangan tanyakan itu, tanyakan saja, kenapa aku pergi di saat itu!"
"Nara, kau bisa beri penjelasan? Setidaknya jangan salahkan aku" bela Canos pada dirinya.
"Canos, kau tahu? Aku sudah lama menunggu kau berucap. Tapi aku tak pernah melihat tanda-tanda itu. Aku mengira wanita yang selalu berganti datang ke rumahmu adalah pilihanmu yang tepat. Aku tak tahu meski mereka masuk menerobos rumahmu, tapi kau bilang "tak ada yang singgah dalam hidupku", jadi sekarang aku tahu bahwa kau masih sendiri, seperti  beberapa tahun silam." jujur Nara pada Canos.