Mohon tunggu...
El Sanoebari
El Sanoebari Mohon Tunggu... Penulis - Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Menyukai pekerjaan literasi & kopi | Suka buku filsafat, konseling dan Novel | Jika harus memilih 2 hal saat jenuh saya akan makan banyak dan traveling | Suka belajar hal yang baru | Saya suka berpikir random, demikian dalam menulis | Imajinatif | Saya suka menulis Puisi dan cerpen sejak SD, yang terkubur di dalam laptop | Bergabung menjadi kompasianer merupakan tantangan yang menyenangkan | Saya suka segala hal yang menantang | Cukup ya, terlalu banyak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Berambut Ikal

17 November 2022   16:23 Diperbarui: 17 November 2022   16:30 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Desain Pribadi; Canva

Andaikan kau tahu perasaanku, mungkin kau tak akan menggangguku seperti ini.  Setiap kata yang kau ucapkan menggores luka di lubuk hatiku. Pelan tapi pasti itu akan menjadi borok, bernanah yang tak pernah kau lihat, lebih tepatnya yang tak pernah kau perdulikan.

Bagaimana mungkin kau perduli luka hatiku, sebab yang kau tahu bahwa aku hanya seorang pria bisu, berpakaian compang-camping seperti ini, laksana hidup sebatang kara di tengah keluarga dan kesepian di antara kerumunan. Meskipun aku tinggal bersama dengan ibu, tetapi ibu telah menganggapku tidak lebih dari seorang budak, penimba air setiap pagi sebelum ayam berkokok dan bejana-bejana yang telah penuh dengan air sebelum burung-burung berkicau, hendak berkelana bersama dengan sejuta perasaan kesalku.

Kau pastinya tahu, Ibu melahirkanku dalam keadaan bisu seperti ini 20 tahun yang  lalu. Dan ayahku pergi mencari nafkah di negeri orang. Tidak mengingat jalan kembali. Rambutku dulu masih rapi ketika aku berumur 4 tahun, Ibu masih setia memandikanku, membersihkan rambutku, menyisirnya, mengenakan pakaian yang bagus seiring dengan harapannya dan kesabarannya menunggu kapan aku akan mengeluarkan satu kata, "ibu".

Seyogyanya anak 4 tahun mengucapkan lebih dari sekedar kata "ibu". Tapi kau lihat 'kan, berapa banyak usia yang telah kulewati? Kau tahu 'kan berapa besar gejolak dalam dada untuk berbisik kepada ibu tentang apa yang kurasa kepadamu? Kau lihat juga bagaimana ibu mempelakukanku, tidak seperti yang dulu. Kakiku penuh dengan daki, meski tiap hari pekerjaanku menimba air. Rambutku, apalagi menjadi tempat yang nyaman bersarangnya semut dan nyamuk pada malam hari. Bajuku, selain kotor, sobek di mana-mana, juga bau. Tak ada yang perduli itu, kecuali hati nuraniku terus mengeluh, menuduh mereka yang ada di sekitarku.

Belum lagi di rumah, ibu memaksaku untuk tidur setelah semua orang di rumah terlelap, dan terbangun ketika mereka masih merangkai mimpi indah, berselimutkan kain tenun. Aku harus bangun untuk menyediakan air panas, membuat sarapan, menimba air untuk mengisi wadah air minum ukuran 75 liter, dan menyapu halaman. Itu pekerjaanku setiap hari. Sementara aku hanya mengeluh bersama sejuta pertanyaan yang tak pernah mungkin bisa terjawab. Kapan kau mendengarkan isi dihatiku? Ibu tak mungkin perduli itu, ia memilih untuk melemparkan jeriken ke kepalaku sadarkan aku dari keluhanku.

Ingin kuutarakan padamu tapi aku tak kuasa menerima semua kekejaman yang terjadi yang tak pernah kau sadari. Kau terlalu puas dengan dirimu, kau menertawakanku dengan geli.

"Hahahahaha.... hei lihatlah dia bawa jeriken untuk menimba air... Benot Bisu" begitulah setiap kali kulewat di depan pekaranganmu, hanya kata itu yang kau lontarkan, bersama dengan para gadis di kampung. Aku tak peduli apa katamu tentang siapa aku, kenyataannya kau benar, aku memang bisu. Namaku memang Benot. Tak dapat disangkali, namun yang aku sesalkan adalah tawamu. Tawamu yang melengking tajam terdengar oleh kuda yang terikat di pohon mahoni di belakang rumahmu, tetapi begitu merdu kedengaran rasanya saat mataku melihatmu, merdu hingga menghangatkan bekunya hatiku oleh segala dilema yang kuhadapi. Termasuk tentang dirimu.

Sesungguhnya aku lelah. Kau tak tahu itu 'kan? Kau mungkin tahu bagaimana setiap hari Ibu memarahiku jika aku mengganggu kau dan gadis-gadis cantik berambut ikal sedang bermain lompat tali di dekat kuburan, tempat ibu-ibu biasanya menghabiskan waktu untuk sekadar berbagi kisah tentang anak-anak gadis mereka dan hasil pertanian yang tidak memuaskan. Mengupas beberapa buah mangga, mencolek dalam sambal kasar yang hanya diulik dengan buah mangga di atas daun damar bedolah.

Kau berlari sesekali meminta potongan mangga kepada ibumu, seiring dengan senyummu yang kau lemparkan begitu saja entah kepada siapa atau karena apa. Dan aku yang melihat itu dengan ragu membalas senyummu walaupun aku tahu kau takkan pernah tulus memberikannya  padaku. Aku tahu itu. Kau tertawa puas mengolokku, itu lebih berkenan bagimu bersama dengan gadis-gadis sepermainanmu. Tapi kau tidak pernah tahu, tawa itu menggores luka mendalam di hatiku, hari demi hari walau ku tak bisa mengungkapkan sepatah katapun.

Akh, sebenarnya tak perlu kuberitahu padamu tentang keadaanku, kuharap kau  mengerti itu. Namun, kondisi fisikku lebih akrab di dalam ejekan ketimbang perasaanku.

Seharusnya kau lihat rasa malu yang kusembunyikan, saat kau tersenyum padaku. Aku sengaja menutup wajahku dengan jeriken-jeriken di tanganku, biar kau tahu aku malu dengan senyummu. Akh, sepertinya aku terlalu percaya diri, akupun tidak tahu sebenarnya kepada siapa senyum itu kau lemparkan. Mungkin kau bahagia karena seorang pria berwajah oval, hitam manis lewat di depanmu dan memberimu senyum terbaiknya. Ijinkan aku merasa, bahwa akulah pria itu, akulah yang menjelma menjadi pria idamanmu. Semoga kau merasakan itu.

Semenjak, kau beranjak dewasa, tampak lebih cantik dengan rambut hitam panjangmu yang tetap bergelombang, aku merasa semakin berani ingin mengutarakan pesona di relung jiwaku tentang keindahan dirimu. Aku ingin mengalahkan pria-pria dari kota yang sering singgah di rumahmu. Aku takut mereka akan meminangmu sebelum kau tahu arti cinta sesungguhnya.

Mungkinkah kau akan tahu betapa dalam rasa curigaku kepada ayahmu, bahwa kau dijodohkan dengan pria anak mantri. Akupun kuatir semakin kau dewasa, semakin mengerti arti percintaan, semakin kau terbang jauh melupakan kuburan-kuburan tempat kau bermain dan melihatku lewat. Kaupun akan menjauhiku apalagi kau belum mendengarkan sepatah kata tentang gelora hatiku, hingga dalam hati aku berharap agar kau jangan lekas dewasa sampai kau tulus melihat senyumku yang bergerak pelan dari tepi-tepi hatiku hingga membentuk lesung pipit mengukirkan sebuah gejolak rasa kepada gadis desa, dirimu.

Sejauh aku terlahir sebagai pekerja yang tak lebih buruk dari budak oleh ibuku, kau tahu, merekapun tahu aku di sini tetap membisu, terdiam menatap rembulan sambil menyenandungkan lagu-lagu klasik. Ingin mengungkapkan semua gejolak dalam hati, bahwa aku lelah menjadi pekerja paling rajin di kampung. Seringkali aku ingin terbang, mengepakkan sayap-sayapku ke angkasa, menyanyikan kegembiraan tanpa ada suara ibu yang memaksaku untuk bangun dari tidur, bangun dari mimp-mimpi indah yang selalu disebutnya sebagai khayalan gila. Sebenarnya aku sedang menikmati tidur tenang. Iya, tidur nyenyak.

Seringkali aku ingin berteriak sepuasnya di padang belantara melepaskan segala kekalutan, berbicara kepada butiran pasir yang membisu, dan kuingin kau ada di sana, hanya dirimu bersama riak ombak yang sesekali tertawa bersama dirimu menyaksikan kehadiranku dan tertawa cekikikan karena malu disaksikan oleh aku.

Terkadang aku ingin membawakanmu sekuntum mawar, biar kau tahu betapa aku memiliki keberanian dalam hatiku untuk bertemu dengan engkau, hanya untuk tahu bahwa senyummu adalah untukku. Seringkali aku mendambakan terbang bersama merpati putih saat matahari pagi merekah, berkeliling rumahmu dan mengucapkan "selamat pagi" saat kau membuka jendela kamarmu, lalu aku menyanyikan nada-nada rindu di balik jendela tanpa kau melihat wajahku.

Tak jarang aku ingin berkelana menuju hatimu yang damai, bersama senyummu yang kau taburkan membentuk letupan dalam darahku yang membuat jantungku berdetak tak beraturan. Satu tanya ingin ku perdengarkan dari hatiku yang beku, beku karena memikirkanmu sepanjang malam kelam. Pertanyaan yang telah lama kupendam di dasar kalbu, hanya untukmu gadis manis pujaanku, gadis berambut ikal hitam manis, semanis wajahmu yang berseri, Dhavia. Dan beri aku satu jawaban, satu kata. Kau mencintaiku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun