Mohon tunggu...
El Sanoebari
El Sanoebari Mohon Tunggu... Penulis - Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Menyukai pekerjaan literasi & kopi | Suka buku filsafat, konseling dan Novel | Jika harus memilih 2 hal saat jenuh saya akan makan banyak dan traveling | Suka belajar hal yang baru | Saya suka berpikir random, demikian dalam menulis | Imajinatif | Saya suka menulis Puisi dan cerpen sejak SD, yang terkubur di dalam laptop | Bergabung menjadi kompasianer merupakan tantangan yang menyenangkan | Saya suka segala hal yang menantang | Cukup ya, terlalu banyak

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kopi Hitam dari Pulau Sandelwood Racikan Mama

12 November 2022   05:04 Diperbarui: 12 November 2022   08:22 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ma, dengan apa kunamakan rasa ingin minum kopi ini?
Aroma penasarankah?
Atau wangi kecanduankah?

Ma, masih terekam di kepala
kopi yang dulu kita sangrai dan tumbuk dengan alu menjadi bubuk
Di sini orang-orang menyebutnya kopi tubruk, Ma.

Mama menggongseng kopi biji itu
tidak lupa menambahkan kayu manis dan jahe keprek.
Aku selalu ingat itu, sebuah warisan kebiasaan

Masihkah tersimpan kopi itu untukku, Ma?
Atau sudah diracik untuk tetamu dari seberang?

Ma, kopi  racikan beberapa tahun silam tengah kurindui
Warna hitamnya yang pekat,
ketika terpantul cahaya matahari
Warnanya berubah menjadi kecoklatan
diselimuti perpaduan aroma kayu manis dan jahe
yang menenangkan dan melegakan

Aku ingat, kita menghabiskan lebih dari dua gelas sehari
Tapi jarang merasakan sakit kepala,
seperti yang kurasakan sekarang ini.

Sungguh, Ma aku ingin kembali kepada
suasana kita duduk mengelilingi perapian
Sepuluh cangkir diedarkan berputar
Sedangkan aku selalu dekat Mama
Mama, tentu masih ingat

Jangan marah padaku, Ma
Kalau senja yang disebut-sebut sebagai
tempat beradunya ombak dan matahari
Yang menorehkan segumpal kesedihan
kala perahunya menjemput kembali ke peraduan

jangan marah kalau aku selalu menyaksikannya
Ketika kopiku habis, matahari yang memerah menatapku
Justru aku merindui kopi racikan mama
Mama yang tengah beradu tawa dengan kekasihnya, Papa
Seperti biasa menyeruput kopi bersama

Aku benar-benar merindu
Sampai aku tidak punya perbendaharaan kata lain

Benar-benar rindu
Pada Mama
Pada kopi hitam olahan Mama
Yang diseruput serentak sekeluarga
Pagi itu
Sore tathkala hujan mengguyur tubuh kita dari ladang
Malam setelah makan sambil bermain kartu

Mama selalu mencoba meramal
situasi perekonomian masa depan
Menirukan Papa
Papa yang selalu minta dibuatkan kopi hanya oleh Mama

Kopi penuh cerita
Kopi dari Pulau Sandelwood.
Sumba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun