kopi ini?
Aroma penasarankah?
Atau wangi kecanduankah?
Ma, masih terekam di kepala
kopi yang dulu kita sangrai dan tumbuk dengan alu menjadi bubuk
Di sini orang-orang menyebutnya kopi tubruk, Ma.
Mama menggongseng kopi biji itu
tidak lupa menambahkan kayu manis dan jahe keprek.
Aku selalu ingat itu, sebuah warisan kebiasaan
Masihkah tersimpan kopi itu untukku, Ma?
Atau sudah diracik untuk tetamu dari seberang?
Ma, kopi  racikan beberapa tahun silam tengah kurindui
Warna hitamnya yang pekat,
ketika terpantul cahaya matahari
Warnanya berubah menjadi kecoklatan
diselimuti perpaduan aroma kayu manis dan jahe
yang menenangkan dan melegakan
Aku ingat, kita menghabiskan lebih dari dua gelas sehari
Tapi jarang merasakan sakit kepala,
seperti yang kurasakan sekarang ini.
Sungguh, Ma aku ingin kembali kepada
suasana kita duduk mengelilingi perapian
Sepuluh cangkir diedarkan berputar
Sedangkan aku selalu dekat Mama
Mama, tentu masih ingat
Jangan marah padaku, Ma
Kalau senja yang disebut-sebut sebagai
tempat beradunya ombak dan matahari
Yang menorehkan segumpal kesedihan
kala perahunya menjemput kembali ke peraduan
jangan marah kalau aku selalu menyaksikannya
Ketika kopiku habis, matahari yang memerah menatapku
Justru aku merindui kopi racikan mama
Mama yang tengah beradu tawa dengan kekasihnya, Papa
Seperti biasa menyeruput kopi bersama
Aku benar-benar merindu
Sampai aku tidak punya perbendaharaan kata lain
Benar-benar rindu
Pada Mama
Pada kopi hitam olahan Mama
Yang diseruput serentak sekeluarga
Pagi itu
Sore tathkala hujan mengguyur tubuh kita dari ladang
Malam setelah makan sambil bermain kartu
Mama selalu mencoba meramal
situasi perekonomian masa depan
Menirukan Papa
Papa yang selalu minta dibuatkan kopi hanya oleh Mama
Kopi penuh cerita
Kopi dari Pulau Sandelwood.
Sumba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H