Jika pada Minggu lalu saya mewawancarai seorang pemuka agama Kristen, kali ini saya akan mewawancarai pemuka salah satu dari enam agama yang ada di Indonesia yaitu agama Khonghucu. Saya mendatangi kelenteng terdekat dari daerah saya yaitu Klenteng Eng An Kiong, disana saya bertemu dengan Bapak Halim Tobing yang merupakan seorang rohaniwan yang memimpin ibadah di kelenteng ini. Bapaknya sangat ramah dan bercerita banyak akan sejarah kelenteng, kebudayaannya, dan informasi lain mengenai agama Khonghucu.
Sebelumnya, agama Khonghucu saat pemerintahan orde baru tahun 1965 oleh Presiden Soeharto, segala kebudayaan yang berbau etnis Tionghoa atau Cina itu tidak diperkenankan di Indonesia selama 32 tahun seperti melakukan ibadah atau menjalankan kebudayaan secara terang-terangan. Namun setelah dibuka kembali oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, kebudayaan Tionghoa bisa dilaksanakan kembali di Indonesia seperti perayaan Hari Raya Imlek secara Nasional.
Dan saat pemerintahan orde baru tersebut, mau tidak mau umat agama Khonghucu harus pindah ke agama lain yang telah diakui di Indoneisa. Maka dari itu, meskipun agama Khonghucu sudah diakui menjadi salah satu agama yang dianut oleh Negara Indonesia, tetapi umat agama Khonghucu relatif kecil.
Dimulai dari sejarah Kelenteng Eng An Kiong yang didirikan tahun 1825 M oleh komunitas warga Tionghoa Malang yang berkumpul, bersilaturrahmi (kongko) kebanyakan menjabat sebagai TNI. Dalam perkumpulan warga Tionghoa tersebut, terdapat satu orang yang mempunyai visi misi mengembangkan ajaran leluhur melalui tempat ibadah ini. Bangunan kelenteng dominan berwarna merah dan kuning karena menurut kepercayaan orang Chinese warna merah merupakan lambang kehidupan, dan warna kuning sebagai lambang kemakmuran.
Dalam kelenteng ini terdapat tiga ajaran, yaitu Agama Khonghucu, Budha aliran Mahayana dan Taoisme. Kelenteng ini menetapkan adanya tiga ajaran karena di Tiongkok dewa tertua ada pada aliran Taoisme, ajaran Budha dibawa dari Nepal oleh para pedagang Tiongkok yang menimba ilmu dan menyebarkan ajaran agama Budha. Namun, kelenteng ini mayoritas untuk ibadah agama Khonghucu. Perlu diketahui juga bahwa di setiap kelenteng tidak semuanya mengajarkan 3 aliran dan di setiap kelenteng mempunyai dewa utama yang berbeda dan dewa utama yang ada di kelenteng ini adalah Malaikat Bumi atau Dewa Bumi.
Bentuk-bentuk ajaran yang dilakukan dari kelenteng ini juga melayani sekolah umat yang beragama lain tetapi dapat mengikuti ibadah atau ajaran Khonghucu. Agama Khonghucu juga tidak mengkiblatkan atau menggambarkan Tuhan dalam bentuk apapun, agama Khonghucu juga menyebutkan bahwa Tuhan tidak bisa ditafsirkan, tidak bisa diwujudkan, sehingga pada agama ini Tuhan di ilustrasikan pada Langit Alam Semesta.
Saya juga diberi informasi tata cara beribadah umat Khonghucu karena saat saya mengamati dupa yang dipegang saat beribadah berbeda-beda. Pada saat saya ke kelenteng bertepatan juga dengan wafatnya Nabi pada agama Khonghucu yaitu Nabi Agung Kongzi yang ke-2501 yang lahir pada tahun 551 SM dan wafat 479 SM. Ibadah dimulai dengan angkat dupa pertama (dupa yang digunakan berjumlah 3 yang besar-besar) yang mengartikan Kehadirat Tuhan Yang Maha Besar di Tempat Yang Maha Tinggi.
Dilanjutkan dengan angkat dupa yang kedua diartikan didepan Nabi Agung Kongzi yang dihormati dan dikasihi sebagai penuntun dan pembimbing kehidupan umat Khonghucu. Dan yang terakhir dengan angkat dupa ketiga ditujukan persembahan kepada leluhur yang telah meninggal dan mendahului karena agama Khonghucu juga mempunyai nilai filosofis untuk selalu ingat pada asal-usulnya.
Dan mengenai dupa, tidak harus berjumlah tiga boleh kurang atau lebih dari tiga asalkan ganjil serta berwarna merah untuk upacara besar yang sifatnya memperingati. Tetapi apabila bersembahyang di depan altar jenazah atau sedang berduka, dupa yang dibawa berjumlah genap dan berwarna hijau.
Selain itu, agama Khonghucu juga membawa kebudayaan yaitu Barongsai, sejarahnya ada pada hewan kilin yang muncul bertepatan dengan lahirnya Nabi Agung Kongzi. Saat hewan ini dipanah oleh seseorang dan meninggal, tidak lama Nabi Agung Kongzi juga meninggal. Maka dari itu, barongsai yang menyerupai hewan kilin dibuat kesenian tari. Umat Khonghucu juga merayakan kebudayaan Hari Imlek yang mengikuti perubahan musim di Tiongkok, saat musim semi diatandai dengan pembuatan kue keranjang.