Mohon tunggu...
Elsa LailatusSahara
Elsa LailatusSahara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Program Studi S1 Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Birokrasi Digital: Celah dalam Pelayanan Publik

14 Juni 2022   00:38 Diperbarui: 14 Juni 2022   01:26 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Adanya pandemi Covid-19 mengakibatkan terjadinya perubahan yang vital pada pola kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, kegiatan berkehidupan harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Roda perekonomian harus tetap berputar. Kegiatan birokrasi pemerintahan harus tetap berjalan, salah satunya yaitu pelayanan publik. 

Seluruh masyarakat dan pemerintahan mau tidak mau dipaksa untuk hidup berdampingan dengan pandemi. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi hal ini adalah dengan menerapkan kebijakan pelayanan publik berbasis digital.

Penerapan kebijakan pelayanan publik berbasis digital merupakan salah satu cara bagi pemerintah untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat disaat pandemi, baik pelayanan dalam hal administrasi, sosial, kesehatan, dan lain-lain. Pelayanan publik berbasis digital ini juga salah satu bentuk penerapan dari sistem e-government. 

Konsep e-government merujuk pada penggunaan teknologi oleh pemerintah dalam melaksanakan kegiatan birokrasi pemerintahan untuk menghubungkan pemerintah dengan masyarakat, sektor swasta, atau lembaga lainnya sebagai bentuk upaya peningkatan aksesibilitas pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, serta transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan (Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Solok, 2017).

Pelayanan publik berbasis digital diharapkan mampu memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan yang selalu menuntut pemerintah untuk memberikan pelayanan yang berjalan dengan cepat, tepat sasaran, dan berdaya guna. Pelaksanaan birokrasi harus dapat sesuai dengan keinginan masyarakat yang menuju ke arah yang lebih luwes dengan cara kerja yang praktis dan realistis (Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik). 

Akan tetapi pada penarapannya, masyarakat ternyata masih belum puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Pemerintah dianggap masih kaku dan hanya terfokus terhadap pemberian pelayanan yang berorientasi kepada regulasi dari pada pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sehingga pemberian pelayanan terkesan hanya sebatas formalitas.

Definisi pelayanan publik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi "Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik". 

Merujuk pada definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik atau pelayanan umum merupakan suatu kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan segala corak kelembagaannya dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam bentuk barang, jasa, atau pelayanan administratif pada seluruh bidang kehidupan ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan publik bagi setiap warga negara dengan memenuhi empat syarat utama pelayanan, yaitu (a) perilaku santun, (b) cara penyampaian sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh pengguna layanan yang bersangkutan, (c) waktu penyampaian yang benar dan tepat, (d) keramahtamahan (Moenir, 2006). 

Dalam rangka mempersiapkan pelayanan yang optimal dan berkualitas seperti yang selalu diharapkan oleh pengguna layanan, maka pelaksanaan pelayanan perlu didasarkan pada sistem mutu yang mempunyai suatu karakteristik tertentu. Sedarmayanti (2004) mengungkapkan bahwa kualitas pelayanan merupakan sesuatu yang kompleks sehingga untuk dapat menentukan sampai dimana kualitas pelayanan tersebut dapat dilihat melalui empat aspek, yaitu:

  • Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan suatu pelayanan dengan benar dan tepat.
  • Ketanggapan, yaitu kesadaran atau keinginan untuk memberikan bantaun kepada penguna layanan dan memberikan pelayanan yang responsif.
  • Empati, yaitu ketersediaan untuk memberikan pelayanan dengan melakukan pendekatan, memberikan perlindungan kepada pengguna layanan, serta berusaha mengetahui keinginan juga kebutuhan pengguna layanan.
  • Kejelasan, yaitu meliputi pembawaan dari pelaksana pelayanan, serta fasilitas fisik lainnya seperti sarana dan prasarana yang mendukung berjalannya pelayanan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

Responsivitas Pelayanan Publik dalam Penerapan Birokrasi Digital

Tujuan utama dari pelayanan publik adalah untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan dari setiap warga negara sebagai pengguna layanan untuk mendapat pelayanan yang diinginkan dan memuaskan (Arfan dkk., 2021). 

Pelayanan publik akan mencapai tahap kepuasan bagi masyarakat apabila penyelenggara pelayanan, dalam hal ini pemerintah atau birokrat, lebih responsif dalam memberikan pelayanan. Birokrat yang responsif adalah birokrat yang sadar dan memberikan pelayanan yang berorientasi pada kebutuhan pengguna layanan.

Responsivitas dalam pelayanan publik tentu sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberian pelayanan yang optimal, hal ini bertujuan untuk membuktikan kemapuan suatu organisasi publik atau pemerintahan dalam memberikan apa yang dikehendaki oleh seluruh warga negara sebagai pengguna layanan. 

Responsivitas merupakan salah satu cara yang efisien dalam mengatur kepentingan baik pada tingkat pusat maupun daerah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat (Widodo, 2007).

Dalam upaya peningkatan daya tanggap atau responsivitas penyelenggara pelayanan terhadap kebutuhan pengguna layanan, menurut  Agus Dwiyanto (2008) terdapat dua strategi yang dapat diterapkan, yaitu (a) penerapan strategi 'know your customers' yaitu prinsip berhati-hati untuk dapat mengidentifikasi kepentingan dan kebutuhan pengguna layanan sebelum memutuskan pelayanan yang akan diberikan., 

(b) penerapan model citizen's charter yang bertujuan supaya birokrasi pemerintahan dapat lebih responsif terhadap pengguna layanan, maka standar pelayanan ditetapkan berdasarkan pada aspirasi pengguna layanan, dan birokrasi berjanji akan memenuhi.

Kegagapan Pemerintah dalam Pelaksanaan Birokrasi Digital

Pada masa pandemi Covid-19 yang sudah memasuki tahun kedua ini, pemerintah sudah semakin gencar dalam memberikan pelayanan publik yang berbasis digital atau disebut dengan birokrasi digital. Dalam pelaksanaannya, masyarakat selalu manaruh harapan dan memberikan tuntutan kepada pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan yang paripurna. 

Nyatanya, pemerintah justru masih gagap dalam pelaksanaan birokrasi digital sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat sebagai pengguna layanan. Kegagapan pemerintah ini ditunjukkan dengan banyaknya pelaporan pengguna jasa layanan. Dalam beberapa kasus, penerapan birokrasi digital malah menimbulkan berbagai permasalahan baru.

Beberapa permasalahan tersebut antara lain seperti birokrat atau pegawai pemerintah yang tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal karena kurangnya keterampilan dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Bukannya menjadi lebih mudah, akses pelayanan publik digital terkadang justru mempersulit masyarakat 

karena kurangnya koordinasi antar penyelenggara pelayanan terkait. Selain itu, aksesibilitas masyarakat dalam menjangkau internet juga menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan birokrasi digital. Ancaman kejahatan dunia maya atau cyber crime juga turut menjadi perhatian khusus bagi pengguna internet, baik masyarakat ataupun pemerintah.

Lebih dari itu, terdapat beberapa hal khusus yang harus lebih diperhatikan lagi oleh birokrat seperti pelayanan yang tidak optimal, dikarenakan pelayanan yang masih bergantung pada regulasi formal serta prosedur baku dan bukan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan serta kepentingan dan perkembangan pengguna layanan. 

Hal tersebut akan menyebabkan pelayanan yang diberikan menjadi tidak maksimal. Selain itu, terdapat kecenderungan bagi beberapa birokrat untuk memberikan perlakuan khusus atau istimewa kepada golongan elit birokrasi atau orang yang memiliki hubungan mutualisme. 

Bahkan dalam beberapa kasus, seorang birokrat bertindak kurang berhati-hati dan menghiraukan tanggung jawabnya sebagai penyedia layanan (Holle, 2011). Tidak jarang juga ditemukan praktik kecurangan yang dilakukan birokrat dalam bentuk kesengajaan tindakan menyalahi atau tidak memenuhi ketentuan pelayanan yang berlaku sehingga menyebabkan ketidakpuasan bagi pelayanan yang diterima oleh masyarakat.

Meminimalisir Kegagapan Pemerintah dalam Pelaksanaan Birokrasi Digital

Pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik harus terus berusaha meningkatkan kualitas pelayanan agar dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan, khususnya pada era birokrasi digital saat ini.  Oleh sebab itu, untuk mewujudkan pelayanan publik yang optimal, birokrasi digital harus dijalankan sebaik-baiknya dengan memperbaiki organ yang terdapat di dalamnya. 

Perbaikan organ pemerintahan dapat dimulai dengan 1) memberikan pembinaan dan pelatihan peningkatan SDM pada bidang digital, 2) mengembangkan perangkat digital yang mendukung kinerja pegawai untuk mempermudah koordinasi antar pegawai dalam upaya pemenuhan layanan, 3) penerapan sistem keamanan situs internet dengan baik agar terhindar dari kejahatan siber.

Penerapan sanksi bagi pegawai pemerintah atau birokrat yang terbukti melakukan kecurangan atau lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai penyedia layanan juga sangat diperlukan. Hal ini bertujuan agar pihak-pihak tersebut tidak mengulangi kesalahan yang sama serta untuk menjadi peringatan kepada birokrat lainnya. 

Kebiasaan memberikan pelayanan yang istimewa untuk suatu golongan tertentu juga harus dihapuskan. Seluruh masyarakat harus mendapatkan kualitas pelayanan publik yang baik dan adil tidak peduli apapun latar belakangnya. Pemerintah juga harus mengedepankan pelayanan publik yang berorientasi kepada pemenuhan dan perkembangan pengguna layanan.

Dalam upaya peningkatan kualitas pemenuhan pelayanan publik yang optimal, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan seperti (a) meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintah, (b) memberikan pelayanan dengan cepat dan tepat, (c) memberikan penjelasan dan informasi mengenai pelayanan yang akan diberikan dengan jelas, 

(d) memberikan keterbukaan atau transparansi bagi masyarakat untuk mengetahui kinerja pemerintahan, (e) menampung aspirasi masyarakat untuk mewujudkan pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

Pelayanan publik merupakan suatu kegiatan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Dalam penerapan birokrasi digital ini, masyarakat menuntut pemerintah sebagai penyedia layanan untuk memberikan layanan yang paripurna. Namun nyatanya, pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah justru menjumpai berbagai permasalahan baru, 

baik dalam organ pemerintahan itu sendiri maupun sistem pemberian pelayanan kepada masyarakat. Untuk mengatasi kegagapan pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan publik berbasis digital tersebut, birokrasi harus mampu menunjukkan kinerja yang positif untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai pengguna layanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun